Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

barangkali hanya sebuah kata saja yang sanggup menggambarkan
barangkali hanya sebuah tanda baca saja yang harus dipenuhi
barangkali hanya sebuah jeda saja yang dibutuhkan
sayangnya, yang tersaji tak hanya sebuah

Friday, February 7, 2020

Di pinggiran kasur, aku menatapmu. Tidurmu sudah pulas, nafasmu sangat tenang, tidak tersisa sama sekali kemarahan yang begitu buas menguasaimu. Kuusap pipimu. Air mataku yang tumpah. Ah, betapa aku mencintaimu. Kau menggeliat, kesadaranmu mulai terkumpul, lalu menatapku dengan sayu. Aku tersenyum, setelah berjam-jam menangis di hadapanmu. Rasanya ingin kuucapkan beribu kali, aku mencintaimu. Rasanya ingin kupeluk dan tak pernah kulepaskan, hingga hewan buas dalam dadamu itu menghilang dari jiwamu. Kucium pipimu. Kau tau, kau adalah satu-satunya orang yang mampu membuatku menundukkan hewan liar dalam diriku sendiri. Kau tau, kau satu-satunya orang yang aku rela melepaskan apa saja untukmu. Aku mencintaimu. I love you, unconditionally.

Penantian

Pukul 14.17, Jumat 7 Februari. 
Aku membuka akun blogger-ku tanpa ada satupun topik yang ingin kutuliskan. 
Rindu?
Bisa jadi. Aku rindu menulis bebas tanpa dasar teori, hanya berdasarkan perasaanku, pemikiranku sendiri. Yah, yang seringkali awut-awutan, tentu saja. 
Minggu ke-37 kehamilan. Sudah tidak sabar segera bertemu si bocah. Memeluk dengan lengaku, tak lagi memeluk dengan perutku. Meski sebenarnya was-was, bisakah aku menjadi seorang ibu? Sesungguhnya ibu yang yang dapat menjadi tempat pulang anaknya. Setelah kalimat sebelum ini tertulis, aku membuka tulisan lamaku tentang teori-teori orang tua dan anak. Ah. 


1
2 
3

Ternyata hanya tiga tulisan tentang orang tua dan anak, selebihnya adalah tulisan tentang Sang Lelaki dan Sang Wanita. Dua tokoh yang abadi dalam kata-kata. 

Saturday, July 20, 2019

Kau Tahu

"Apakah kau mencintainya?" tanyanya sambil melirik perutku. 
"Tentu, dia alasanku bertahan hidup."
"Bukan untuk dirimu sendiri?"
"Selama ini aku hidup untuk kedua orang tuaku. Kini untuknya."
"Sejak kapan kau kehilangan dirimu sendiri begini?" tanyanya, ada nada sedih pada suaranya, justru ingin membuatku tertawa. 
"Kau tau itu," jawabku akhitnya menahan tawaku.

Rindu Kembali

"Sudah berapa lama kau tak menulis?" tanyanya sinis. Pertanyaan pertama setelah sekian bulan lamanya, dia lontarkan dengan nada sinis. 
"Entah," jawabku malas-malasan. 
"Tidak rindu?" masih dengan nada sinisnya. 
"Rindu. Seakan kehilangan diriku sendiri, kehilangan arti dari diriku sendiri."
"Itu karena kau menilai bahwa kau ada saat kau berpikir dan menulis," komentarnya lagi.
"Ya. Kau sangat mengertiku."
"Jadi apakah kau akan berpikir dan menulis lagi?"
"Tak tahu," kali ini aku meragu.
"Lantas buat apa kau kembali?"
"Aku merindukan diriku sendiri."
Tak ada pertanyaan lagi. Dia selalu mengerti aku. Pertanyaannya hanya ingin menggiringku pada kesimpulan akhir ini. Dia selalu tau jawabanku atas pertanyaannya. Aku. 

----

Sunday, January 28, 2018

Bawangku bukan Bawangku

(koleksi pribadi dari bawang penelitian)
Aku dipaksa berkenalan. Maka kuberanikan diriku. "Hai," sapaku, kaku. "Hai, aku bawang merah," katamu, riang. "Onion?" tanyaku sok tahu. "Bukan, salah! Aku shallot." Lalu kita mulai saling mengenal. Kau labil, aku juga. Kau susah ku cari, aku mudah menghilang. Tapi aku tak mau lari, maka kau terus ku kejar, meski lambat.

Sudah sekian lama, maka ku beranikan diri bilang.
"Aku mencintaimu," kataku, malu. Cinta tapi begini. Cinta tapi begitu. Sebenarnya, supaya ku kuat terus bertahan. Lama tak terdengar, kau jawab pelan, "aku juga mencintaimu."
Aku terdiam, benarkah itu? Kau tau artinya raut wajahku yang ragu, maka kau katakan "aku mencintaimu, tapi tetap membuatmu menangis? Maaf. Tapi sesungguhnya itu bukan sepenuhnya salahku. Kau juga harus tau, bagaimana harus menghadapiku. Bukankah sudah lama kita saling mengenal? Harusnya kau lebih paham."
Aku terdiam. Serasa ditampar. Ya, aku yang seharusnya lebih paham.

Tetap saja, boleh ku katakan lagi? "Aku mencintaimu. Mari membuat kisah cinta yang lebih cantik lagi. Ah maafkan aku." Kataku. Lalu kau tersenyum. Keluar tunasmu, matilah aku. Lagi-lagi, aku yang salah. Ah, aku bisa apa? Oh, lagi-lagi.

Sunday, January 7, 2018

Kedua : untuk lelakiku



Ternyata kita banyak beda
Aku perempuan
Kau laki-laki
Itu yang pertama
Selanjutnya
Aku mengingat dengan retinaku
Kau mengingat lewat gendang suaramu
Aku suka barisan huruf yang diam
Kau suka gambar yang bergerak
Aku suka nada-nada lama
Kau suka semua nada,
kau punya kemampuan luar biasa dengan suara
Aku suka mengabadikan peristiwa dengan gambar
Sementara kau mengabadikan dengan gambar bergerak pun bersuara
Aku tak suka ini, tapi kau suka ini
Aku suka itu, kau tak suka itu
Ternyata terlalu banyak beda
Kita hanya sama sama
Menyukai warna biru
Mudah masuk angin
Tak suka berkeringat
Hanya itu saja. Ah, dan satu lagi,
KITA PUNYA RASA YANG SAMA. dan visi yang sama.
Mudah-mudahan.

Pertama : untuk manusia yang memantik tawaku, lagi.


Teruntuk kamu,
Yang namanya ku sebut dalam doa sederhanaku.
Ah. Aku tau, ini terlalu dini. Aku sudah berani bilang aku suka padamu. Mudah-mudahan kau tak percaya. Bahwa aku suka padamu. Supaya kau tak membuatku semakin jatuh. Ah, maksudku hatiku yang jatuh. Jatuh hati.
Hanya dua minggu saja, dan aku mulai menyukaimu. Aku suka bagaimana kau membuat aku tertawa. Dengan tingkah dan kata-kata konyolmu. Aku suka bagaimana caramu bercanda. Tanpa dipaksa, tanpa terpaksa, tanpa pusing memutar kepala. Mengalir begitu saja. Dan itu sanggup membuat setiap hariku dipenuhi ledak tawa. Oh! Aku sudah lama tak sebahagia ini.

Wednesday, December 20, 2017

Petang? Senja?

“Katamu aku petang.” Omelmu hari ini. Sudah lama aku tak mendengar omelanmu.
“Ya, kau memang petang. Kau mau aku sebut apa lagi?” Kataku, sok cuek padahal ingin tertawa.
“Kenapa tak kau sebut senja? Bukankah sama saja?”
“Nope. Tidak sama. Senja dan Petang jauh berbeda. Hanya beberapa detik, tapi jauh berbeda.”
“Apa maksudmu berbeda? Mereka sama saja.”

Friday, November 10, 2017

Keluarlah ! Pindahlah !

Lima belas menit sudah hujan mengguyur kota ini. Tidak deras tapi cukup untuk membasahi seluruh pakaian. Tiga menit sudah sepasang lelaki dan wanita itu mengantri. Ya, mengantri hanya untuk melewati sebuah jalan. Kota macet, biar hujan tetap macet. Sepanjang jalan yang sempit dan kendaraan yang padat. Kombinasi yang pas untuk meluapkan emosi, tapi sepasang lelaki dan wanita itu tak pernah emosi, mereka hanya diam dalam jas hujan masing-masing. Menamati pemandangan yang sering mereka lihat dan tak juga berubah. 

Tuesday, September 5, 2017

Baiklah, aku sisipkan sedikit jeda dari beribu spasi yang sengaja aku ketikkan. Spasi untuk kegiatan yang membuatku lupa akan masalah dan perihal kehidupan lainnya. Jatuh cinta, terlalu sederhana ternyata. Itu tentang melupa dan mengingat. Itu tentang tawa dan air mata. Aku selalu selalu bilang itu sepaket. Jatuh cinta selalu berpasangan dengan patah hati. Hanya, jatuh cinta ada diawal cerita sedangkan patah hati entah ada diperiode kehidupan yang kapan. Laksana pertemuan dan perpisahan, begitulah jatuh cinta dan patah hati ditakdirkan, selalu sepaket. Tak percaya? Aku tak memaksamu untuk percaya. Karena katanya kepercayaan itu hak sepenuhnya dari seorang insan. 

Sudah sekian menit aku memutuskan untuk menulis di kolom yang jarang ku buka. Hanya sesekali saja. Dan sekali itu pun jarang ku laksanakan dalam sebulan. Aku mencinta kata. Aku masih mengagumi rima. Aku pun masih sering mengolah rasa. Tapi, lagi-lagi jatuh cinta yang ini membuatku lupa. Bahwa aku punya dunia lain, yang akan selalu ada menampung tumpahan aksaraku. Ah ~ 

Mungkin sudah waktunya aku menutup lagi kolom ini. Untuk menghitung keperluan bahan kimia yang dibutuhkan. Ternyata aku juga rindu, laboratorium dan kesibukan yang membuatku lupa daratan. 

SELAMAT MELANJUTKAN HIDUP

Percakapan langit

Ah rindu percakapan langit. Kaki yang tetap menapak di bumi, pikiran yang dipenuhi kabut, dan detik yang terus berputar. Berkeliling antara 1 dan 12. Terus menerus hingga kokok ayam menyadarkan. Bahwa matahari sudah selesai istirahat. Dan hey! mata belum terpejam barang semenit. Alangkah asyik, percakapan langit.

Tuesday, July 11, 2017

Cerita Pendek yang Sanggup Memperpanjang Rasa


"suatu hari, di pagi yang mendung seorang pangeran sedang skrol layar henpon ke atas ke bawah tak jelas. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang tak lazim. Ada foto pangeran bersama putri kura-kura selatan berfoto bersama ketika mengikuti seminar RSM.
"setelah di-zoom hingga sebesar layar bioskop. Ternyata pangeran sadar bahwa dia bukan putri kura2, ternyata dia siluman ular putih hahahhaa
"setelah diamati dari berbagai bidang pandang, ternyata si wanita menarik juga. Ada kesan fluorescence di wajah si siluman
"pangeran pun mencoba untuk mendekati si siluman, tapi si siluman sepertinya adalah orang yang cuek, sehingga kemudian si pangeran bertuah ke goa bertemu nenek nenek kaos oblong. Wkwkkwkww
"si nenek mengamati bahwa siluman ini sebenernya mempunyai hati yang baik, tapi dia tidak mau diganggu selama masa perjalanannya untuk menulis kitab suci bagi umat bawang merah.
"namun, itu tak membuat pangeran mundur. Karena pangeran ini memang agak kurang ajar dan banyak tingkah, lantas si pangeran malah berusaha mendekati si siluman. dannnnnnnnnn tet tet tet si siluman berhasil ditaklukan dengan rayuan2 maut menembus langit ketujuh
"karena mungkin ingin menguji kesetiaan pangeran, siluman ular mencoba memberikan sedikit psiko test dengan memberikannya racun mujarab yang telah diracik dengan waspada dan penuh sumber pustaka.
"setelah pangeran ter-intervensi dengan perlakuan tsb, pangeran langsung mengalami perubahan kesehatan signifikan (P<0.05).
"Meskipun demikian, pangeran tetap menyayangi siluman yang kini telah mengepakkan sayapnya sampai ujung kulon wkwkkwwk
"sekian terima kasih,,,

(22 April 2017, 6 AM)
-tanpa editan apapun kecuali penulisan saja-


Cerita super pendek dari seseorang yang gila, 
luar biasa gila hingga membuat saya juga gila.
Saya menemukan tawa saya kembali ketika bersamanya.
Oke, saya kalah.
Thank you, my man!

Thursday, June 1, 2017

Pulang

Apakah setiap perjalanan pulang adalah perjalanan kembali?
Apakah pulang berarti kembali meniti sebuah jalan yang pernah dilewati?
Apakah pulang bisa juga kembali mencari jalan? 
Apakah pulang bisa menjadi tujuan, sementara akhir adalah rumah?
Sebentar, apakah pulang selalu rumah?