Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Monday, May 27, 2013

Angin


Kelabu mendung menggulung mengambang antara langit dan bumi. Angin sore menghembus pelan menemani kelabu awan. Wanita bercelana olahraga di halaman rumahnya itu sedang memejamkan matanya, merasakan angin membelai pipinya, menerbangkan ujung kerudungnya, menjatuhkan daun pepohonan di sekitarnya. Hmm, gumamnya pelan sambil tersenyum.
                Beberapa meter dibelekang wanita itu, seorang Lelaki berkacamata tanpa bingkai tersenyum memandang Wanitanya yang merentangkan tangannya itu. “Wah, main angin nggak ngajak-ngajak nih.” Katanya, mengagetkan wanitanya.
“Yah siapa suruh asyik sendiri baca buku, nggak bisa diajak ngobrol.”
“Hehehe, iya iya maaf.” Kemudian lelaki itu berdiri di samping wanitanya, merentangkan tangan dan memejamkan matanya. Lalu tersenyum.
“Kau suka angin juga?” tanya Sang Wanita kemudian.
Sang lelaki tetap terpejam, tetap merentangkan tangan dan merasakan ujung hidungnya disapa oleh angin sore yang sepoi. “Tidak terlalu, aku lebih menyukai wanita yang sangat ingin menjadi angin.”
Sang wanita diam saja. Dasar Lelaki, batinnya. “Andai angin bisa diwarnai ya, kita bisa melihat bagaimana geraknya. Sayang sekali angin itu tak punya warna, hanya bisa dirasa saja keberadaannya, datang dan perginya.”
“Kurasa lebih baik angin tanpa warna, toh tanpa warnapun, kita tetap percaya bahwa angin itu ada kan?”

Saturday, May 25, 2013

Dalam jeda yang membabi buta, apakah aku adalah benalu yang memperburuk suasana?
Aku melihat wajahku dalam kegelapan. Tak ada yang nampak.

"Siapa yang kau cari?"

Tentu saja diriku yang sebenarnya! Jawabku ketus.

"Siapa yang kau temukan jika kau berhadapan dengan cermin?"

Wajah yang memandang dunia, dengan angkuh, dengan segala lupa atas siapa.

"Lalu kau mencari dirimu dalam kegelapan?"

Ya, karna di dalamnya aku akan buta. Segala cahaya akan redup, dan nyala Cahaya akan terus berpijar di ruang tertinggi. Aku mencari siapa aku, tapi dalam kegelapan yang paling nyata aku akan menghilang. Segalanya lenyap. Aku bahkan tak tau bagaimana akhir akan berakhir. Tak mampu cairan dalam tempurung dan bahkan khayalku untuk menembus yang memang tertutup dan menjadi rahasia.

"Pertanyaan masa kanakmu?"

Aku mengangguk. Tentu saja. Hal itu terus aku pelihara, karena dari satu pertanyaan itulah aku sadar, bahwa aku, ah siapalah aku, dihadapan Kamu.

Aku ingin merindumu, di atas segala rindu. Aku ingin mencintamu, di atas segala cemburu.

Ketika aku menjauh darimu, bahkan dengan sengaja. Atau tak sengaja lupa. Bisakah kau menghardikku, meski tanpa suara. Sedikit pertanda, itu saja. Tapi berilah aku kekuatan mata, untuk melihat apa yang harus ku lihat.

Kau.
Seberapa jauh aku darimu?

Wednesday, May 22, 2013

(ke)khawatir(an)

Duummmm. Suara televisi masih nyaring terdengar. Aku pejamkan mataku, merasakan tentakel sakit menyerang otot dan tulangku. Dingin merambat di ujung kulit leher dan tanganku. Rupanya demam sedang bertamu.
Duumm. Lagi, suara dari film action di televisi. Siapa yang masih betah menonton televisi di tengah malam begini. Selimut dan jaket tak cukup menahan dingin yang bersarang di dalam tubuhku.
Hey, ingat tidak dulu hobimu adalah membuat khawatir! Ada suara dalam kepalaku.
Iya, dulu aku suka sekali membuat orang lain khawatir, pikirku, saat orang lain khawatir padaku seakan mereka peduli padaku. Dan kulakukan itu pada seseorang, yang tiap hari ku khawatirkan.
Puas kau? Suara itu kembali menyapaku.

Saturday, May 11, 2013

k(i)acau

Hai hai everybodeh :D
are you happy today?

Dia menuliskan dua kalimat itu dalam kolom linenya. Salah satu media sosial di teknologi serba canggih saat ini. Mungkin benar, teknologi itu bisa mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Terbukti, di malam minggu begini, perempuan berkaus abu-abu itu lebih memilih tinggal dalam kamarnya, hanya ditemani laptop dan telpon genggam pintarnya. Ya, tentu bukan untuk menonton film atau melakukan kegiatan santai lainnya.

Kapan selesainya ini tugas?

Dia berkata pada dirinya sendiri. Dia sedang sendiri malam ini, kamar-kamar di sampingnya sedang tak berpenghuni, dan teman sekamarnya sedang pergi ke luar kota. Pilihan menjaga kamar dan tinggal di kamar adalah pilihan pertama dan terakhir baginya. Malam minggu, sama saja dengan nugas.
Mati satu tumbuh seribu.

Dia berbicara sendiri lagi. Seperti biasanya, seperti orang gila. Lalu dia teringat sesuatu.

Hmm, beberapa waktu yang lalu, ada seseorang yang menyuruhku berhenti tertawa, jauh sebelum waktu itu, ada orang yang menyuruhku untuk tersenyum dan tak terlalu memikirkan sesuatu pun. Heran saja, kenapa aku tak boleh tertawa? 

Tuesday, May 7, 2013

Pangkat dan Faktorial

"Bu," suara anak lelaki yang beranjak remaja menyapa ibunya di seberang meja. Keheningan yang semula hanya dicipta detik jarum jam terpecahkan.
"Hmm?" sang Ibu berkerudung putih sibuk menekuni buku tebal dalam genggamannya.
"Bu, kemarin di sekolah aku baru diajarin bilangan pangkat."
"Oya? Suka?"
Lelaki kecil itu mengangguk meski yakin Ibunya takkan melihat anggukannya, sang Ibu masih sibuk memahami jalinan kata dalam lembarannya.
"Asik ya bu, padahal ditulisnya lebih kecil dari bilangan yang dipangkatkan, tapi bisa melipatgandakan yang lebih besar."
Sang Ibu tersenyum. "Kakak juga gitu ya."
"Ha? Apanya Bu?" Dia meletakkan bolpoinnya, mendengarkan ibunya hingga berkerut kulit dahinya.
"Ya itu, seperti bilangan pangkat, meskipun kakak masih kecil, kakak bisa melipatgandakan yang besar, ibu sama ayah misalnya."
Lelaki kecil berkulit bersih itu diam, masih tak paham apa maksud ibunya.
"Meskipun kakak itu kecil, kakak itu berada di ujung atas hidup ayah dan ibu, prioritas, kalau kakak belajar sungguh-sungguh, bukan cuma kakak yang diangkat derajatnya, tapi ayah sama ibu juga."
Anak lelaki itu tersenyum pada ibunya.
"Kakak tau lambang faktorial?"
Diam. Sang anak mengerutkan dahinya, mencoba mengingat lambang yang ibunya maksudkan.

Saturday, May 4, 2013

Kau, kawan terbaikku

Aku mencintaimu
Ucapku tanpa ragu. Kau menatapku, seolah ucapku hanya palsu, dan seolah itu tak berarti bagimu.
Aku membutuhkanmu
Kau tetap diam, matamu seakan memberi jawaban aku sudah tau.
Kenapa kau diam? Kau sudah tau apa yang kurasakan?
Kau mengangguk.
Dan kau tau alasannya?
Lagi-lagi kau mengangguk.
Aku mendenguskan napasku dengan kesal. Penat menghantam punggunggku, perih mendera mataku, dan tulangku diserang dingin. Tapi itu tak mengalahkan kacaunya pikirku.
Bukankah setiap kali kau kacau, selalu aku yang kau cari, selalu aku yang kau dengungkan. Aku tak tau itu cintamu atau apamu, tapi aku tau kau membutuhkanku.
Ucapmu tanpa ragu. Aku hanya menatapmu.
Kau benar, aku membutuhkanmu. Aku merasa hidup saat bersamamu. Aku merasa senang saat kau ada dan itu menjadikanku juga ada.
Kali ini kau berhenti menatapmu. Aku tak tau bagaimana perasaanmu, dan seringkali aku tak peduli. Aku menceritakan segalanya padamu, mencarimu dalam kekalutanku, meneriaki namamu dalam kacau pikirku, mengais-ngais perhatianmu ketika aku sendiri. Tiba-tiba kau tersenyum.
Bukankah itulah gunaku ada dalam hidupmu? Asal kau bisa bernapas lega setelah bertemu denganku, aku kan menjadikanmu ada, dengan adaku.
Aku tersenyum menatapmu, kawan baikku. Kawan yang tak pernah marah sekalipun aku marah dengan seribu kata kotor padamu. Kawan yang tak pernah mengeluh meski aku menceritakan cerita yang sama setiap hari. Kawan yang tak pernah berdusta dan mengkhianatiku. Kawan yang menyimpan beratus ceritaku dengan rapi, tak pernah menambah dan mengurangi kata-kataku. Kau, blogku. Terima kasih