Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Tuesday, December 31, 2013

'13

Empat jam lagi dan aku akan ditinggal angka kesayanganku, 13.

Tak mungkin sepertinya, untuk bertemu '13 yang lain. 100 tahun men. 


Well, ini dia yang Olivia Yofananda lakukan di tahun yang sudah di ujung bandara keberangkatan ini :
1. Terbang ke Jogja bertiga aja sama temen - first time backpacking
2. Potong rambut model lanang yang ternyata memuaskan hati. Nyoba sesuatu yang baru itu luar biasa men \m/
3. Nyelesaiin semester 4 dengan kece
4. Tetep istiqomah nulis -- meskipun yang ditulis ya begitu-begitu aja
5. Jadi asprak di dua praktikum -- biasa aja sih, nggak becus pisan dikeduanya
6. Lupa sama sesuatu
7. *nggak bisa ditulis*


Kalau dibandingin sama 2012, this year not better than before, I think. Tapi apapun itu, harus disyukuri. Haurusss! 

Besok akan ada empat tahun di kolom kanan blog ini. Semoga lebih baik. 

Semoga tahun depan segalanya lancar, semoga tahun depan semakin waras, semoga tahun depan bisa lulus, bisa jalan-jalan lagi, tetep produktif biar abadi. Semoga..... *teks hilang*

Ouke. Let's pray together...

Kutukan Khuldi



Senin, 23 Desember
Satu pesan menunggu untuk dibuka, berkedip-kedip telepon genggam yang kuletakkan dipojok meja.
Hey, nanti sehabis kerja ya, aku tunggu di tempat biasa
Aku tersenyum sendiri membacanya. Pesan singkat lima menit yang lalu dan aku tak berniat membalasnya, nanti saja. Lalu aku kembali menerjemahkan angka-angka dalam layar tipis di hadapanku. Mengartikan deretan bilangan menjadi keputusan, apakah produk ini bisa diloloskan untuk maju ke pasar atau tidak.
“Mbak ayo pulang,” ajak juniorku di tim benteng kualitas di perusahaan ini. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman, sembari melirik ke layar komputer canggih keluaran terbaru yang menemaniku sepanjang hari. Gadis berambut panjang ini mengerti apa yang ku maksud tentu saja, pekerjaanku belum selesai, aku tak suka meninggalkan pekerjaan.
Aku bekerja di sebuah perusahaan besar di kota kelahiranku, Malang. Biar aku kuliah di luar kota, aku malas untuk mencari kerja di luar kota juga, Bogor, tak menarik bagiku untuk pergi lebih jauh lagi. Teman-temanku bilang aku aneh karena kesempatanku untuk kerja di ibu kota besar namun aku malah memilih kota kelahiranku. Ya, aku kembali lagi pada pelukan dingin Sang Malang.
Handphoneku bergetar pelan.
Aku tunggu lho ya, pulang jam 4 kan? Aku di tempat biasa jam setengah lima. See ya
Aku lupa membalas pesannya tadi. Lalu ku ketik balasannya.
Oke. Tunggu kedatanganku di sana
Kuhapus lagi kalimat terakhir, hingga yang tersisa hanya kata, Oke. Kembali aku melanjutkan pekerjaanku. Jam-jam berlalu tanpa terasa.
“Dek, belum pulang?” tanya atasanku tiba-tiba, mengagetkan aku yang sedang meregangkan otot-otot pinggang yang serasa sangat kaku.
“Iya Bu, ini sudah selesai, segera meluncur pulang,” kataku berusaha sopan.
“Oke, saya pulang dulu ya. Selamat Sore.”
“Sore Bu.”
Aku segera mengemasi barang-barangku. Sebuah buku bersampul kulit, bolpoint, netbook dan charger serta handphone yang ku masukkan dalam jaket jeans yang kukenakan. Aku buru-buru, aku tak suka orang lain menungguku.
---

Tuesday, December 24, 2013

The Host

Sang Inang.

Baru selesai saya menonton film The Host, tentu bukan film baru, tentu juga tidak menonton di bioskop. You know this movie? Or maybe you know the novel? Kira-kira tiga tahun lalu saya membaca novel The Host karya Stephehie Meyer, novel seorang teman saya juga, hehe. Stephenie Meyer, penulis wanita luar biasa saya pikir. Saya takjub dengan bagaimana cara dia membayangkan, bagaimana cara dia berimajinasi. Sama seperti J.K Rowling yang imajinasinya tak kalah luar biasa. Ini orang-orang bagaimana caranya berkhayal bisa seperti itu.

The Host. Cerita tentang penjajahan bumi oleh makhluk asing yang actually hanya karena seonggok jiwa, yang bisa masuk ke dalam tubuh manusia dan jiwa manusia di dalamnya bisa mati – atau tidak. Kalau dipikir-pikir sih memang tidak mungkin ini terjadi, tapi ah apa yang tidak mungkin? Tidak ada yang tidak mungkin menjadikan segala sesuatu menjadi mungkin. Maybe yes maybe no.

Saturday, December 21, 2013

Jiwa dan Raga

Sahabat terbaikku adalah Ragaku. 

"Hai, namaku jiwa," kataku dua dasawarsa lalu. Dia mengulurkan tangannya. "Namaku Raga." Sejak saat itu aku memutuskan untuk menjadi temannya. Kemudian kami bersatu, berenang-renang dalam cairan hangat di dalam kantung seorang yang lembut.

Kami tumbuh bersama, hidup bersama. Bermain, mengkhayal dan belajar bersama. Menjadi sahabat yang tak dapat terlepas hingga merasa satu selama bertaun-taun. Aku dan dia serasa satu dalam jenis.

Hingga beberapa akhir ini aku tersadar, aku dan dia bersatu namun tak jadi satu. "Kau kenapa?" tanyaku beberapa hari yang lalu. Aku merasa tak sejalan dengannya kali ini. Dia menggeleng. Aku benar-benar tak tau apa yang terjadi padanya. Meski seringkali yang terjadi padanya adalah karena ulahku. Kali ini aku tak tau alasannya, dia kesakitan saat aku merasa senang. Padahal biasanya dia akan sakit saat aku sedang bimbang atau kalut di saat bersamaan. "Sungguh, kali ini aku tak bisa menebak kau kenapa, ada apa denganmu, Raga?" Lagi-lagi dia menggeleng.

Friday, December 20, 2013

selingan (2)



Sepi sekelilingku sunyi, tiap mata sibuk dengan apa yang digenggam telapak tangan erat. Entah buku, entah gadget entah tuts di computer lipat. Aku sendiri sibuk mengulang-ulang satu kalimat dalam lembar kuning di hadapanku. Hingga ku dengar satu langkah kaki yang begitu ku kenal, irama dua tungkai yang tak pernah menyeret langkah di lantai. Karakter orang yang tak suka mengulur-ulur waktu. Sayangnya, suka sekali terlambat dari waktu yang disepakati.

Dia duduk tepat di hadapanku, keringat membasahi rambutnya yang baru dipangkas. Tak ada senyum. Ku pandang wajahnya sekilas, rontok bahagiaku yang sekejap barusan. Karna tak ku temukan apa yang sedari tadi aku cari, kehangatan wajah yang ku rindukan. Kembali ku baca kalimat-kalimat yang sedari tadi tak kutemukan apa intinya. Aku tak sedang ingin mengalah.

“Maaf ya terlambat.” Pelan dia mengeluarkan perangkat keras kesayangannya, dengan gambar apel yang digigit sedikit di permukaannya.

Buat apa minta maaf jika terus menerus kau ulangi lagi apa yang kau mintakan maaf. Aku hanya mengangguk, tak berselera untuk mengomel. Penatku sudah menumpuk di ujung ambang batas kesabaran. Ah, bukankah sabar tak ada batas dan ujungnya?

Wednesday, December 18, 2013

Tidakkah kau...(?)

Tidakkah kau rindu (?)

Pada kabut tipis selimut pagi

Tidakkah kau rindu (?)

Pada kokok ayam di ujung gelap

Tidakkah kau rindu (?)

Pada denting jam tepat angka

Tidakkah kau rindu (?)

Pada rintik hujan bulan September

Tidakkah kau rindu (?)

Pada bau basah rumput pagi

Tidakkah kau rindu (?)

Pada-ku (??)

---
catatan 20-12-2012

riacau

Aku menantimu di ujung lorong yg bisu
 Dengan tanda tanya yang tergantung di langit-langit ruangku
 Ujung lorong dua arah menghimpitku
 Bertanya memaksa, jalan mana yang kan kutekuni

Aku menantimu di ujung lorong yang basah oleh kelabu
 Membanjir air danau di penjuru sudut
 Gelap betah bermuram di hadapanku
 Sementara senyum menungguku mengangguk yakin

Kubaca rapal suaramu yang lirih
  Sajak patah tak berpita suara menghapalnya
  Dengan mataku yang buram
  Aku tau kau maknai sejuta pandangan
  Sementara aku masih berdiam di satu kalam

Menatap jejak hangat di latar tandus  depan mataku
  Ku tatap kian menghilang
  Ku rasa kian membekas

Ah, aku rindu jemarimu, peluru
  Ini rahasiaku, menatapmu ketika matamu sibuk dengan jutaan huruf semu dihadapanmu


-------
ditulis saat menyusuri jalan antara Fakultas Teknologi Pertanian
sampai ke kosan
suntuk menjelma menjadi kelabu

Monday, December 16, 2013

puisi poison

Hai puisi, apa kabar?
are you okay?

kau baik-baik saja, selalu baik-baik saja. 

Jangan melihatku dengan tatapan begitu, seolah aku orang jahat yang siap menerkammu. Aku tak memiliki maksud jahat kali ini.
Lihatlah aku dengan tatapan mengejek, itu lebih baik.


Apa yang kau baca malam ini? 
Tidak, iya, aku tak membencimu. Buat apa aku membencimu? 

Puisi..
 

Banyak yang ingin aku tanyakan padamu. Tidak, bukan tentang aku dan kamu. Juga bukan tentang kita (aku dan kamu tak pernah menjadi kita). Tapi tentang dia.
Kau tau banyak tentangnya, dan aku ingin tau. Aku ingin menyelam lagi ke dalam arus pikirmu. Berenang bersama alir merdu katamu, biar tenggelampun aku mau.


Puisi.
Ah, aku bilang aku tak suka puisi. Kau percaya itu?
Aku tak suka puisi - membacanya. Aku suka lirik manis, sajak patah, bait sendu dan kalam basah. Aku suka. Dan betapapun aku suka, apakah aku suka puisi?

Kau tau?

15.12.13.21:24

Thursday, December 12, 2013

Distilasi

"Jadi ini adalah materi terakhir kita untuk distilasi, batch distillation," dosen jangkung berkacamata itu membuka materi angka-angka kali ini. Jeda. Dia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. 

Aku mengembara dalam perjalanan pikiranku, tentu sendiri.
Jeda panjang selalu diambil olehnya, seolah banyak yang tergantung dalam pikirannya. Ah, aku pengamat orang yang terlalu sok tau. Kembali aku pandang buku di mejaku. Kosong. Aku sedang malas mencatat. Aku tak peduli. 


Dosen pengajar ini kembali menerangkan ini itu, pikiranku kembali terbang. Angka-angka terus dihamburkan, aku tenang menghamburkan waktuku untuk berenang. Menyelami pikiran keruhku sendiri. 


Bagaimana jika pikiranku didistilasi?
Pikiranku berceracau. 


Seberapa banyak ekstrak yang kudapat?
"Temperatur dan lama waktu distilasi mempengaruhi banyak destilat yang didapatkan, itu dinamakan dengan kondisi unsteady state," lanjutnya dan bla-bla-bla kata-katanya samar-samar ku dengar. Setan sedang bertamu di telingaku.

Monday, December 9, 2013

--



Aku merasa kehilangan.
Aku kehilangan saudara sepupu perempuan kecilku yang dulu sering kuajak main bersama. Saat kubaca status-status di facebooknya, tentang malasnya dia bersekolah, beginilah dengan pacarnya, pacarnya begitulah dan sebagainya.

Aku kehilangan gadis kecil yang selalu menempel denganku saat bertemu. Ku mandikan jika sore datang, dan kusisir rambut lurusnya yang basah saat ku keramasi. 

Ke mana gadis kecil yang pemalu itu? Lingkungan membesarkannya dengan salah di mataku. Dia adalah salah satu kebanggaan kakek nenekku. Di antara kedua saudaranya.

Aku kehilangan gadis kecilku..

Beginikah…

Beginikah yang dirasakan orang tuaku? Bagaimana perasaan mereka terhadapku?
Yang seringkali membangkang saat diberitau, yang seringkali berbeda sudut pandang ini itu, yang sering tak peduli saat aku bahagia..

Wednesday, December 4, 2013

selingan

Dari kejauhan, terlihat samar-samar warna merah baju wanita yang sedang berjalan menuju arahku. Kacamata serasa kebutuhan utama saat ini. Ah, tanpamu rasanya semua menghamblur, samar. Semakin dekat wanita itu, semakin jelas apa yang dibawanya. Tangan kirinya membawa satu kantong plastik berukuran besar, yang dari jauhpun aku tau apa isinya. Sederhana, baju yang telah dilaundry. Sedangkan tangan kanannya membawa satu botol plastik air mineral ukuran 1200 ml. 

Dia berjalan sedikit terhuyung ke kiri. Semakin ia berjalan, semakin jelas motif bunga-bunga pada celana selututnya. Sementara asap terus berkeliaran di sekelilingku. Jika aku menjadi dirimu, aku akan membawa keduanya dalam satu. Botol air mineral akan kuletakkan di atas tumpukan baju dalam plastik kemudian aku akan membawanya dengan kedua tanganku. Bukankah kemudian akan lebih ringan dan kau bisa tetap berjalan tegap dan anggun. Lalu ia berlalu melewatiku. Aku tak mengenalnya.


Senyum terbit di bibirku, entah untuk alasan apa. "Mas, nasi gorengnya sudah jadi ini." Ibu nasgor menyadarkan lamunan. Kuambil nasi goreng dalam bungkusan dan kuberikan selembar lima ribuan dan selembar dua ribuan. Segera kulangkahkan kakiku untuk pergi, menjauh dari asap yang menyesakkan.