Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Monday, February 17, 2014

Pelangi malam hari

"Pernah tidak, orang tuamu bertanya padamu, 'apa kau bahagia dengan jalanmu saat ini?" tanyamu padaku. Aku menggeleng, melanjutkan kesibukanku dengan jilidan kertas di hadapanku.
"Kalau pertanyaan, 'apa yang ingin kau raih di dunia ini?'" tanyamu lagi. Kembali aku menggeleng, setelah beberapa saat memutar ingatanku untuk pertanyaan itu.
"Memangnya ada apa?" tanyaku kemudian. Kali ini kau yang menggeleng, sambil membenahi letak kacamatamu.
"Bagaimana dengan pertanyaan, 'apa yang paling membuatmu paling bahagia?'" lanjutmu lagi, sambil menatapku lekat. Aku menggeleng lagi. 
"Orang tuaku hanya sering bertanya, 'bagaimana sekolahmu? kapan skripsi? kapan lulus? bagaimana bisnismu? apa uangmu masih ada?" kataku kemudian menghela napas, "sementara pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan, apa misi hidupku, apa yang ingin aku raih dan dapatkan tak pernah ditanyakan."

Sunday, February 9, 2014

kalimat awal

aku sibuk memandang garis pantai sementara kau sudah lepas menembus batas cakrawala

"IP itu nggak penting karena nanti di liang kubur nggak bakal ditanyain itu" ini benar. Jangan jadikan IP sebagai tolak ukur keberhasilan. Jangan jadikan acuan untuk menciptakan kebahagiaan. Tapi alasan itu jangan dijadikan pembenaran. Meski tak terlalu penting bagi nanti, setidaknya dengan angka-angka itu bisa membuat kedua orang tua tersenyum bangga.

"Siapa bilang IP itu nggak penting," begitu kata siswa besar yang berIP cemerlang. Lalu alasan-alasan yang tak kalah banyaknya muncul. Ah alasaan.. 

Alasan selalu membuat kita selalu benar, begitu kata guru fisika gaul dulu. Alasan, Dalih.
 
Ah aku tak tau aku menulis apa. Sebenarnya aku ingin menuliskan tentang dua kalimat paling awal di atas, tapi menjabarkannya sungguh tak mudah. Aku hanya ingin menulis, tanpa alasan apapun. Hanya ingin merajut kata, tanpa tau ingin membentuk makna apa. Aku sedang kesal, lalu kesal menjelma menjadi rindu akan kata-kata. Aneh. Tapi biarlah..
ditulis pada 3Feb'14

Saturday, February 1, 2014

tundukku

If I say as a soul, you know I'm free

Bagaimana bisa ku tahan bola kaca di mataku tak pecah saat ku dengar apa yang sudah kuduga itu. Sementara aku masih bertahan dalam kebenaran yang ku pegang. Aku selalu menurutimu, kebohongan terakhirku sudah bertahun lalu, sementara tundukku padamu selalu sejengkal lebih rendah daripada angkuhku. 

Jadi ini masih salahku? Sementara kau benar-benar tak bicara denganku, bahkan ketika ku ajak kau berbincang. 

Dan ternyata itu masalahmu, perdamaian dalam hatimu belum kau kibarkan. Dan aku yang kena tiang benderanya. Kau serahkan padaku. Padahal jelas-jelas kau bilang apa yang kau mau, apa yang berlawanan dengan fakta tentangmu dan seirama dengan keinginanmu berpuluh tahun lalu. Ini masih salahku?
Jangan pernah bilang kau tau aku. Kau tak kan pernah tau. Bahkan pada dirimu sendiri kau tak mau berdamai, bagaimana kau mau berdamai dengan keadaan yang selalu membuat orang lain berada di sisi yang salah. Jika bisa aku teriak, ku teriakkan apa yang tak ku suka darimu. Tapi bukankah tundukku harus selalu sejajar dengan kakimu? 

But now I'm a human, that don't have a freedom. Death is my freedom