Hari beranjak mendekati petang, sementara "warung cantik" ini semakin ramai dikerubungi muda-mudi untuk menghabiskan apa yang orang sebut dengan malam minggu.
Begitu juga aku.
Aku sudah memesan satu hidangan
yang paling kau suka. “Aku tak perlu hidangan penutup yang lain,” katamu kala
itu, coklat powder belepotan di
sekitar bibirmu. “Memang rasanya ada sedikit pahit, kau tau kenapa?” tanyamu.
Aku seorang yang tak mudah bicara pada orang baru, berbeda denganmu yang langsung tak kenal malu. Tapi berbeda lagi dari biasanya, aku nyaman berbicara dengan orang asing sepertimu. Aku menggeleng menanggapi kicauanmu.
Aku seorang yang tak mudah bicara pada orang baru, berbeda denganmu yang langsung tak kenal malu. Tapi berbeda lagi dari biasanya, aku nyaman berbicara dengan orang asing sepertimu. Aku menggeleng menanggapi kicauanmu.
“Pahit ini karena ada kopi sebagai
ingrediennya, kafein yang menciptakan cita rasa pahitnya,” lalu kau kembali mengunyah
satu sendok tiramisumu. Ya, itulah hidangan favoritmu, tiramisu.
Aku melihatmu seakan kau tak akan
pernah bisa lagi makan, begitu menikmati. Entah mengapa aku tersenyum tiap kali
melihat ekspresimu setelah merasakan pahit yang kau bilang.
“Tapi, tidak hanya pahit,” katamu
sekali lagi. “Juga ada cita rasa manis, karena ada gula sebagai ingredien
lainnya. Dan juga kau tak perlu mencari hidangan lainnya, ini sudah berenergi
tinggi.”
“Kenapa?” tanyaku. Aku tak tau
menau soal kue dan ingrediennya.
Kau menyelesaikan sepiring tiramisu-mu,
“telur menyumbangkan kalorinya untuk si tiramisu,” katamu seraya mengulurkan
tanganmu, “senang berkenalan denganmu. Pagi.” Aku mengernyit. “Pagi?” tanyaku.
“Iya, namaku Pagi. Selamat malam,
Wira.” Kemudian kau berlalu.