“Aku ingin menemukan cinta seperti itu,” katamu, memecahkan sepi yang mendadak ada setelah ku bercerita sekian bab cerita pilu. Tentang pertemuan dan perpisahan, tentang senyum dan air mata, tentang paradoks dan kontradiksi yang selalu beriringan.
“Cinta sejati?” tanyaku,
memancingmu.
“Benar!” serumu, sambil
tersenyum dan bersemangat.
“Coba cari saja di dalam
lemari, di atas meja, atau di bawah kolong kasurmu. Siapa tahu ketemu.” Asal saja
ku jawab seperti itu.
“Ah kau pikir aku mencari
kecoak?”
Aku tertawa terbahak. Tak
menyangka jawabanmu seperti itu. Lalu kau diam, mencipta hening panjang lagi. Aku
datang ke tempatmu bukan untuk membuatmu berpikir, tapi sengaja untuk mencipta
senyum di raut mukamu yang telah lama mendung. Meski tak kelabu.
“Bukankah cinta itu
selalu ada di balik kelopak matamu?” tanyaku, mencoba memutus hening.