barangkali hanya sebuah kata saja yang sanggup menggambarkan
barangkali hanya sebuah tanda baca saja yang harus dipenuhi
barangkali hanya sebuah jeda saja yang dibutuhkan
sayangnya, yang tersaji tak hanya sebuah
Friday, February 7, 2020
Di pinggiran kasur, aku menatapmu. Tidurmu sudah pulas, nafasmu sangat tenang, tidak tersisa sama sekali kemarahan yang begitu buas menguasaimu. Kuusap pipimu. Air mataku yang tumpah. Ah, betapa aku mencintaimu. Kau menggeliat, kesadaranmu mulai terkumpul, lalu menatapku dengan sayu. Aku tersenyum, setelah berjam-jam menangis di hadapanmu. Rasanya ingin kuucapkan beribu kali, aku mencintaimu. Rasanya ingin kupeluk dan tak pernah kulepaskan, hingga hewan buas dalam dadamu itu menghilang dari jiwamu. Kucium pipimu. Kau tau, kau adalah satu-satunya orang yang mampu membuatku menundukkan hewan liar dalam diriku sendiri. Kau tau, kau satu-satunya orang yang aku rela melepaskan apa saja untukmu. Aku mencintaimu. I love you, unconditionally.
Labels:
Flash fiction
Penantian
Pukul 14.17, Jumat 7 Februari.
Aku membuka akun blogger-ku tanpa ada satupun topik yang ingin kutuliskan.
Rindu?
Bisa jadi. Aku rindu menulis bebas tanpa dasar teori, hanya berdasarkan perasaanku, pemikiranku sendiri. Yah, yang seringkali awut-awutan, tentu saja.
Minggu ke-37 kehamilan. Sudah tidak sabar segera bertemu si bocah. Memeluk dengan lengaku, tak lagi memeluk dengan perutku. Meski sebenarnya was-was, bisakah aku menjadi seorang ibu? Sesungguhnya ibu yang yang dapat menjadi tempat pulang anaknya. Setelah kalimat sebelum ini tertulis, aku membuka tulisan lamaku tentang teori-teori orang tua dan anak. Ah.
1
2
3
Ternyata hanya tiga tulisan tentang orang tua dan anak, selebihnya adalah tulisan tentang Sang Lelaki dan Sang Wanita. Dua tokoh yang abadi dalam kata-kata.
Aku membuka akun blogger-ku tanpa ada satupun topik yang ingin kutuliskan.
Rindu?
Bisa jadi. Aku rindu menulis bebas tanpa dasar teori, hanya berdasarkan perasaanku, pemikiranku sendiri. Yah, yang seringkali awut-awutan, tentu saja.
Minggu ke-37 kehamilan. Sudah tidak sabar segera bertemu si bocah. Memeluk dengan lengaku, tak lagi memeluk dengan perutku. Meski sebenarnya was-was, bisakah aku menjadi seorang ibu? Sesungguhnya ibu yang yang dapat menjadi tempat pulang anaknya. Setelah kalimat sebelum ini tertulis, aku membuka tulisan lamaku tentang teori-teori orang tua dan anak. Ah.
1
2
3
Ternyata hanya tiga tulisan tentang orang tua dan anak, selebihnya adalah tulisan tentang Sang Lelaki dan Sang Wanita. Dua tokoh yang abadi dalam kata-kata.
Labels:
curhat
Saturday, July 20, 2019
Kau Tahu
"Apakah kau mencintainya?" tanyanya sambil melirik perutku.
"Tentu, dia alasanku bertahan hidup."
"Bukan untuk dirimu sendiri?"
"Selama ini aku hidup untuk kedua orang tuaku. Kini untuknya."
"Sejak kapan kau kehilangan dirimu sendiri begini?" tanyanya, ada nada sedih pada suaranya, justru ingin membuatku tertawa.
"Kau tau itu," jawabku akhitnya menahan tawaku.
"Tentu, dia alasanku bertahan hidup."
"Bukan untuk dirimu sendiri?"
"Selama ini aku hidup untuk kedua orang tuaku. Kini untuknya."
"Sejak kapan kau kehilangan dirimu sendiri begini?" tanyanya, ada nada sedih pada suaranya, justru ingin membuatku tertawa.
"Kau tau itu," jawabku akhitnya menahan tawaku.
Labels:
monolog
Rindu Kembali
"Sudah berapa lama kau tak menulis?" tanyanya sinis. Pertanyaan pertama setelah sekian bulan lamanya, dia lontarkan dengan nada sinis.
"Entah," jawabku malas-malasan.
"Tidak rindu?" masih dengan nada sinisnya.
"Rindu. Seakan kehilangan diriku sendiri, kehilangan arti dari diriku sendiri."
"Itu karena kau menilai bahwa kau ada saat kau berpikir dan menulis," komentarnya lagi.
"Ya. Kau sangat mengertiku."
"Jadi apakah kau akan berpikir dan menulis lagi?"
"Tak tahu," kali ini aku meragu.
"Lantas buat apa kau kembali?"
"Aku merindukan diriku sendiri."
Tak ada pertanyaan lagi. Dia selalu mengerti aku. Pertanyaannya hanya ingin menggiringku pada kesimpulan akhir ini. Dia selalu tau jawabanku atas pertanyaannya. Aku.
"Entah," jawabku malas-malasan.
"Tidak rindu?" masih dengan nada sinisnya.
"Rindu. Seakan kehilangan diriku sendiri, kehilangan arti dari diriku sendiri."
"Itu karena kau menilai bahwa kau ada saat kau berpikir dan menulis," komentarnya lagi.
"Ya. Kau sangat mengertiku."
"Jadi apakah kau akan berpikir dan menulis lagi?"
"Tak tahu," kali ini aku meragu.
"Lantas buat apa kau kembali?"
"Aku merindukan diriku sendiri."
Tak ada pertanyaan lagi. Dia selalu mengerti aku. Pertanyaannya hanya ingin menggiringku pada kesimpulan akhir ini. Dia selalu tau jawabanku atas pertanyaannya. Aku.
----
Labels:
monolog
Sunday, January 28, 2018
Bawangku bukan Bawangku
(koleksi pribadi dari bawang penelitian) |
Aku
dipaksa berkenalan. Maka kuberanikan diriku. "Hai," sapaku, kaku. "Hai,
aku bawang merah," katamu, riang. "Onion?" tanyaku sok tahu. "Bukan,
salah! Aku shallot." Lalu kita mulai saling mengenal. Kau labil, aku
juga. Kau susah ku cari, aku mudah menghilang. Tapi aku tak mau lari,
maka kau terus ku kejar, meski lambat.
Sudah sekian lama, maka ku beranikan diri bilang.
"Aku mencintaimu," kataku, malu. Cinta tapi begini. Cinta tapi begitu. Sebenarnya, supaya ku kuat terus bertahan. Lama tak terdengar, kau jawab pelan, "aku juga mencintaimu."
Aku
terdiam, benarkah itu? Kau tau artinya raut wajahku yang ragu, maka kau
katakan "aku mencintaimu, tapi tetap membuatmu menangis? Maaf. Tapi
sesungguhnya itu bukan sepenuhnya salahku. Kau juga harus tau, bagaimana
harus menghadapiku. Bukankah sudah lama kita saling mengenal? Harusnya
kau lebih paham."
Aku terdiam. Serasa ditampar. Ya, aku yang seharusnya lebih paham.
Tetap
saja, boleh ku katakan lagi? "Aku mencintaimu. Mari membuat kisah cinta
yang lebih cantik lagi. Ah maafkan aku." Kataku. Lalu kau tersenyum.
Keluar tunasmu, matilah aku. Lagi-lagi, aku yang salah. Ah, aku bisa
apa? Oh, lagi-lagi.
Labels:
Flash fiction
Sunday, January 7, 2018
Kedua : untuk lelakiku
Ternyata kita banyak beda
Aku perempuan
Kau laki-laki
Itu yang pertama
Selanjutnya
Aku mengingat dengan
retinaku
Kau mengingat lewat
gendang suaramu
Aku suka barisan huruf
yang diam
Kau suka gambar yang
bergerak
Aku suka nada-nada lama
Kau suka semua nada,
kau punya kemampuan luar
biasa dengan suara
Aku suka mengabadikan
peristiwa dengan gambar
Sementara kau
mengabadikan dengan gambar bergerak pun bersuara
Aku tak suka ini, tapi
kau suka ini
Aku suka itu, kau tak
suka itu
Ternyata terlalu banyak
beda
Kita hanya sama sama
Menyukai warna biru
Mudah masuk angin
Tak suka berkeringat
Hanya itu saja. Ah, dan
satu lagi,
KITA PUNYA RASA YANG
SAMA. dan visi yang sama.
Mudah-mudahan.
Labels:
the letter
Pertama : untuk manusia yang memantik tawaku, lagi.
Teruntuk kamu,
Yang namanya ku sebut
dalam doa sederhanaku.
Ah. Aku tau, ini terlalu
dini. Aku sudah berani bilang aku suka padamu. Mudah-mudahan kau tak percaya.
Bahwa aku suka padamu. Supaya kau tak membuatku semakin jatuh. Ah, maksudku
hatiku yang jatuh. Jatuh hati.
Hanya dua minggu saja,
dan aku mulai menyukaimu. Aku suka bagaimana kau membuat aku tertawa. Dengan
tingkah dan kata-kata konyolmu. Aku suka bagaimana caramu bercanda. Tanpa
dipaksa, tanpa terpaksa, tanpa pusing memutar kepala. Mengalir begitu saja. Dan
itu sanggup membuat setiap hariku dipenuhi ledak tawa. Oh! Aku sudah lama tak
sebahagia ini.
Labels:
the letter
Wednesday, December 20, 2017
Petang? Senja?
“Katamu aku petang.”
Omelmu hari ini. Sudah lama aku tak mendengar omelanmu.
“Ya, kau memang petang.
Kau mau aku sebut apa lagi?” Kataku, sok cuek padahal ingin tertawa.
“Kenapa tak kau sebut
senja? Bukankah sama saja?”
“Nope. Tidak sama. Senja
dan Petang jauh berbeda. Hanya beberapa detik, tapi jauh berbeda.”
“Apa maksudmu berbeda?
Mereka sama saja.”
Labels:
Flash fiction
Friday, November 10, 2017
Keluarlah ! Pindahlah !
Lima belas menit sudah hujan mengguyur kota ini. Tidak deras tapi cukup untuk membasahi seluruh pakaian. Tiga menit sudah sepasang lelaki dan wanita itu mengantri. Ya, mengantri hanya untuk melewati sebuah jalan. Kota macet, biar hujan tetap macet. Sepanjang jalan yang sempit dan kendaraan yang padat. Kombinasi yang pas untuk meluapkan emosi, tapi sepasang lelaki dan wanita itu tak pernah emosi, mereka hanya diam dalam jas hujan masing-masing. Menamati pemandangan yang sering mereka lihat dan tak juga berubah.
Labels:
Flash fiction
Tuesday, September 5, 2017
Baiklah, aku sisipkan sedikit jeda dari beribu spasi yang sengaja aku ketikkan. Spasi untuk kegiatan yang membuatku lupa akan masalah dan perihal kehidupan lainnya. Jatuh cinta, terlalu sederhana ternyata. Itu tentang melupa dan mengingat. Itu tentang tawa dan air mata. Aku selalu selalu bilang itu sepaket. Jatuh cinta selalu berpasangan dengan patah hati. Hanya, jatuh cinta ada diawal cerita sedangkan patah hati entah ada diperiode kehidupan yang kapan. Laksana pertemuan dan perpisahan, begitulah jatuh cinta dan patah hati ditakdirkan, selalu sepaket. Tak percaya? Aku tak memaksamu untuk percaya. Karena katanya kepercayaan itu hak sepenuhnya dari seorang insan.
Sudah sekian menit aku memutuskan untuk menulis di kolom yang jarang ku buka. Hanya sesekali saja. Dan sekali itu pun jarang ku laksanakan dalam sebulan. Aku mencinta kata. Aku masih mengagumi rima. Aku pun masih sering mengolah rasa. Tapi, lagi-lagi jatuh cinta yang ini membuatku lupa. Bahwa aku punya dunia lain, yang akan selalu ada menampung tumpahan aksaraku. Ah ~
Mungkin sudah waktunya aku menutup lagi kolom ini. Untuk menghitung keperluan bahan kimia yang dibutuhkan. Ternyata aku juga rindu, laboratorium dan kesibukan yang membuatku lupa daratan.
SELAMAT MELANJUTKAN HIDUP
Sudah sekian menit aku memutuskan untuk menulis di kolom yang jarang ku buka. Hanya sesekali saja. Dan sekali itu pun jarang ku laksanakan dalam sebulan. Aku mencinta kata. Aku masih mengagumi rima. Aku pun masih sering mengolah rasa. Tapi, lagi-lagi jatuh cinta yang ini membuatku lupa. Bahwa aku punya dunia lain, yang akan selalu ada menampung tumpahan aksaraku. Ah ~
Mungkin sudah waktunya aku menutup lagi kolom ini. Untuk menghitung keperluan bahan kimia yang dibutuhkan. Ternyata aku juga rindu, laboratorium dan kesibukan yang membuatku lupa daratan.
SELAMAT MELANJUTKAN HIDUP
Labels:
curhat
Percakapan langit
Ah rindu percakapan langit. Kaki yang tetap menapak di bumi, pikiran
yang dipenuhi kabut, dan detik yang terus berputar. Berkeliling antara 1
dan 12. Terus menerus hingga kokok ayam menyadarkan. Bahwa matahari
sudah selesai istirahat. Dan hey! mata belum terpejam barang semenit.
Alangkah asyik, percakapan langit.
Tuesday, July 11, 2017
Cerita Pendek yang Sanggup Memperpanjang Rasa
"suatu hari, di pagi yang mendung seorang pangeran sedang skrol layar henpon ke atas ke bawah tak jelas. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang tak lazim. Ada foto pangeran bersama putri kura-kura selatan berfoto bersama ketika mengikuti seminar RSM.
"setelah di-zoom
hingga sebesar layar bioskop. Ternyata pangeran sadar bahwa dia bukan putri
kura2, ternyata dia siluman ular putih hahahhaa
"setelah diamati dari
berbagai bidang pandang, ternyata si wanita menarik juga. Ada kesan
fluorescence di wajah si siluman
"pangeran pun mencoba
untuk mendekati si siluman, tapi si siluman sepertinya adalah orang yang cuek,
sehingga kemudian si pangeran bertuah ke goa bertemu nenek nenek kaos oblong. Wkwkkwkww
"si nenek mengamati
bahwa siluman ini sebenernya mempunyai hati yang baik, tapi dia tidak mau diganggu
selama masa perjalanannya untuk menulis kitab suci bagi umat bawang merah.
"namun,
itu tak membuat pangeran mundur. Karena pangeran ini memang agak kurang ajar dan
banyak tingkah, lantas si pangeran malah berusaha mendekati si siluman.
dannnnnnnnnn tet tet tet si siluman berhasil ditaklukan dengan rayuan2 maut
menembus langit ketujuh
"karena
mungkin ingin menguji kesetiaan pangeran, siluman ular mencoba memberikan
sedikit psiko test dengan memberikannya racun mujarab yang telah diracik dengan
waspada dan penuh sumber pustaka.
"setelah
pangeran ter-intervensi dengan perlakuan tsb, pangeran langsung mengalami
perubahan kesehatan signifikan (P<0.05).
"Meskipun demikian,
pangeran tetap menyayangi siluman yang kini telah mengepakkan sayapnya sampai
ujung kulon wkwkkwwk
"sekian terima
kasih,,,
(22
April 2017, 6 AM)
-tanpa editan apapun kecuali penulisan saja-
Cerita super pendek dari seseorang yang gila,
luar
biasa gila hingga membuat saya juga gila.
Saya menemukan tawa saya kembali ketika bersamanya.
Oke, saya kalah.
Thank you, my man!
Thursday, June 1, 2017
Pulang
Apakah setiap perjalanan pulang adalah perjalanan kembali?
Apakah pulang berarti kembali meniti sebuah jalan yang pernah dilewati?
Apakah pulang bisa juga kembali mencari jalan?
Apakah pulang bisa menjadi tujuan, sementara akhir adalah rumah?
Sebentar, apakah pulang selalu rumah?
Labels:
Flash fiction
Subscribe to:
Posts (Atom)