Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Tuesday, December 31, 2013

'13

Empat jam lagi dan aku akan ditinggal angka kesayanganku, 13.

Tak mungkin sepertinya, untuk bertemu '13 yang lain. 100 tahun men. 


Well, ini dia yang Olivia Yofananda lakukan di tahun yang sudah di ujung bandara keberangkatan ini :
1. Terbang ke Jogja bertiga aja sama temen - first time backpacking
2. Potong rambut model lanang yang ternyata memuaskan hati. Nyoba sesuatu yang baru itu luar biasa men \m/
3. Nyelesaiin semester 4 dengan kece
4. Tetep istiqomah nulis -- meskipun yang ditulis ya begitu-begitu aja
5. Jadi asprak di dua praktikum -- biasa aja sih, nggak becus pisan dikeduanya
6. Lupa sama sesuatu
7. *nggak bisa ditulis*


Kalau dibandingin sama 2012, this year not better than before, I think. Tapi apapun itu, harus disyukuri. Haurusss! 

Besok akan ada empat tahun di kolom kanan blog ini. Semoga lebih baik. 

Semoga tahun depan segalanya lancar, semoga tahun depan semakin waras, semoga tahun depan bisa lulus, bisa jalan-jalan lagi, tetep produktif biar abadi. Semoga..... *teks hilang*

Ouke. Let's pray together...

Kutukan Khuldi



Senin, 23 Desember
Satu pesan menunggu untuk dibuka, berkedip-kedip telepon genggam yang kuletakkan dipojok meja.
Hey, nanti sehabis kerja ya, aku tunggu di tempat biasa
Aku tersenyum sendiri membacanya. Pesan singkat lima menit yang lalu dan aku tak berniat membalasnya, nanti saja. Lalu aku kembali menerjemahkan angka-angka dalam layar tipis di hadapanku. Mengartikan deretan bilangan menjadi keputusan, apakah produk ini bisa diloloskan untuk maju ke pasar atau tidak.
“Mbak ayo pulang,” ajak juniorku di tim benteng kualitas di perusahaan ini. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman, sembari melirik ke layar komputer canggih keluaran terbaru yang menemaniku sepanjang hari. Gadis berambut panjang ini mengerti apa yang ku maksud tentu saja, pekerjaanku belum selesai, aku tak suka meninggalkan pekerjaan.
Aku bekerja di sebuah perusahaan besar di kota kelahiranku, Malang. Biar aku kuliah di luar kota, aku malas untuk mencari kerja di luar kota juga, Bogor, tak menarik bagiku untuk pergi lebih jauh lagi. Teman-temanku bilang aku aneh karena kesempatanku untuk kerja di ibu kota besar namun aku malah memilih kota kelahiranku. Ya, aku kembali lagi pada pelukan dingin Sang Malang.
Handphoneku bergetar pelan.
Aku tunggu lho ya, pulang jam 4 kan? Aku di tempat biasa jam setengah lima. See ya
Aku lupa membalas pesannya tadi. Lalu ku ketik balasannya.
Oke. Tunggu kedatanganku di sana
Kuhapus lagi kalimat terakhir, hingga yang tersisa hanya kata, Oke. Kembali aku melanjutkan pekerjaanku. Jam-jam berlalu tanpa terasa.
“Dek, belum pulang?” tanya atasanku tiba-tiba, mengagetkan aku yang sedang meregangkan otot-otot pinggang yang serasa sangat kaku.
“Iya Bu, ini sudah selesai, segera meluncur pulang,” kataku berusaha sopan.
“Oke, saya pulang dulu ya. Selamat Sore.”
“Sore Bu.”
Aku segera mengemasi barang-barangku. Sebuah buku bersampul kulit, bolpoint, netbook dan charger serta handphone yang ku masukkan dalam jaket jeans yang kukenakan. Aku buru-buru, aku tak suka orang lain menungguku.
---

Tuesday, December 24, 2013

The Host

Sang Inang.

Baru selesai saya menonton film The Host, tentu bukan film baru, tentu juga tidak menonton di bioskop. You know this movie? Or maybe you know the novel? Kira-kira tiga tahun lalu saya membaca novel The Host karya Stephehie Meyer, novel seorang teman saya juga, hehe. Stephenie Meyer, penulis wanita luar biasa saya pikir. Saya takjub dengan bagaimana cara dia membayangkan, bagaimana cara dia berimajinasi. Sama seperti J.K Rowling yang imajinasinya tak kalah luar biasa. Ini orang-orang bagaimana caranya berkhayal bisa seperti itu.

The Host. Cerita tentang penjajahan bumi oleh makhluk asing yang actually hanya karena seonggok jiwa, yang bisa masuk ke dalam tubuh manusia dan jiwa manusia di dalamnya bisa mati – atau tidak. Kalau dipikir-pikir sih memang tidak mungkin ini terjadi, tapi ah apa yang tidak mungkin? Tidak ada yang tidak mungkin menjadikan segala sesuatu menjadi mungkin. Maybe yes maybe no.

Saturday, December 21, 2013

Jiwa dan Raga

Sahabat terbaikku adalah Ragaku. 

"Hai, namaku jiwa," kataku dua dasawarsa lalu. Dia mengulurkan tangannya. "Namaku Raga." Sejak saat itu aku memutuskan untuk menjadi temannya. Kemudian kami bersatu, berenang-renang dalam cairan hangat di dalam kantung seorang yang lembut.

Kami tumbuh bersama, hidup bersama. Bermain, mengkhayal dan belajar bersama. Menjadi sahabat yang tak dapat terlepas hingga merasa satu selama bertaun-taun. Aku dan dia serasa satu dalam jenis.

Hingga beberapa akhir ini aku tersadar, aku dan dia bersatu namun tak jadi satu. "Kau kenapa?" tanyaku beberapa hari yang lalu. Aku merasa tak sejalan dengannya kali ini. Dia menggeleng. Aku benar-benar tak tau apa yang terjadi padanya. Meski seringkali yang terjadi padanya adalah karena ulahku. Kali ini aku tak tau alasannya, dia kesakitan saat aku merasa senang. Padahal biasanya dia akan sakit saat aku sedang bimbang atau kalut di saat bersamaan. "Sungguh, kali ini aku tak bisa menebak kau kenapa, ada apa denganmu, Raga?" Lagi-lagi dia menggeleng.

Friday, December 20, 2013

selingan (2)



Sepi sekelilingku sunyi, tiap mata sibuk dengan apa yang digenggam telapak tangan erat. Entah buku, entah gadget entah tuts di computer lipat. Aku sendiri sibuk mengulang-ulang satu kalimat dalam lembar kuning di hadapanku. Hingga ku dengar satu langkah kaki yang begitu ku kenal, irama dua tungkai yang tak pernah menyeret langkah di lantai. Karakter orang yang tak suka mengulur-ulur waktu. Sayangnya, suka sekali terlambat dari waktu yang disepakati.

Dia duduk tepat di hadapanku, keringat membasahi rambutnya yang baru dipangkas. Tak ada senyum. Ku pandang wajahnya sekilas, rontok bahagiaku yang sekejap barusan. Karna tak ku temukan apa yang sedari tadi aku cari, kehangatan wajah yang ku rindukan. Kembali ku baca kalimat-kalimat yang sedari tadi tak kutemukan apa intinya. Aku tak sedang ingin mengalah.

“Maaf ya terlambat.” Pelan dia mengeluarkan perangkat keras kesayangannya, dengan gambar apel yang digigit sedikit di permukaannya.

Buat apa minta maaf jika terus menerus kau ulangi lagi apa yang kau mintakan maaf. Aku hanya mengangguk, tak berselera untuk mengomel. Penatku sudah menumpuk di ujung ambang batas kesabaran. Ah, bukankah sabar tak ada batas dan ujungnya?

Wednesday, December 18, 2013

Tidakkah kau...(?)

Tidakkah kau rindu (?)

Pada kabut tipis selimut pagi

Tidakkah kau rindu (?)

Pada kokok ayam di ujung gelap

Tidakkah kau rindu (?)

Pada denting jam tepat angka

Tidakkah kau rindu (?)

Pada rintik hujan bulan September

Tidakkah kau rindu (?)

Pada bau basah rumput pagi

Tidakkah kau rindu (?)

Pada-ku (??)

---
catatan 20-12-2012

riacau

Aku menantimu di ujung lorong yg bisu
 Dengan tanda tanya yang tergantung di langit-langit ruangku
 Ujung lorong dua arah menghimpitku
 Bertanya memaksa, jalan mana yang kan kutekuni

Aku menantimu di ujung lorong yang basah oleh kelabu
 Membanjir air danau di penjuru sudut
 Gelap betah bermuram di hadapanku
 Sementara senyum menungguku mengangguk yakin

Kubaca rapal suaramu yang lirih
  Sajak patah tak berpita suara menghapalnya
  Dengan mataku yang buram
  Aku tau kau maknai sejuta pandangan
  Sementara aku masih berdiam di satu kalam

Menatap jejak hangat di latar tandus  depan mataku
  Ku tatap kian menghilang
  Ku rasa kian membekas

Ah, aku rindu jemarimu, peluru
  Ini rahasiaku, menatapmu ketika matamu sibuk dengan jutaan huruf semu dihadapanmu


-------
ditulis saat menyusuri jalan antara Fakultas Teknologi Pertanian
sampai ke kosan
suntuk menjelma menjadi kelabu

Monday, December 16, 2013

puisi poison

Hai puisi, apa kabar?
are you okay?

kau baik-baik saja, selalu baik-baik saja. 

Jangan melihatku dengan tatapan begitu, seolah aku orang jahat yang siap menerkammu. Aku tak memiliki maksud jahat kali ini.
Lihatlah aku dengan tatapan mengejek, itu lebih baik.


Apa yang kau baca malam ini? 
Tidak, iya, aku tak membencimu. Buat apa aku membencimu? 

Puisi..
 

Banyak yang ingin aku tanyakan padamu. Tidak, bukan tentang aku dan kamu. Juga bukan tentang kita (aku dan kamu tak pernah menjadi kita). Tapi tentang dia.
Kau tau banyak tentangnya, dan aku ingin tau. Aku ingin menyelam lagi ke dalam arus pikirmu. Berenang bersama alir merdu katamu, biar tenggelampun aku mau.


Puisi.
Ah, aku bilang aku tak suka puisi. Kau percaya itu?
Aku tak suka puisi - membacanya. Aku suka lirik manis, sajak patah, bait sendu dan kalam basah. Aku suka. Dan betapapun aku suka, apakah aku suka puisi?

Kau tau?

15.12.13.21:24

Thursday, December 12, 2013

Distilasi

"Jadi ini adalah materi terakhir kita untuk distilasi, batch distillation," dosen jangkung berkacamata itu membuka materi angka-angka kali ini. Jeda. Dia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. 

Aku mengembara dalam perjalanan pikiranku, tentu sendiri.
Jeda panjang selalu diambil olehnya, seolah banyak yang tergantung dalam pikirannya. Ah, aku pengamat orang yang terlalu sok tau. Kembali aku pandang buku di mejaku. Kosong. Aku sedang malas mencatat. Aku tak peduli. 


Dosen pengajar ini kembali menerangkan ini itu, pikiranku kembali terbang. Angka-angka terus dihamburkan, aku tenang menghamburkan waktuku untuk berenang. Menyelami pikiran keruhku sendiri. 


Bagaimana jika pikiranku didistilasi?
Pikiranku berceracau. 


Seberapa banyak ekstrak yang kudapat?
"Temperatur dan lama waktu distilasi mempengaruhi banyak destilat yang didapatkan, itu dinamakan dengan kondisi unsteady state," lanjutnya dan bla-bla-bla kata-katanya samar-samar ku dengar. Setan sedang bertamu di telingaku.

Monday, December 9, 2013

--



Aku merasa kehilangan.
Aku kehilangan saudara sepupu perempuan kecilku yang dulu sering kuajak main bersama. Saat kubaca status-status di facebooknya, tentang malasnya dia bersekolah, beginilah dengan pacarnya, pacarnya begitulah dan sebagainya.

Aku kehilangan gadis kecil yang selalu menempel denganku saat bertemu. Ku mandikan jika sore datang, dan kusisir rambut lurusnya yang basah saat ku keramasi. 

Ke mana gadis kecil yang pemalu itu? Lingkungan membesarkannya dengan salah di mataku. Dia adalah salah satu kebanggaan kakek nenekku. Di antara kedua saudaranya.

Aku kehilangan gadis kecilku..

Beginikah…

Beginikah yang dirasakan orang tuaku? Bagaimana perasaan mereka terhadapku?
Yang seringkali membangkang saat diberitau, yang seringkali berbeda sudut pandang ini itu, yang sering tak peduli saat aku bahagia..

Wednesday, December 4, 2013

selingan

Dari kejauhan, terlihat samar-samar warna merah baju wanita yang sedang berjalan menuju arahku. Kacamata serasa kebutuhan utama saat ini. Ah, tanpamu rasanya semua menghamblur, samar. Semakin dekat wanita itu, semakin jelas apa yang dibawanya. Tangan kirinya membawa satu kantong plastik berukuran besar, yang dari jauhpun aku tau apa isinya. Sederhana, baju yang telah dilaundry. Sedangkan tangan kanannya membawa satu botol plastik air mineral ukuran 1200 ml. 

Dia berjalan sedikit terhuyung ke kiri. Semakin ia berjalan, semakin jelas motif bunga-bunga pada celana selututnya. Sementara asap terus berkeliaran di sekelilingku. Jika aku menjadi dirimu, aku akan membawa keduanya dalam satu. Botol air mineral akan kuletakkan di atas tumpukan baju dalam plastik kemudian aku akan membawanya dengan kedua tanganku. Bukankah kemudian akan lebih ringan dan kau bisa tetap berjalan tegap dan anggun. Lalu ia berlalu melewatiku. Aku tak mengenalnya.


Senyum terbit di bibirku, entah untuk alasan apa. "Mas, nasi gorengnya sudah jadi ini." Ibu nasgor menyadarkan lamunan. Kuambil nasi goreng dalam bungkusan dan kuberikan selembar lima ribuan dan selembar dua ribuan. Segera kulangkahkan kakiku untuk pergi, menjauh dari asap yang menyesakkan.

Saturday, November 16, 2013

Conditional Sentences Type 3

If I had had a motorcycle, I would have went there
Dia menulis satu kalimat dalam lembar putih bersampul birunya. Rindu mungkin dengan bolpoin dan tinta.

If I had hold you close, I would have smiled everyday
Kalimat kedua yang ia tulis di baris ketiga, ada jarak sebaris kosong dari tulisan pertamanya. Ia tersenyum, mengejek dirinya sendiri. "Are you that stupid?" hinanya retoris.

If I had gone, I would have relieved
Kali ini tulisannya tidak rapi, buru-buru ia membalas pesan di ponselnya. Kalimat jawaban singkat.

Lalu Ia tulis judul tiga kalimatnya, "conditional sentences type 3" Tersenyum, gigi rapinya terlihat jelas di antara bibirnya yang kering. "Silly girl!" Satu kalimat hinaan yang lain dan ia bangkit dari kasurnya, meninggalkan notesnya yang tergeletak sembarangan di antara buku-buku berbagai genre. Conditional sentences type 3, for unreal condition, not a fact but she wish it happen in the opposite.

Monday, November 4, 2013

mimpi #1

Dia berjalan-jalan mengitari lapangan hijau depan gedung rektorat tinggi kampusnya. Baru saja selesai rapat, tapi langkah kakinya tak menuju pulang, ada sesuatu di lapangan sana. Seraut wajah muncul di antara keramaian, disusul berratus kenangan yang membanjiri kepala. Wajah yang sangat familiar. Wajah itu tak menatapnya, tapi sang empu terlihat ingin segera pulang. Gadis berrok panjang abu-abu kebiruan itu beranjak dari lamunannya, berjalan pelan sembari menunggu wajah itu.
Kau tak mengenalku? batin sang Gadis.
Lalu Lelaki itu menyapanya, dengan senyum orang asing yang baru. Satu senti ke kanan, satu senti ke kiri. Sang Gadis memperkirakan.

Mereka berempat menaiki angkutan umum yang sama, ya berempat. Sang Gadis, Lelaki itu, Si rambut keriting dan Si rambut lurus. Si keriting tidak terlalu dekat dengan Lelaki itu, tapi Si lurus adalah sahabatnya, teman bermain sehabis sekolah.
Malu-malu, Gadis tanpa kerudung memulai percakapan. Dengan menyodorkan buku MOS sekolahnya, ia meminta tanda tangan mereka bertiga. Kakak kelasnya. Lalu Si keriting turun, disusul Lelaki itu. Jauh kemudian angkot yang ditumpangi tetiba berubah menjadi becak, lalu Si lurus turun bersama gadis itu. Dan benar saja, di depan rumah Si lurus banyak teman yang sudah menunggunya untuk bermain.
Gadis pemalu itu langsung berjalan cepat pulang. Rumahnya kecil yang berdempetan dengan tetangganya. Rumah dengan seorang ibu yang selalu rapi membersihkan rumah setiap hari. Aneh, saat Sang Gadis menoleh ke rumah yang berdempetan dengan rumahnya, ia melihat lelaki itu sedang makan dengan lahapnya, jadi, kita bertetangga? batinnya lagi.

Saturday, October 26, 2013

Comparison

Angin sore berjalan riang menerbangkan debu jalan yang kesepian. Harmoni cicit burung dan bising kendaraan bermotor mengimbangi hembus angin.
Wanita bermata sendu itu masih tekun merapal kata dalam beratus lembar kertas di genggamannya.
"Baca buku ini lagi?" sapa Lelaki bergelung handuk di lehernya.
Wanita itu tersenyum, "iya, agar tak sekedar makna buram yang kutelan, ku rasa aku harus membacanya lagi."
"Ya baguslah, daripada hanya menatap sinar matahari senja dengan tatapan kosong, lebih baik memang membaca saja."
"Memangnya aku sepemalas itu ya?" Ada percikan emosi dalam nada suaranya. Sang lelaki hanya mengangkat bahunya.
Lelaki berkaus merah tua itu memandang lekat langit di hadapannya.
"Lah coba lihat, siapa yang suka melamun," sang Wanita mencibir.
"Indah ya ternyata, sinar matahari yang melewati awan lalu membentuk garis seperti itu."
"Lah, makanya jangan salahkan aku jika aku suka melamun memandangi langit, salahkan langitnya mengapa begitu indah."
"Yeee mana bisa begitu. Biasanya apa yang kau pikirkan selama senja di atap ini?"
Sang Wanita tak menjawab, kembali menekuni bukunya. Tapi mata lelaki itu terus menatap wanitanya. "Mau tau?" Wanita itu tertawa, lalu melanjutkan, "seringkali aku hanya menatap kosong langit lalu berandai-andai melihatnya dari penjuru yang berbeda bersamamu," wanita itu melihat lelakinya sekilas yang tersenyum, "selanjutnya seringkali aku menilai diriku sendiri, sudah baikkah hariku saat itu, sudah bermanfaatkah diriku untuk diri sendiri, sudah bermanfaatkah aku bagi orang lain, atau kadang aku juga berpikir, sudah dekatkah aku pada impianku."
"Apa yang kau dapat dari perenunganmu?"
"Seringkali kekecewaan atas diriku sendiri." Wanita itu menghembuskan napasnya, menyandarkan punggungnya ke tembok di belakangnya.
"Kenapa? Apa yang kau kecewakan? Bukannya kau sudah mendapatkan prestasi atas pekerjaan yang kau lakukan?"
"Because of comparison."

Monday, October 14, 2013

penanda waktu



Malam semakin mendekat, kelamnya semakin hebat  mengalahkan matahari sebelum Pagi datang. Ada yang senang Siang tidur melepas penat, ada yang kehilangan saat Siang menghilang bersama sahabat karibnya, Matahari. Ada gadis muda yang bertanya pada Malam, “Malam, betapa indah kau saat ini, betapa pesonamu selalu membuatku lupa akan sakit dan lelah yang terus menghantui hariku.” Ada Pedagang tua yang berbisik pada Malam, “Malam, cepatlah berlalu, anakku butuh uang untuk biaya sekolahnya, aku harus berdagang lagi esok, cepatlah datangkan matahari.” Malam bimbang, apa yang harus ia lakukan, sementara ia terus berselimut kelam dan bintang. Pagi berbisik pada Malam yang melamun, “Tak perlu bimbang, jangan dengarkan kata manusia, bukankah selalu begitu tindak dan tanduknya?”
                Malam tersenyum, bulan mengembang di ujung bibirnya. “Apakah ada juga yang berbisik padamu, wahai Pagi?”
                Pagi yang riang bersemangat menceritakan semuanya, tanpa beban dalam suaranya. “Tentu saja, tadi ada lelaki muda yang kesal karena aku datang, ia ingin berlama-lama dengan mimpinya dan malas pergi ke sekolah karenaku. Ada juga perempuan muda yang saat membuka matanya justru marah karena masih bisa bertemu denganku. Di saat yang sama ada ibu-ibu yang sudah sampai di pasar untuk membanting tulangnya sebelum aku benar-benar datang. Lalu apa yang harus ku lakukan? Berjalan pelan untuk memuaskan lelaki muda atau mempercepat jalanku agar ibu itu cepat bertemu dengan harapannya akan harinya?”
                Malam mengernyitkan dahinya. Ah, dasar manusia. ”Kau benar, kita harus tetap berjalan sesuai irama kita berdasar perintah Langit. Aku penasaran bagaimana dengan Siang dan Senja.” Malam yang pemikir, dia membayangkan bagaimana jika dia menjadi Siang dan Senja. Tentu aku tak akan sekelam ini.
                Pagi kembali berbisik, ia sudah beranjak dari rasa kantuknya. “Sama saja, baik Siang maupun Senja bernasib sama dengan kita. Tapi kurasa kita tak perlu mengeluh akan keluhan mereka, jika kita melakukan hal yang sama, lalu apa bedanya kita dengan mereka?” senyum pagi mengembang.

Monday, September 16, 2013

Surat cinta untukmu

Assalamu'alaikum..

Hai kau, apa kabar? Lama tak bercakap dalam kata. Percakapan satu arah dalam hening rindu. Ah, puisi...

Akhir-akhir ini aku sering memikirkanmu, menebak-nebak siapa namamu. Percuma memang ku tebak, tak kan kutemui jawaban sebelum waktunya. Ya, bukankah kali ini aku seperti ABG yang sedang gila-gilanya. Padahal usiaku tak muda belia lagi. Salahkah?
Hai kau, sedang sibuk apa saat ini? Sibuk kuliah? Sibuk dengan organisasimu? Atau yang lain? Berandai-andai kapan kita akan bertemu, membuatku malu, haha seperti remaja labil tidak? Kata sahabatku, pasti ketemu. Ya aku percaya itu, kadang aku hanya ingin meluapkan, menggambarkan, memuntahkan emosiku dalam kata-kata, hingga racauku terlihat seperti ABG labil. Karna seringkali ku hiraukan perasaan seperti itu, aku ingin fokus pada mimpiku, begitu alasanku. Alasan tak ada yang salah kan? Aku memang ingin menggapai mimpiku, pergi dari ujung ke ujung. Siapa tau nanti kita bertemu di salah satu ujung. Di ujung Negeri Matahari Terbit ya? Hehehe

Sunday, September 15, 2013

Surat cinta untuk pelangi

Selamat malam pelangi, jikapun ada kau malam ini, pasti tak terlihat rupamu dalam remang mataku. Tapi tetap saja, selamat malam.

Pelangi, indah kurasa namamu, Ibu Pertiwi memberikan nama indah untuk parasmu yang cantik. Kau kenal Ibu Pertiwi bukan? Ya, dia adalah salah satu putri Ibu Bumi. Di mana-mana kau diucap sama di seluruh tubuh Ibu Pertiwi, Pelangi. Mungkin kau punya banyak nama, tapi Pelangi adalah namamu yang paling indah. Yeah, tentu saja Rainbow masih kalah dengan nama Pelangi, kau suka dengan nama Pelangi itu bukan?

Rainbow. Kurasa nama itu menggambarkan adanya hubungan khusus antara kau dengan hujan. Ya aku tau, kau begitu tergantung padanya, tanpa hujan bisakah kau muncul dalam nafas bumi? kurasa mungkin bisa, hujan buatan. Apakah kau mencintai hujan? Aku pikir kau tak mencintainya. Kemunculanmu selalu bersyarat untuknya, kau selalu menuntut sinar cahaya untuk muncul dan menghias bumi. Kau mencintainya? Cinta bersyarat?

Sunday, September 8, 2013

ke mana-mana

ke mana?
ke dalam diri, terdekat yang terjauh.
"Apa kau pernah iri terhadap sesuatu atau seseorang?" tanya wanita itu, senyum mengembang di wajahnya. Keringat yang dingin terjun dari keningnya.
Lelaki di sampingnya mengipas wajahnya dengan daun. "Iri?" keningnya mengernyit, keringat membanjiri kausnya.
"Iya iri, aku sering iri pada beberapa orang di dalam hidupku."
"Kenapa harus iri?"
"Karna kadangkala mereka memiliki apa yang aku inginkan, atau seringkali di mataku mereka mendapatkan pencapaian yang lebih tinggi."
Sang Lelaki menawarkan daun kuning itu pada Wanitanya.
"Padahal setiap orang memiliki jalan sendiri, dan modal yang berbeda pula."
"Aha, jika mau diteruskan irinya ya akan jadi iri yang hebat. Kita diciptakan berbeda sedangkan menginginkan pencapaian yang sama, ya mana bisa."
"Iri tidak membawamu ke mana-mana." Lelaki itu terlentang di atas rerumput kering, angin malam berlarian kecil di atas wajahnya.
"Siapa bilang, entah itu iri, entah itu luka, itu akan membawa kita ke mana-mana."
"Ke mana? Neraka?"

Tuesday, September 3, 2013

bicara dengan kepala

Wow, long time no see
delapan hari, lamakah?
well, not really. Ke mana saja? Sebulan kemarin hanya tiga kali mampir ke sini.
rindu?
Tidak, hanya cemburu pada kesibukanmu yang lainnya.
ah aku tak sibuk apa-apa, hanya menenggelami pikirku sendiri. Hampir tiap hari ingin singgah sejenak, tapi jika sudah di depan pintu masuk rumahmu, kata-kataku seolah menguap. Rasa yang meledak ingin kubagikan tiba-tiba mencair masuk ke parit depan rumahmu.
Ah lebay!
Hahaha, iya, aku memang melebih-lebihkan.
Tapi kau pernah bilang, aku passionmu.
Apa aku bilang saat ini tak?
Tidak, apa kau dengar aku berkata seperti itu?
Ku rasa pernyataanmu tadi seolah menuduhku, aku tak lagi sedang. Benar bukan? Mungkin kadangkala aku benar-benar tak bisa merangkai satu kalimatpun, padahal rasa demi rasa terus menyerangku.
Jadi kau tetap kan?
Aha. Karna padamulah aku bisa seenaknya menumpahkan rasa, menjamu kata, dan menopengi malu.
Maksudmu?
Kau tau kan, mana mungkin ku tulis jelas sejelas-jelasnya tanpa bahasa kias pada kalimatku, sementara rasa malu terus bermuntahan kesana-kemari.
Ya, aku tau. Jadi aku hanya untuk pemuas dahagamu akan cerita tanpa suara?
Bukan hanya tapi bisa ku bilang segalanya. Padamu bisa ku tuang ramuan untuk mata dunia, padamu bisa ku bisa berdongeng tentang impian, padamu ku bisa urai kata bodoh tak penting.
...
Kenapa diam saja? Kau marah? Tenang saja, kau bukan tempat sampah, kawan.

----
bicara pada kepala sendiri

Saturday, August 24, 2013

Let me cau. Racau

"Hey kenapa?" Dia mengacaukanku tiba-tiba. Kupandangi rambutnya yang kian panjang dan tak terurus, badan birunya masih sama.
"Kenapa memang?" jawabku dengan tanda tanya.
"Kau tanya aku, aku tanya siapa?" Dia menggaruk-garuk kepalanya, aku tertawa.
"Aku sedang kesal." Dia menatapku.
"Aku kesal dengan diriku sendiri, sudah membuat suatu keputusan dan aku rasa itu keputusan yang salah."
"Bagaimana kau bisa mengatakan itu keputusan yang salah?"
"Entahlah, aku sudah menimbang bagaimana resikonya dan tau seberapa buruk dampaknya, pada akhirnya meski aku sudah memilih tetap saja aku tak bisa menahan pikiranku sendiri terhadapnya."
"Memangnya itu keputusan apa sih?" Semakin tajam dia menatapku.
"Ah kau tak perlu tau. Aku kesal pada diriku sendiri kenapa semakin lama semakin payah."
"Heh! Kau sudah bertambah tua, apa yang kau pikirkan belum tentu benar, jika kau terus saja memikirkan apa yang belum tentu terjadi buat apa? Lagipula, menyesal terhadap suatu keputusan itu apa untungnya?"
Aku diam saja. Memang tak ada gunanya. Malas beradu argumen, aku diam saja.
"Sudahlah, kalau kau memilih terus begini, siapa yang akan membahagiakanmu? Seperti yang sering kau bilang, tertawa saja maka seluruh dunia akan tertawa denganmu jangan bersedih karena kau hanya akan bersedih sendiri. Bahagia itu keputusan juga kan?" Dia menepuk-nepuk punggungku, tersenyum memamerkan gigi putihnya. Aku masih diam saja, memandang langit jauh di hadapanku.

Friday, August 16, 2013

Merah Putih

Merdeka!
17 Agustus
Kata Merdeka akan banyak dipekik dan diketik hari ini. Dan sepanjang bulan kedelapan ini. Merdeka
Lagi-lagi kata itu akan banyak dibaca, didengar, dan digaung-gaungkan. 

Sebenarnya...
Buat apa ucap merdeka, jika penderitaan jelas masih diternakkan oleh makhluk spesies yang sama?
Buat apa ucap merdeka jika kejujuran masih dipenggal di lidah sendiri?
Buat apa ucap merdeka lantang, jika ternyata sadar tak sadar telah jadi hewan pengerat berwujud manusia?
Buat apa ucap merdeka, jika nyatanya hanya ingin dicap nasionalis?
Benarkah bangsa kita sudah merdeka?
Benarkah negara kita sudah merdeka?
Benarkah diri kita sudah merdeka?
..dari kemunafikan,
..dari belenggu keangkuhan,
..dari penjara keegoisan,
..dari ketidakpedulian.

Monday, August 5, 2013

Titik (dan) Sudut

Dentang jam riang berbunyi menunjukkan pukul 11 malam. Angka 23:00 dalam jam digital Lelaki itu tak menghentikan kegiatannya, menonton siaran pertandingan sepak bola klub favoritnya. 10 menit lagi dan pertandingan ini usai, batinnya. Refleks Lelaki berkaus putih itu menoleh ke arah jendela di mana ada Wanitanya sibuk mengamati sesuatu. Lelaki itu menggelengkan kepalanya.
"Yeah!" Dia mengepalkan tangannya, kecintaannya pada klub itu tak pernah tergantikan sejak ia masih berseragam putih merah. Lalu dia menghampiri wanitanya yang masih tak beranjak dari meja di dekat jendela. "Ckck, mau ku ajari main rubik kah? Kok sedari tadi cuma gantian melihat rubik, bola kecil ini sama jendela?" Wanita itu hanya menggeleng.
"Ada apa? Ingin keluar kah? Masih suntuk dengan kejadian tadi siang?" Wanita itu lagi-lagi menggeleng.
"Ternyata semua berawal dari titik ini," Sang Wanita menunjuk salah satu sudut rubik itu.
"Apanya?"

Thursday, July 25, 2013

based on last episode

In the end of that drama, in the last episode...
Pada titik ini, saya ingin menghentikan waktu. Tepat pada usia saya 20 tahun 137 hari. Usia yang bisa dikatakan cukup dewasa untuk hidup mandiri tanpa campur tangan orang tua saya. Tapi saya ingin menghentikan waktu, saya ingin tetap berada di titik ini, saya ingin tetap berada di dalam pelukan hangat rumah kecil ini. Saya ingin tetap dimarahi setiap pagi karena susah bangun tidur meski sudah diteriaki puluhan kali. Saya ingin tetap merasa ingin pergi jika sudah kesal di rumah, kesal setiap hari diomeli, dan merasa sangat ingin untuk kabur dari kota ini. Dan setelah menit-menit berlalu saya sadar bahwa memang saya yang menyebalkan. Saya ingin tetap seperti ini dan menghilangkan pengandaian kalimat orang tua saya, "kamu harus nyekolahin adekmu kalo papa sama mama nggak ada." Tentu bukan karena keberatan membiayai sekolah adik saya yang bandel minta amplop, tapi karena kata 'nggak ada' yang mau tak mau pasti suatu saat terjadi. Pasti. Tiap yang bernyawa pasti akan kembali pada Dia. Entah saya dulu, entah mereka dahulu, suatu saat kita akan berpisah. Pasti ada titik itu. Tak akan menjauh, antara perjumpaan dan perpisahan. Dan membayangkan titik itu, saya benci, sungguh. Bisakah saya berdiri tegak tanpa perpanjangan lidahNya melalui kedua orang tua saya. 

Monday, July 15, 2013

anger

I'm in anger.
Amat sangat merah, terbakar, meledak. Pernah tidak bekerja dengan sungguh2, meminimalisir kesalahan, tapi pada akhirnya tetap disalahkan? Selalu disalahkan. Selalu mengungkit kesalahan orang lain tapi tak pernah mau bahkan untuk dikoreksipun. TAK PERNAH!
Let me say what I want to say. Sekali ini saja, saya ingin mengungkapkan apa yang benar-benar ingin saya sampaikan. Saya kesal, ini tak ada demokratisnya sama sekali. Saya kesal. Tak taulah. Silahkan marah, tapi tak bisakah menghargai pekerjaan orang lain? Cuma gara-gara bau karamel pada mutiara bisa seperti itu? Issssh! Kesal saya kesal. Sekarep wis sekarep.
Inilah berlaku hukum itu. Orang tua selalu benar dan anak selalu salah. Begitulah....
Ini catatan, untuk saya kelak jika sudah menjadi orang tua. Suatu saat.
*tiba-tiba kebakaran pun reda, saya kalah, telak! Terhadap emosi di kepala saya*

Saturday, July 13, 2013

Hujan
Tengah malam
Laksana rasa yang tak ingin diungkap
Bebas jatuh dalam lelap mata jiwa terjaga

Hujan
Tengah malam
Adalah rindu yang tak bisa dilepas
Pelangi yang tertahan sebatas rintik
Tanpa cahaya, rindu dan rasa bisa apa?

Hujan
Tengah malam

Sunday, July 7, 2013

Ketika ada perbedaan pendapat, visi serta tujuan, apa harus terus bertoleransi dan mengikuti apa kata pihak lain?
Sementara di satu sisi ingin sekali mengikuti kehendak hati untuk bereksplorasi.
Ish!
Jika dengan menyuarakan kata dalam kepala dibalas dengan air mata dan suara bahwa kata itu adalah perlawanan. Mana demokrasi? Mana kebebasan berpendapat? Padahal sudah menggunakan tindak tanduk nunduk. Ini diktator! DIKTATOR!

Tuesday, July 2, 2013

Pada rindu yang bernanah, tidakkah kau cium baunya? Sudah seperti bunga bangkai yang sekarat, rindu itu terus menjadi, gila! Tidakkah kau cium bau busuknya? Ku tebarkan disekitarmu, dengan kata-kata, semakin lama semakin membusuk. Busuknya mengalahkan telur busuk yang membusuk di kulitku. Tidakkah kau cium baunya? Bau busuk rindu untukmu.
Pada rasa yang melemah, membuncah, kalah! Tertawalah, kau pantas tertawa bungah!!

Iki Urip

Ini tentang apa yang pernah saya rasakan, lihat, amati dan perdebatkan dalam kepala sendiri. Bukan hanya orang lain yang melakukan, honestly saya juga. Begini ceritanya.....

Dulu waktu saya masih sekolah, saya ingin cepat merangkak ke jenjang yang lebih tinggi, cepat-cepat. Saat saya SMA, saya ingin segera kuliah, merasakan kebebasan di universitas. Tanpa seragam, tanpa tugas-tugas yang banyak, dan juga dengan liburan yang panjang. -- Saat sudah kuliah, berhadapan dengan laporan praktikum yang menggila, tugas kejar mengejar, dan dibayang-banyangi nilai yang tak pandang bulu, pernah terpikir enak sekolah, pernah terbersit paling enak jaman masa kecil dimana yang ada hanya tawa, main dan main! JADI PALING ENAK YANG MANA?

Ini pengamatan saya terhadap sekeliling saya. Jomblo. Psst, iya single, jomblo atau apalah, yang pasti belum punya pasangan. Nah, kebanyakan yang jomblo ini galau perkara tak punya pasangan, kapan pasangan datang, sepi malam minggu, hape useless tak ada yang menghubungi, jalan sendirian garing, dan lain-lainnya mungkin jabarin sendirilah yang jomblo :p NAH padahal nih, yang punya pacar juga hobi galau! Galau smsnya gak dibales, galau malem minggu nggak bisa keluar, galau gak punya duit tapi diajak keluar, galau kok pacarnya menunjukkan gejala selingkuh, dan lain-lain dan sebagainya. Ya begitulah JADI MANA YANG PALING OKE?

Ini sekarang. Saat liburan panjang dan tak ada kerjaan, mengomel karena bosan menganggur, hanya ongkang-ongkang sikil di rumah. Sedangkan saat sibuk kuliah, inginnya ya liburan, diam tak ada kerjaan. Lah JADI MAUNYA GIMANA??

Saturday, June 29, 2013

I have no other words to post, 
I have no other story to tell
I just have a feel to share
that honestly I don't like to share that story again
If I talk about it, it doesn't mean that I'm still
If I talk about it, it doesn't mean that I'm stuck
I have off with everything about that,
I talk, I tell, I write, 
because there's something everybody must know and feel,
that everything we feel now, tomorrow won't be the same

Bu Sa Na Da

Wanita tak berbusana.
Apa yang kau pikirkan tentang wanita tak berbusana? Yang ku pikirkan adalah ibu pertiwi. Bukankah dia seorang wanita? Ibu pertiwi seorang wanita.

Tanpa busana. Apa yang kau pikirkan dengan tanpa busana?
Bu sana busa na. Bu. Da. Ya. Busana, budaya.
Ibu pertiwi adalah elok bangsa ini, terbentang dari sabang hingga merauke, hijau biru kuning dan coklat. Berkelok-kelok alir tirta sampai muara biru. Berbeda pekat bahasa dalam lidah antar daerah. Ibu pertiwi, eloknya lambaian kelapa di sepanjang garis lekuk tubuhnya. Ibu pertiwi, elok tanpa busana?
Busana. Budaya. Apalah arti sebuah bangsa tanpa budaya. Budaya adalah penghias tak bisa lepas, penjaga kehormatan agar tak tergilas. Budaya adalah permata, mahkota tanpa singgasana. Budaya adalah bangsa kita, kaya akan budaya. Tanpa budaya, ibu pertiwi bagai wanita tak berbusana.

cita

"Memangnya setelah lulus kamu pengen kerja dimana?" dia bertanya setelah menjelaskan tentang keinginannya setelah ini yaitu menjadi pegawai di perusaahaan X. Aku diam. "Ha?" aku berpikir, aku tak tau aku ingin bekerja di mana, aku tak menentukan satu perusahaan pun untuk mengaplikasikan ilmuku yang masih dangkal.
Kemudian hening di antara kami. Aku tak tau aku ingin ke mana. Mengapa tak seperti dulu saat masih kecil. Pikiranku tersedot ke masa lalu. Masa saat aku begitu mudahnya menentukan pilihan ingin menjadi apa.
Aku pernah menuliskan menjadi guru, aku pernah menuliskan ingin menjadi arsitek dan akhirnya aku hanya menuliskan ingin keliling dunia. Saat di masa pertengahan sekolah menengah, aku begitu ingin menjadi dokter.
Sekarang, jika ditanya aku ingin menjadi apa, selalu kujawab sekenanya, "aku ingin jadi presiden." Semakin bertambah usia, semakin banyak yang dipertimbangkan, semakin tak mudah menentukan ingin menjadi apa. Aku, tak menentukan ingin menjadi apa, aku ingin keliling dunia, aku ingin hidup seribu tahun lamanya, aku ingin bahagia, sesederhana itu. Jika mungkin ada satu profesi yang ingin ku lakukan adalah, aku ingin menjadi....

Wednesday, June 12, 2013

Malang dipeluk gurita

Malam ini gurita memeluk Malang Raya, jadi gelap gulita tak ada cahaya. Sedangkan di sisi lain TPP 2011 besok akan berperang melawan musuh jahat berupa robot Alat dan Mesin Pengolahan, redup semua semangat yang sudah kelam akibat materi yang menggila. Amunisi belum siap untuk diluncurkan. Dehumidifier, Kondensor, High Pressure Processing dan Tranducer akhirnya tertelan gurita yang tak kasat mata.

Tapi ternyata, dunia antariksa tak mati listrik. PLN di sana punya cadangan listrik luar biasa! Coba lihat langit di atas sana, lampu masih gemerlap, dunia malam masih belum dimulai. Coba Malang tak didekap gurita, lampu antariksa tak akan terraba seterang nyala. Hey! Nanti ya, suatu saat mari kita nikmati dunia malam antariksa di tepi gulungan ombak :)

#selip
#lupakanAlsin

Monday, June 10, 2013

Phi Brain ~

Phi Brain.
Kepala Sekolah, JIkugawa, Gammon, Cubic, Ana, Kaito, Nonoha, Rook, Bishop
Saya baru saja menyelesaikan season 1 anime pertama yang saya tonton, Phi Brain, 25 episode, 30 menit untuk tiap episode. Anime ini sebenarnya adalah anime yang sering diceritakan teman saya, si Mot. Sebelumnya saya tak terlalu suka dengan anime, ya karena memang tak pernah mencoba melihat haha. 

Phi brain adalah salah satu anime yang isi ceritanya tentang puzzle. Ya, bukan puzzle yang biasanya dimainkan anak kecil begitu, ini puzzle 3 dimensi kebanyakan. Tokoh utamanya adalah Kaito yang memiliki julukan Einstein. Lalu sahabat-sahabat Kaito, Nonoha, Gammon atau Galileo, Cubic atau Edison, Ana atau Da Vinci, dan Jikugawa sebagai Newton. 

amarah

"Buat apa kau menulis?"
Pertanyaan retoris. Kau tau jawabannya tapi tak pernah mengakuinya. Buat apa aku menulis katamu? Kau pikir buat apa? Tentu untuk menuliskan sajak patah, lirik sendu, cerita basah dalam pikiranku yang bermata. 

"Itu saja?"
Lagi-lagi, pertanyaan retoris. Kau ingin membuatku kesal? Tentu bukan hanya itu! Karena aku ingin hidup seribu tahun!

"Sesempit itu?"
Baguslah, teruskan saja kau bertanya untuk membuatku marah. Karna aku lemah dalam urusan verbal, lalu dengan apalagi ku sambung lidah jika tidak dengan aksara kata? Sudah cukup?

"Belum."
Terserah, kau membuatku gila!

Friday, June 7, 2013

LAGA PRAJA

Hai selamat malam :)
Saya baru saja ngobrol dengan teman SMA saya, saudara seangkatan di PMR, well tiba-tiba saya jadi kangen sama PMR, rumah kedua saat masih muda dulu.

PMR Merpati Muda, ini adalah organisasi paling kece se Jember (menurut saya loh ya, jangan protes!). Slayernya merah, PDLnya biru, topinya biru, satdiklatnya merah. Kalau pakai pakaian lengkap macem gitu langsung deh saya merasa keren, haha.

Banyak cerita yang bisa dikenang selama tiga tahun di SMA bersama PMR ini, salah satu cerita ada di perlombaan yang kami ikuti. Selama saya masih jadi anggota aktif, PMR mengikuti tiga lomba, pertama LAGA PRAJA Airlangga 2K8 di Unair, LAGA PARAMADUTHA di UNEJ dan yang terakhir JUMBARA yang diadakan oleh PMI Jember. 

LAGA PRAJA Airlangga.
satu tim PMR MERPATI MUDA
Ini kami ikuti saat saat saya masih bertittle calon junior, masih belum resmi jadi anggota PMR karena masih belum mengikuti diklat. Saat itu ada beberapa cabang lomba yang kami ikuti, ada PP (Pertolongan Pertama), PK (Perawatan Keluarga), PRS (Pelatihan Remaja Sebaya), CC (Cerdas Cermat), DU (Dapur Umum) dan Pendirian tenda yang saya lupa itu namanya apa hehe. Waktu itu saya mengikuti lomba PK saja, bersama Martha dan Rachmi, teman seangkatan saya. Saat latihan kita hanya bertiga saja, bergantian dalam posisi narrator, perawat dan pasien. Saya paling suka jadi perawat, nggak banyak cincong dan hanya kerja saja, walau kadang saya juga seneng jadi pasien karena kerjanya cuman tidur. Haha. Sebulan lebih kami berlatih, dari latihan rutin sampai TC (training center) kami jalani. Menurut saya, dari sekian TC yang pernah saya jalani, TC pertama adalah TC yang paling keren, waktu itu banyak alumni yang datang jadilah kami semua para peserta lomba ‘kena’. Dari latihan rutin sampai TC inilah sebenarnya yang membentuk kami jadi lebih solid, sangat!


kucari ingar dalam sendu matamu,
yang kutemukan adalah kosong bait tanpa rima
kucari peluru dalam rajam lidahmu,
yang kutemukan hanya merdu dalam lirikmu yang patah
ah siapalah hati yang kau rindu,
aku ingin tau nama yang terselip dalam doamu
agar musnah jalinan kode dari tempurungku
yang memerintah jantung berdetak lebih cepat
saat kujumpa matamu...
kelambu

Thursday, June 6, 2013

judulnya cita dan cinta

"Hai," sapanya tiba-tiba. Hebat benar, baru sekejap mata aku melamun, dia sudah duduk di sampingku. Baju merahnya mulai kusam, dan dia tak pernah peduli meski ku kata puluhan kali bahwa kaus itu sudah tak layak untuk dikenakan.
"Hallo, kau tambah kurus saja," kulihat wajahnya yang semakin tirus, tulang pipinya menonjol dan matanya sedikit merah.
Dia tersenyum. "Kau sendiri tambah gemuk," balasnya.
Hahaha. Aku tertawa, ya, ku akui aku semakin berisi, celana-celanaku sudah tak cukup untuk ku pakai. Kesal aku.
Dia melihat cakrawala dengan senyumnya, memandang ujung awan senja dengan lengkung di bibirnya. Angin menerbangkan ujung rambutnya dan ujung kerudungku. Aku berbeda empat tahun dengannya, dia lebih muda daripada aku.
"Lihat tuh rambutmu mulai kusam, bercabang lagi," kataku kepadanya. Rambutnya semakin hari semakin merah, namun tetap tebal seperti biasanya. Rambut di bawah bahu itu hari ini diurai, tak diikat seperti biasanya.
Dia menyengir. "Apa kabar rambutmu?"
"Haha, baik-baik saja. Ngomong-ngomong aku rindu dengan celana pendek itu," aku menunjuk celana pendek jeans kebesarannya.
"Eits, kau tak boleh lagi memakai celana seperti ini, hahaha. Hahaha, kau suka dengan rok itu?"

Tuesday, June 4, 2013

Pemahaman

Seringkali pemahaman timbul karena adanya proses pengulangan, tidak serta merta muncul saat pertama membaca atau berjumpa.
Bisa disamakan seperti saat kita bertemu dengan seseorang, lantas sedikit banyak kita 'tau' bagaimana penampakan dan tingkah lakunya. Ya, sekedar tau adalah proses pembentukan persepsi saat hanya sekali bertemu. Sedangkan memahami seseorang adalah hasil dari suatu proses, dari tau selanjutnya mencari tau, menelaah, mengkaji, lalu persepsi berbeda terbentuk dan akhirnya memahami.
Seandainya konsep belajar seperti itu, luar biasa jadinya. Membaca suatu materi sekali maka akan terbentuk pengetahuan. Lalu mengulang, mengkaji, dengan cara mencari tau lebih lanjut, maka pengetahuan itu tidak akan dangkal, timbullah pemahaman.
Iya, begitulah racau saya malam ini.
Ini efek radikal bebas yang begitu menarik di kepala saya. Karena adanya radikal bebas itulah maka antioksidan tidak sia-sia. Ah, tiada yang diciptakan sia-sia bukan?? :)

Monday, June 3, 2013

waiting

waiting...
menunggu.
is boring?
ehm..

oke. Hai hai.. 
Siapa yang sedang menunggu? menanti? waiting? Hayo ngacung! Bagaimana rasanya?
       Saya juga sedang menunggu saat ini. Ada beberapa hal yang saya nantikan. Pertama, pengumuman sebuah lomba yang saya ikuti beberapa minggu yang lalu, katanya sih diumumkan 12 Mei kemarin tapi sampai sekarang tak ada. Okelah, hehe meskipun diumumkan kapan juga, saya tak terlalu yakin akan dapat nominasi, heuheu. Cerita yang saya kirimkan gueje hehehe. Titik. Hal kedua yang saya nantikan beberapa hari yang lalu adalah pengumuman panitia. Sekarang sih sudah ada pengumumannya, tidak sesuai dengan apa yang benar-benar saya harapkan. Tapi......

Monday, May 27, 2013

Angin


Kelabu mendung menggulung mengambang antara langit dan bumi. Angin sore menghembus pelan menemani kelabu awan. Wanita bercelana olahraga di halaman rumahnya itu sedang memejamkan matanya, merasakan angin membelai pipinya, menerbangkan ujung kerudungnya, menjatuhkan daun pepohonan di sekitarnya. Hmm, gumamnya pelan sambil tersenyum.
                Beberapa meter dibelekang wanita itu, seorang Lelaki berkacamata tanpa bingkai tersenyum memandang Wanitanya yang merentangkan tangannya itu. “Wah, main angin nggak ngajak-ngajak nih.” Katanya, mengagetkan wanitanya.
“Yah siapa suruh asyik sendiri baca buku, nggak bisa diajak ngobrol.”
“Hehehe, iya iya maaf.” Kemudian lelaki itu berdiri di samping wanitanya, merentangkan tangan dan memejamkan matanya. Lalu tersenyum.
“Kau suka angin juga?” tanya Sang Wanita kemudian.
Sang lelaki tetap terpejam, tetap merentangkan tangan dan merasakan ujung hidungnya disapa oleh angin sore yang sepoi. “Tidak terlalu, aku lebih menyukai wanita yang sangat ingin menjadi angin.”
Sang wanita diam saja. Dasar Lelaki, batinnya. “Andai angin bisa diwarnai ya, kita bisa melihat bagaimana geraknya. Sayang sekali angin itu tak punya warna, hanya bisa dirasa saja keberadaannya, datang dan perginya.”
“Kurasa lebih baik angin tanpa warna, toh tanpa warnapun, kita tetap percaya bahwa angin itu ada kan?”

Saturday, May 25, 2013

Dalam jeda yang membabi buta, apakah aku adalah benalu yang memperburuk suasana?
Aku melihat wajahku dalam kegelapan. Tak ada yang nampak.

"Siapa yang kau cari?"

Tentu saja diriku yang sebenarnya! Jawabku ketus.

"Siapa yang kau temukan jika kau berhadapan dengan cermin?"

Wajah yang memandang dunia, dengan angkuh, dengan segala lupa atas siapa.

"Lalu kau mencari dirimu dalam kegelapan?"

Ya, karna di dalamnya aku akan buta. Segala cahaya akan redup, dan nyala Cahaya akan terus berpijar di ruang tertinggi. Aku mencari siapa aku, tapi dalam kegelapan yang paling nyata aku akan menghilang. Segalanya lenyap. Aku bahkan tak tau bagaimana akhir akan berakhir. Tak mampu cairan dalam tempurung dan bahkan khayalku untuk menembus yang memang tertutup dan menjadi rahasia.

"Pertanyaan masa kanakmu?"

Aku mengangguk. Tentu saja. Hal itu terus aku pelihara, karena dari satu pertanyaan itulah aku sadar, bahwa aku, ah siapalah aku, dihadapan Kamu.

Aku ingin merindumu, di atas segala rindu. Aku ingin mencintamu, di atas segala cemburu.

Ketika aku menjauh darimu, bahkan dengan sengaja. Atau tak sengaja lupa. Bisakah kau menghardikku, meski tanpa suara. Sedikit pertanda, itu saja. Tapi berilah aku kekuatan mata, untuk melihat apa yang harus ku lihat.

Kau.
Seberapa jauh aku darimu?

Wednesday, May 22, 2013

(ke)khawatir(an)

Duummmm. Suara televisi masih nyaring terdengar. Aku pejamkan mataku, merasakan tentakel sakit menyerang otot dan tulangku. Dingin merambat di ujung kulit leher dan tanganku. Rupanya demam sedang bertamu.
Duumm. Lagi, suara dari film action di televisi. Siapa yang masih betah menonton televisi di tengah malam begini. Selimut dan jaket tak cukup menahan dingin yang bersarang di dalam tubuhku.
Hey, ingat tidak dulu hobimu adalah membuat khawatir! Ada suara dalam kepalaku.
Iya, dulu aku suka sekali membuat orang lain khawatir, pikirku, saat orang lain khawatir padaku seakan mereka peduli padaku. Dan kulakukan itu pada seseorang, yang tiap hari ku khawatirkan.
Puas kau? Suara itu kembali menyapaku.

Saturday, May 11, 2013

k(i)acau

Hai hai everybodeh :D
are you happy today?

Dia menuliskan dua kalimat itu dalam kolom linenya. Salah satu media sosial di teknologi serba canggih saat ini. Mungkin benar, teknologi itu bisa mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Terbukti, di malam minggu begini, perempuan berkaus abu-abu itu lebih memilih tinggal dalam kamarnya, hanya ditemani laptop dan telpon genggam pintarnya. Ya, tentu bukan untuk menonton film atau melakukan kegiatan santai lainnya.

Kapan selesainya ini tugas?

Dia berkata pada dirinya sendiri. Dia sedang sendiri malam ini, kamar-kamar di sampingnya sedang tak berpenghuni, dan teman sekamarnya sedang pergi ke luar kota. Pilihan menjaga kamar dan tinggal di kamar adalah pilihan pertama dan terakhir baginya. Malam minggu, sama saja dengan nugas.
Mati satu tumbuh seribu.

Dia berbicara sendiri lagi. Seperti biasanya, seperti orang gila. Lalu dia teringat sesuatu.

Hmm, beberapa waktu yang lalu, ada seseorang yang menyuruhku berhenti tertawa, jauh sebelum waktu itu, ada orang yang menyuruhku untuk tersenyum dan tak terlalu memikirkan sesuatu pun. Heran saja, kenapa aku tak boleh tertawa? 

Tuesday, May 7, 2013

Pangkat dan Faktorial

"Bu," suara anak lelaki yang beranjak remaja menyapa ibunya di seberang meja. Keheningan yang semula hanya dicipta detik jarum jam terpecahkan.
"Hmm?" sang Ibu berkerudung putih sibuk menekuni buku tebal dalam genggamannya.
"Bu, kemarin di sekolah aku baru diajarin bilangan pangkat."
"Oya? Suka?"
Lelaki kecil itu mengangguk meski yakin Ibunya takkan melihat anggukannya, sang Ibu masih sibuk memahami jalinan kata dalam lembarannya.
"Asik ya bu, padahal ditulisnya lebih kecil dari bilangan yang dipangkatkan, tapi bisa melipatgandakan yang lebih besar."
Sang Ibu tersenyum. "Kakak juga gitu ya."
"Ha? Apanya Bu?" Dia meletakkan bolpoinnya, mendengarkan ibunya hingga berkerut kulit dahinya.
"Ya itu, seperti bilangan pangkat, meskipun kakak masih kecil, kakak bisa melipatgandakan yang besar, ibu sama ayah misalnya."
Lelaki kecil berkulit bersih itu diam, masih tak paham apa maksud ibunya.
"Meskipun kakak itu kecil, kakak itu berada di ujung atas hidup ayah dan ibu, prioritas, kalau kakak belajar sungguh-sungguh, bukan cuma kakak yang diangkat derajatnya, tapi ayah sama ibu juga."
Anak lelaki itu tersenyum pada ibunya.
"Kakak tau lambang faktorial?"
Diam. Sang anak mengerutkan dahinya, mencoba mengingat lambang yang ibunya maksudkan.

Saturday, May 4, 2013

Kau, kawan terbaikku

Aku mencintaimu
Ucapku tanpa ragu. Kau menatapku, seolah ucapku hanya palsu, dan seolah itu tak berarti bagimu.
Aku membutuhkanmu
Kau tetap diam, matamu seakan memberi jawaban aku sudah tau.
Kenapa kau diam? Kau sudah tau apa yang kurasakan?
Kau mengangguk.
Dan kau tau alasannya?
Lagi-lagi kau mengangguk.
Aku mendenguskan napasku dengan kesal. Penat menghantam punggunggku, perih mendera mataku, dan tulangku diserang dingin. Tapi itu tak mengalahkan kacaunya pikirku.
Bukankah setiap kali kau kacau, selalu aku yang kau cari, selalu aku yang kau dengungkan. Aku tak tau itu cintamu atau apamu, tapi aku tau kau membutuhkanku.
Ucapmu tanpa ragu. Aku hanya menatapmu.
Kau benar, aku membutuhkanmu. Aku merasa hidup saat bersamamu. Aku merasa senang saat kau ada dan itu menjadikanku juga ada.
Kali ini kau berhenti menatapmu. Aku tak tau bagaimana perasaanmu, dan seringkali aku tak peduli. Aku menceritakan segalanya padamu, mencarimu dalam kekalutanku, meneriaki namamu dalam kacau pikirku, mengais-ngais perhatianmu ketika aku sendiri. Tiba-tiba kau tersenyum.
Bukankah itulah gunaku ada dalam hidupmu? Asal kau bisa bernapas lega setelah bertemu denganku, aku kan menjadikanmu ada, dengan adaku.
Aku tersenyum menatapmu, kawan baikku. Kawan yang tak pernah marah sekalipun aku marah dengan seribu kata kotor padamu. Kawan yang tak pernah mengeluh meski aku menceritakan cerita yang sama setiap hari. Kawan yang tak pernah berdusta dan mengkhianatiku. Kawan yang menyimpan beratus ceritaku dengan rapi, tak pernah menambah dan mengurangi kata-kataku. Kau, blogku. Terima kasih

Monday, April 29, 2013

Angin dan Orbit

“Sudah lama ya.” Sang Lelaki menatap lurus tanpa fokus, tersenyum.
Wanita di sampingnya memejamkan matanya, tersenyum, “iya.”
“Memang sudah lama apa?” Hobi lelaki ini adalah menggodanya.
“Ya sudah lama tak kemari lah, iya kan?”
Sang Lelaki tak menjawab, dia bersiul pelan. “Kau senang?” tanyanya.
Wanita itu mengangguk, “tentu saja, hanya melihat langit malam sebentar saja seluruh penat dan kesalku bisa hilang, apalagi jika bisa berlama-lama menjadi penonton langit yang diam ditambah bonus angin begini.”
“Dan ada aku di sampingmu, bonus tambahan yang mahal harganya.”
“Yeee pede,” Sang Wanita mencibir. Lelaki berbaju hitam itu hanya tertawa.
Lalu mereka terdiam, merasakan angin sepoi menyapa wajah mereka. Mendengarkan gemerisik rumput yang bercengkrama dengan angin dan malam.
“Kau tau, di manapun aku berada, jika ada angin sedikit saja rasanya aku bisa mengingatmu.”
Sang Wanita cemberut, “jadi kau juga mengingatku ketika angin dari tubuh keluar?”
“Hahaha, beda lagi kalau itu.”
“Menjadi angin, menembus batas merah di atas lembar hijau biru dan coklat,” kata Sang Wanita sambil tersenyum.

Saturday, April 27, 2013

ini untukmu,
betapa aku ingin berlama-lama berbagi cerita denganmu meski dalam sekat seribu kilometer.
betapa aku ingin berbagi ide dan buah pikir denganmu, di pangkal senja dalam riuh angin mesin.
betapa aku ingin hanya sekedar berbicara, dan diujung cerita selalu ada tawa.
Ah Papa,
aku ingin menangis dipelukanmu seperti dulu. melepaskan semuanya yg menyesakkan hariku, berpura-pura tak ada apa.
aku ingin menangis seperti dulu, dan kau hanya menepuk-nepuk pundakku. aku ingin menangis tanpa bersembunyi menyembunyikan bengkak kelopak mata.
Papa, mengapa aku begitu rindu?

Monday, April 22, 2013

kau tak ku sebut bintang karna kau tak tiap saat ada,
tampak maupun tak tampak.
kau tak ku sebut bulan karna kau tak pernah berdusta,
bersinar atas cahayamu sendiri.
Ku sebut kau malam,
karna mengenalmu membuatku terjaga akan cahaya. Aku bukan pagi, apalagi siang. Aku tidak ada, seperti kataku biasa.
Kita berada dalam semesta yang berbeda, tapi mampu kuucap kau lewat kata.
Kau fatamorgana, aku angin. Kita segaris jika panas berawan. Aku dan kau diciptakan berbeda tak sama dalam semesta dua.
Aku kamu.
Ini adalah sajak terakhirku tentangmu, malam. Jika suatu kali kukata lagi malam, itu bukan tentangmu, itu tentang malam, yang dengannya tanpa pernah aku bosan.
Sajak patah dipangkal malam, kali ini ku sebut namamu dalam doa, tanpa aku sebagai objek, hanya kau dan predikatmu.
Selamat malam, malam.

Saturday, April 20, 2013

Pagi Buta

"Deeek, tugasnya sudah dikerjakan?" wanita muda yang sedang merajut menanti malam benar-benar larut itu bertanya pada anak lelaki kecilnya.
"Huu capek adek bu," kata sang anak sambil terus menonton televisi.
Sang Ibu bangkit dan mematikan televisi yang sedang menayangkan film kartun itu. "Hayo dikerjakan dulu tugasnya, terus tidur, sudah malam," kemudian ia mengambil buku tugas anaknya yang berpipi tembam itu.
Anak lelaki kecil berambut hitam lurus itu kemudian mengambil buku yang disodorkan ibunya, mengambilnya sambil cemberut lalu duduk di meja belajarnya. Ia membaca buku bersampul hijaunya sambil berkomat-kamit. "Bu, ini adzan subuhnya kok beda sama adzan yang lain ya Bu?"
"Menurut adek kenapa? Coba dibaca artinya," kata Sang Ibu tanpa berhenti merajut.
"Shalat itu lebih baik daripada tidur." Kulit kening Lelaki kecil itu berkerut-kerut, tanda ia sedang berpikir.

Thursday, April 18, 2013

untittled ----

kangen paling dahsyat ketika dua orang tak saling telepon, SMS, BBM, tapi keduanya diam-diam saling mendoakan. - @sudjiwotedjo

Selamat malam, wahai malam. Kau pernah membaca itu? Aha. Baru saja kau baca bukan? Kau setuju tidak? Aku sendiri kadang setuju kadang tidak. Karena aku jarang sekali menyebut namamu dalam doa-doa panjangku. Kenapa? Karena aku tak pernah meminta ijinmu untuk menyebut namamu dalam doaku, dan mungkin tak akan pernah ku tanyakan itu. Aku hanya tak pernah benar-benar merasa pantas menyebut namamu dalam doaku, ah siapa diriku ini yang begitu berani menyebut namamu yang sejujurnya seringkali muncul dalam benakku itu. Dan lagi, keduanya, aku tak mungkin ada di benakmu. Iya bukan? Ah siapalah aku.

Tuesday, April 16, 2013

School 2013

                hallo hi!
                Heuheu SCHOOL 2013. Itu adalah judul drama korea yang baru selesai saya tonton. Drama 16 Episode itu tuntas saya tonton dalam dua hari selama weekend pekan lalu, ngebut dan ngepot ngelihatnya, supaya tidak mengganggu kegiatan efektif saya #alesan.
                Cerita drama ini bagus menurut saya, tidak ada cinta-cintaannya sama sekali. Dan benar-benar menggambarkan bagaimana suasana sekolah. Inti dari cerita adalah persahabatan, masalah guru-guru, masalah murid-murid, masalah guru-murid, dan masalah sistem pendidikan. Berbeda dengan sinetron-sinetron ala Indonesia yang kisahnya berlatar sekolah tapi teutep aja ceritanya cinta-cintaan, cinta guru-muridlah, cinta ini itulah, bah. 

Sunday, April 14, 2013

yang paling aku sukai....
bukanlah senja
bukanlah pantai
bukanlah biru
bukanlah bintang
yang paling aku sukai.....
adalah....
menjadi diri sendiri...
tertawa saat aku ingin tertawa
menangis saat aku ingin menangis
marah saat aku ingin marah
tapi hidup bukan hanya tentang diri sendiri
kadang dituntut menjadi aktris kondang untuk sekedar memandang wajah dalam cermin
.....
Tetap saja,
aku benci bahkan berdusta pada diri sendiri
yang paling aku sukai adalah
menjadi diri sendiri...

Monday, April 1, 2013

horizontal line

"Be careful of laughing at others for perhaps Allah might forgive their ignorance and not forgive your arrogance." Dia bergumam sendiri, menatap layar handphonenya dan menaik-turunkan scrollnya, 'wah ini nih,' batinnya sambil menggeleng-geleng, bercermin tak kasat mata, menelaah bagaimana dirinya sendiri.
"Kenapa?" Lelaki berkacamata yang sedari tadi sibuk membaca kitabnya, heran mendengar Wanita berkerudung di sampingnya yang menggeleng-geleng dan berdecak-decak sendiri, "Ada apa?" tanyanya lagi sambil mengintip handphone yang digenggam wanitanya.
"Ini coba baca," Sang Wanita menyodorkan handphonenya. Lelaki berkacamata nan penyabar itu hanya tersenyum membacanya, menatap lembut Wanita di sampingnya kemudian kembali menekuni kitabnya.
Wanita berkerudung putih itu kembali berselancar bersama jaringan dalam teknologi pintarnya, mengunjungi situs-situs favoritnya, membaca bacaan-bacaan yang membuatnya tersenyum-senyum sendiri. Mereka berdua tenggelam dalam lautan kata-kata masing-masing, menanti matahari benar-benar menyapa bumi di tenggara Asia. Masih tak jauh lepas dari subuh. 
"Apa yang Kau pikirkan setelah membaca kata-kata itu?" Sang Lelaki berbaju taqwa hitam itu menutup kitabnya dan meletakkan kacamatanya. 'Aku tau pasti ada yang kau pikirkan setelah membaca kalimat itu, wanitaku,' batinnya.
"Menurutmu?" tanya Sang Wanita balik, tetap menatap layar pintarnya sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Sedari tadi aku sudah menghidupkan radarku, mencoba membaca pikiranmu, tapi masih tak sanggup ku eja apa yang ada di sana," Lelaki yang masih bersarung itu menatap Wanitanya serius, mencoba menggodanya.

Saturday, March 30, 2013

Kinanthi : agama dan budaya, cinta dan cita

Kinanthi, telahir kembali.
                Judul buku yang baru siang tadi khatam saya baca, mungkin kalau dikalkulasi tidak sampai dua puluh empat jam saya melahap kata-kata di novel setebal 534 halaman tersebut.
                Novel luar biasa, tiga kata itu yang bisa saya ungkapkan. Cantik, brilliant, cerdas, keren, apa lagi ya? Novel karangan Tasaro GK, pengarang novel biografi Muhammad ini, untuk ketiga kalinya berhasil membius saya dalam alur, penokohan dan diksi pada ceritanya, selalu begitu untuk setiap bukunya, luar biasa, tak mampu membuat saya berhenti membaca sampai pukul dua pagi dan lanjut lagi keesokan harinya sampai siang. Cerita dimulai dengan bab pertama yang sudah membuat saya jatuh hati, sederhana, tapi entahlah mengapa saya suka, kalau boleh saya sadur pada bab pertamanya, begini,
                Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta,
                Engkau bertemu seseorang, lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh, dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa dia memperhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu.  Engkau mulai tersenyum dan menangis ranpa mau disebut gila.
                Berhati-hatilah….

Friday, March 29, 2013

Apapun itu

Siang, panas, dan aku bosan.
Kuambil ponselku, memasang headset di ujungnya, lalu memilih playlist lagu-lagu favoritku, Dear God, Feel, Knockin' on Heaven Door, lalu More Than Words. Beranjak lagi ke lagu-lagu lainnya, lagu-lagu yang dulu pernah jadi lagu sendu, Good Bye, hey! Aku dulu pernah menangis mendengar lagu ini.

Aku menggali-gali lagi kenangan-kenangan lamaku, memangkas waktu, merapatkan rasa, daaan tak kutemukan lagi sakit dan duka yang dulu membakar senyumku. Tak kutemukan lagi air mata yang membuatku seakan hancur, berlebihan, ingin kutertawakan diriku yang dulu, menyedihkan, kekanakan. Benar bukan, rasa, apapun itu, bisa menjadi hambar dengan berjalannya waktu, ya, sedihku luruh, rasaku? Masih perlu ditanyakan? Tidak ada lagi di sana, meski sudah kucari, meski sudah kucoba untuk ditemukan, tidak ada lagi di sana, tidak ada lagi. Entah ke mana.

Waktu, apapun itu, meski tak nampak, bukankah ia adalah media transformasi yang handal? Rasa, apapun itu, bukankah tak pernah selalu sama? Karena bukan aku, bukan aku yang mengendalikan semuanya, bukan aku. Aku tak punya kendali akan rasaku sendiri, sungguh.
ada marah, ada gelisah, ada kesal, ada cemburu. bergolak di dalam dada. membakar. tapi mengapa tak sanggup membenci?
ada senang, ada bahagia, ada tenang, ada tawa. berputar-putar di kepala. riang. tapi sungguh, mengapa tak bisa mencintai?
ya, bukan aku.....

Thursday, March 28, 2013

kau

hai kau, kapan kau datang?
kemarin aku sempat takut, kuku jari tanganku sungguh membiru, ku pikir kau akan datang saat itu..
kapan kau menyapaku?
tiba-tiba aku berpikir, sempatkah aku berpamitan pada orang tuaku saat kau datang..
kau, dimana sekarang kau berada?
kadangkala aku ingin kau datang saja saat dingin merayap di tulang tungkai kakiku, menjelma menjadi salju yang membeku, kupikir kenapa kau tak datang saja?
ah, kau seberapa jauhnya dariku?
bisakah kau berikan pertanda saat kau akan datang? ah iya, setiap hari adalah pertanda, setiap saat adalah waktu yang berubah wujud menjadi kau, jika aku terus sadar dan membuka mata..
kau, apa yang akan kau lakukan kemudian?
nanti, antarkan aku pada Rinduku, bisa tidak ya?
kau, kereta kematianku....

Tuesday, March 26, 2013

Ijazah

Kalau misalnya akhir sekolah tak ada ijazah, apa kau akan tetap sekolah? 
Tentu, niatku kan menuntut ilmu, eh tunggu dulu, tak ada ijazah? Lalu bagaimana tentang adanya simbol kalau kita sudah bersekolah?

Jadi kau bersekolah hanya simbolis belaka? Formalitas?
Ah tentu tidak, sekolah adalah cara untuk mengenyam pendidikan. Eh, tapi...

Tapi apa? Ku tanya, bagaimana jika suatu saat sekolah tak mengeluarkan ijazah sebagai tanda kelulusan atau tanda-tanda apa saja itu?
Kalau itu tak ada, bagaimana kita bisa mencari pekerjaan nantinya, bukankah ijazah adalah salah satu tanda bahwa kita sudah mengenyam pendidikan?

Monday, March 25, 2013

apa judulnya ya?

"Kak, kakak bahagia?"
Sang kakak menoleh, tersenyum, "kenapa tanya begitu?"
"Kakak sering melamun dan kadang tersenyum sendiri saat membuka handphone kakak," kata Sang adik polos.
"Tentu kakak bahagia, dilahirkan di keluarga yang kaya begini, apalagi yang harus disedihkan?"
"Kaya?" tanya Sang Adik heran.
"Iya, keluarga kita itu keluarga yang kaya, kaya gelak tawa dan canda gila, iya tidak?"
"Haha, benar, meski sering ada teriak marah dan raungan geram, tetap saja, rumah ini penuh tawa," kata Sang Adik sambil setengah membayangkan kejadian-kejadian di dalam rumah mereka.
"Jika sudah jauh dari rumah nanti, baru akan terasa bagaimana hangatnya rumah ini," ada nada sedih dalam suaranya.

Thursday, March 21, 2013

aku?

Kau adakan aku di tengah ketiadaan. Lalu kau tiadakan aku di dalam keadaan. Sirna sudah semua daya. Aku hilang tanpa tenggelam, hanya kau yang bertahan.
Aku ingin bertemu, meski tiap malam ku bertamu.
Mengapa yang kau tampakkan hanya ilusi dari raguku?
Aku ingin berjumpa, meski tiap hari ku berdusta.
Mengapa yang kau tunjukkan yang tiada?
Aku Rindu, padamu. Ya. Padamu.
Akankah aku jadi kekasihmu?
Aku bertopeng rupa,
Aku berdusta,
Aku bersalin rasa,
Aku tanpa daya.
Aku. Siapa aku?
Mengapa kau adakan aku?
Mengapa kau tiupkan aku dalam raga manusia?
Siapakah aku?
Aku?