Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Saturday, December 21, 2013

Jiwa dan Raga

Sahabat terbaikku adalah Ragaku. 

"Hai, namaku jiwa," kataku dua dasawarsa lalu. Dia mengulurkan tangannya. "Namaku Raga." Sejak saat itu aku memutuskan untuk menjadi temannya. Kemudian kami bersatu, berenang-renang dalam cairan hangat di dalam kantung seorang yang lembut.

Kami tumbuh bersama, hidup bersama. Bermain, mengkhayal dan belajar bersama. Menjadi sahabat yang tak dapat terlepas hingga merasa satu selama bertaun-taun. Aku dan dia serasa satu dalam jenis.

Hingga beberapa akhir ini aku tersadar, aku dan dia bersatu namun tak jadi satu. "Kau kenapa?" tanyaku beberapa hari yang lalu. Aku merasa tak sejalan dengannya kali ini. Dia menggeleng. Aku benar-benar tak tau apa yang terjadi padanya. Meski seringkali yang terjadi padanya adalah karena ulahku. Kali ini aku tak tau alasannya, dia kesakitan saat aku merasa senang. Padahal biasanya dia akan sakit saat aku sedang bimbang atau kalut di saat bersamaan. "Sungguh, kali ini aku tak bisa menebak kau kenapa, ada apa denganmu, Raga?" Lagi-lagi dia menggeleng.

Aku menyerah. Aku sedang sibuk dengan beberapa kabut yang terus memenuhi kepalaku. Beberapa hal yang alasannya hanya satu ujung.
Dia lagi-lagi mengeluh sakit. "Ada apa sih?" tanyaku lagi, panik bukan main. Dia tetap membisu. Ah tolonglah, bersahabatlah denganku kali ini.

Dan hari-hari berjalan. Aku berusaha tak peduli dengannya. Benar-benar berusaha tak peduli. Dia tak sehat dan aku kacau dengan pikirku.

Kemarin, kami bersalaman untuk alasan yang tak jelas. Hari ini aku berdiri dengannya. Tersenyum menatapku, juga aku tersenyum memandangnya. Benar, dia sakit karna kabut tebal dalam kepalaku. Ah, aku sayang sekali padanya. Aku tau, aku bergantung padanya. Dan ia akan sangat terpengaruh padaku. Jika aku bahagia, ia akan bahagia. Jika ia menderita, sungguh aku akan tersiksa. Dia adalah sahabat terbaikku. Dia akan menemaniku sampai titik akhir perjalananku. Dia akan ada saat aku membutuhkannya. Meski aku sering meninggalkannya di saat malam tiba, ia selalu ada di tempat yang sama saat aku kembali datang berjalan entah darimana. Dia bisa menua, sementara aku bisa terus menjadi remaja. Aku menyayanginya seakan aku dan dia adalah satu.

Suatu saat, aku tau aku akan berpisah dengannya. Saat itu aku tak mau dia tersiksa, aku mau kita berpisah dengan senyum bahagia.

"Aku Jiwa," kataku. Dan dia tersenyum, "aku Raga, siap menjadi semesta kecilmu." 

----
21.12.2013.21:15 
ditulis
saat Sang Garuda tak bisa merubuhkan pertahanan sang gajah
karena Garuda bukanlah burung ababil yang membawa batu dari neraka
Gajah Abrahah tak kalah, Abrahah masih berdiri
~al fil

0 comments:

Post a Comment