Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Tuesday, December 31, 2013

Kutukan Khuldi



Senin, 23 Desember
Satu pesan menunggu untuk dibuka, berkedip-kedip telepon genggam yang kuletakkan dipojok meja.
Hey, nanti sehabis kerja ya, aku tunggu di tempat biasa
Aku tersenyum sendiri membacanya. Pesan singkat lima menit yang lalu dan aku tak berniat membalasnya, nanti saja. Lalu aku kembali menerjemahkan angka-angka dalam layar tipis di hadapanku. Mengartikan deretan bilangan menjadi keputusan, apakah produk ini bisa diloloskan untuk maju ke pasar atau tidak.
“Mbak ayo pulang,” ajak juniorku di tim benteng kualitas di perusahaan ini. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman, sembari melirik ke layar komputer canggih keluaran terbaru yang menemaniku sepanjang hari. Gadis berambut panjang ini mengerti apa yang ku maksud tentu saja, pekerjaanku belum selesai, aku tak suka meninggalkan pekerjaan.
Aku bekerja di sebuah perusahaan besar di kota kelahiranku, Malang. Biar aku kuliah di luar kota, aku malas untuk mencari kerja di luar kota juga, Bogor, tak menarik bagiku untuk pergi lebih jauh lagi. Teman-temanku bilang aku aneh karena kesempatanku untuk kerja di ibu kota besar namun aku malah memilih kota kelahiranku. Ya, aku kembali lagi pada pelukan dingin Sang Malang.
Handphoneku bergetar pelan.
Aku tunggu lho ya, pulang jam 4 kan? Aku di tempat biasa jam setengah lima. See ya
Aku lupa membalas pesannya tadi. Lalu ku ketik balasannya.
Oke. Tunggu kedatanganku di sana
Kuhapus lagi kalimat terakhir, hingga yang tersisa hanya kata, Oke. Kembali aku melanjutkan pekerjaanku. Jam-jam berlalu tanpa terasa.
“Dek, belum pulang?” tanya atasanku tiba-tiba, mengagetkan aku yang sedang meregangkan otot-otot pinggang yang serasa sangat kaku.
“Iya Bu, ini sudah selesai, segera meluncur pulang,” kataku berusaha sopan.
“Oke, saya pulang dulu ya. Selamat Sore.”
“Sore Bu.”
Aku segera mengemasi barang-barangku. Sebuah buku bersampul kulit, bolpoint, netbook dan charger serta handphone yang ku masukkan dalam jaket jeans yang kukenakan. Aku buru-buru, aku tak suka orang lain menungguku.
---

Dia melambaikan tangannya dari kejauhan, aku menghampirinya sambil memandang tempat bersantai ini dengan ekor mataku. Kaus yang dikenakannya berwarna putih, dengan celana jeans biru tua. Rambutnya basah baru keramas, aku tau bau shampoo yang dikenakannya, sama seperti shampoo yang digunakan ayahku di rumah.
“Sudah lama?” tanyaku.
“Baru aja kok. Aku sudah pesan minum, kamu mau pesan apa?”
“Coklat hangat aja lah,” aku sedang ingin antioksidan dan efek menenangkannya.
Lalu kami diam setelah memesan minuman. Aku sibuk dengan handphoneku dan begitu juga dengannya. Dia tersenyum-senyum sendiri. Ah ya, dia adalah teman lamaku yang sedang berlibur di hometown, kawan masa sekolah menengah atas yang tiba-tiba bertemu setahun lalu di Bogor. Dia tak kembali ke Malang, tapi bekerja di kota yang sama dinginnya, Bandung. Dia sedang mengambil cuti akhir tahun selama dua minggu sampai awal tahun depan. Sudah beberapa hari ini dia mengajakku ngobrol ngalur-ngidul di tempat ini.
“Dhir?” katanya membuyarkan lamunanku.
Aku nyengir lebar.
“Dasar, kerjaannya melamun aja, capek kah?”
Aku menggeleng. “Nope, nggak kok Ga.” Gatra, begitu namanya. Lalu dia mengambil sebungkus batang andalannya. Rokok. Dia mengapit sebatang di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, menyalakan api dan mendekatkannya dengan ujung batang rokok yang beberapa menit lagi akan lenyap itu.
“Aku pakai ini ya,” kataku sambil memasang sapu tangan biruku di depan hidungku.
“Memangnya kenapa? Hanya sepuluh menit sampai lima belas menit saja kok,” katanya lalu menghembuskan asap kelabu dari mulut dan hidungnya. Aku paham mengapa orang bisa ketagihan merokok, tapi tak benar-benar paham mengapa terus melanjutkan kegiatan itu padahal jelas-jelas merugikan.
“Aku sayang dengan ragaku,” kataku datar.
“Memangnya saat ini aku sedang bicara dengan siapa?”
“Jiwa.”
Lalu dia tertawa. “Jadi kau dengan ragamu tak bersatu?” tanyanya, menahan tawa.
“Tidak, aku dan ragaku bersama tapi tak jadi satu. Yang kau lihat adalah ragaku, itu pun hanya sebagian kecil yang bisa terlihat. Sementara jiwaku, aku sendiri tak tau bagaimana rupa jiwaku sebenarnya.”
“Lalu bagaimana kau tau ternyata kau dan ragamu bersama tapi tak jadi satu, padahal kau tak sendiri tak tau bagaimana rupamu?” tanyanya sambil sesekali menghisap nikotin dari rokok di jemarinya.
“Kadang aku dan ragaku tak seiya sekata. Pernah dia sakit saat aku sedang bahagia, pernah juga saat aku sedang kacau dia tak menghiburku. Aku dan dia berbeda, hanya berjodoh saja saat pertama kali ditugaskan untuk bernafas di bumi. Tapi bagaimanapun dengan ragaku, aku tetap menyayanginya.” kataku datar.
Dia tertawa lagi, mungkin mendengarku seakan aku mengkhayal. Tapi aku serius, aku benar-benar menganggapnya seperti itu.
“Bagaimana denganmu? Apa kau tak menyayangi ragamu?” tanyaku, penasaran dengan pendapatnya.
Dia membuang sisa rokok yang terbakar ke dalam asbak bergambar kuda di hadapan kami. Lalu kembali menghisap rokoknya yang saat ini kira-kira sepanjang enam sentimeter. Seperti mengulur-ulur waktu, dia asyik menghembuskan asapnya. Aku menahan napasku. Aku benci asap.
“Bagaimana denganku ya,” katanya, keningnya berkerut. “Aku pernah bilang padamu kan, manusia itu sederhana tapi kompleks. Manusia itu seperti avatar, diciptakan dari empat unsur, air udara tanah dan api. Tanah adalah asal usul manusia yang meski hidup lama atau sebentar pada akhirnya akan kembali ke asal lagi. Air untuk ketenangan, kebaikan, dan kebermanfaatan dalam hidup. Udara untuk kebebasan, kehidupan dan kebaharuan. Sedangkan api adalah untuk semangat, passion dan tentu saja, nafsu. Nafsu pun dibagi lagi, ada nafsu untuk melakukan kebaikan dan nafsu untuk melakukan hal yang negatif, amarah misalnya.”
Aku diam saja, tak berniat berkomentar apapun.
“Merokok ini, entahlah, nafsuku mungkin. Sisi apiku salah satunya ada di batang rokok ini. Dan ya, bisa jadi ini nafsu yang merugikan ragaku. Tapi bagaimana lagi, aku suka, ada hal-hal menyenangkan yang tak bisa aku jelaskan saat merokok. Kau mau mencoba?”
Aku melemparkan pandangan kesal, dasar, buat apa aku merokok. Dari dulu aku ingin mencoba, tapi aku takut ketagihan. Rasa takutku lebih besar dari rasa penasaranku. Jangan menguji imanku ya.
“Santai sajalah Dhir, nanti juga kau akan berpisah dengan ragamu.”
“Aku tau, setiap hari juga kita berpisah dengan raga kita, saat tidur bukankah kita terpisah dengan raga. Raga setia menunggu di tempat yang sama saat jiwa pergi entah ke mana. Tapi sebelum aku benar-benar terpisah denganya, aku ingin membahagiakannya. Dia sudah bekerja keras membawaku melewati berbagai peristiwa, memberikan pengelihatan dunia kepadaku, menciptakan pengalaman baru bersama, tumbuh dan bermain bersama, bahkan nanti kalau sempat juga akan tua bersama. Yah masa nanti saat akan berpisah satu sama lain, dia kesakitan sementara aku bahagia menyambut kebebasan? Masa aku tega membiarkan dia bersakit-sakit begitu.”
“Wah, susah deh, angkat tangan aku Dhir.” Dia mengangkat tangannya seakan tertangkap basah sedang melakukan kegiatan kriminal.
Aku tertawa sambil memegangi sapu tangan yang masih betah menutupi hidungku. Dia mengangkat tangannya seolah menyerah namun masih erat menyapit rokok di ujung jemarinya. Aku menggeleng-geleng.
“Bagaimanapun pendapatku, itu sama sekali tak bermaksud untuk menghakimimu Ga, it’s only my perception, you know it bro.
“Santai sajalah, aku paham kok. Eh aku ke belakang dulu ya,” katanya lalu menjawab telepon yang berdering dari handphonenya.
Aku mengangguk tanpa sempat ia ketahui. Masih kudengar suaranya dari tempatku duduk. Tapi aku tak berusaha mendengar percakapan jarak jauh itu. Aku tak tau siapa yang menelponnya, aku  juga tak tau siapa yang biasanya dia hubungi di layar handphonenya. Tapi yang pasti dia akan tersenyum-senyum sendiri saat membaca pesan yang datang.
Coklat panasku sudah dingin, tersisa hanya setengah bagian sekarang. Aku meneguknya hingga sepertiga bagian. Menenangkan perasaanku sendiri, yang entah mengapa serasa kesal saat aku melihat senyum itu ketika dia membaca pesan dan mengangkat teleponnya. Aku tiba-tiba tersadar akan sesuatu yang menghantamku ini. Aku cemburu? TIDAK! Apa aku menyukainya? Aku menggeleng, minum lagi, lalu menggeleng lagi. “Hey!” Gatra mengagetkanku.
“Kenapa? Pusing?” tanyanya. Jantungku berdentum-dentum keras. Sial, ada apa ini?
“Ha? Enggak kok, ini coklatku habis, mau pesan lagi.”
“Oh, monggo.”
Beberapa menit kemudian coklatku datang. Aku langsung menyeduhnya, mensugestikan diriku sendiri supaya tenang. Lebih baik aku tak menyadari bahwa aku menyukainya, daripada aku sadar lalu begini. Ah rasanya aku ingin cepat-cepat pulang, ingin bertemu air hangat lalu tidur. Tapi aku masih betah berada di dekat manusia di hadapanku ini. Aku bisa membicarakan banyak hal dengannya, aku bebas mengkhayal dan bermimpi. Setahun ini aku memang sangat sering berkomunikasi dengannya, entah dengan media short message service sms, atau Yahoo! Messenger. Agak ketinggalan memang dengan kedua media itu, karena di jaman modern ini sudah biasa dengan media pesan yang lain yang berbagai macam jenisnya. Aku tak peduli.
Aku tak pernah merasa menyukainya sebelum ini, sebelum sesaat yang lalu. Aku hanya merasa nyaman jika sedang berbicara dengannya. Ada saja yang kami bicarakan, dari politik, sepak bola, isu luar negeri, pendidikan, dunia filsafat bahkan sampai isu yang berbau agama. Aku menganggap kami hanyalah dua orang kawan yang beranjak dewasa, dengan tak meninggalkan pikiran bebas kami.
“Dhir? Eh, maksudku jiwa, eh, jiwa atau jiwa dan raga ya?”
Aku tersenyum mengejek, seperti biasa. Aku tau, aku pandai menyimpan segala perasaanku.
“Kamu pernah tidak berpikir, ‘bagaimana jika aku menjadi orang lain? Bagaimana jika aku berada di dalam tubuh orang lain?’” tanyanya membuatku terkejut. Aku tertawa lebar, “loh kamu pernah berpikir seperti itu juga?”
“Iya, kadang aku berpikir seperti itu, ingin merasakan bagaimana jika jiwaku berada dalam tubuh orang lain. Bagaimana rasanya jika aku menjadi orang lain.”
“Sama, sejak di sekolah dasar aku berpikir seperti itu, tapi sampai saat ini, itu hanya jadi pertanyaan kan.”
“Tapi aku tau bagaimana caranya kita bisa merasakan ‘rasa’ itu, Dhir.”
“Memang gimana Ga?” aku penasaran, dia selalu tau lebih banyak daripada aku.
“Tapi sungguh, jangan beritau siapa-siapa ya, aku diberitau seorang guruku dulu.”
“Enggak deh kalau rahasia, aku takut,” aku takut memegang rahasia, bukan karena tak bisa menyimpan rahasia, tapi memang aku tak terlalu suka mengetahui apa yang harusnya tak aku ketahui.
“Serius, ini beneran caranya bisa membuat kamu tau rasanya menjadi orang lain loh, seperti berada dalam tubuh orang lain.”
“Apa?” ah! Aku penasaran!
Dia berbisik padaku, “caranya, berdiskusilah dengan orang lain, bacalah apa yang orang lain tulis.”
Aku mendengus. Ah kau.
“Benar kan?” katanya merasa menang. “Ya, jika kita memandang dengan cara orang lain memandang, berpikir dengan cara orang lain berpikir, bukankah sama seperti menjadi orang itu sendiri.”
“Yayaya, selamat jiwa Bapak Gatra, anda menang!” kataku sambil tertawa. “Sudah hampir gelap, aku pulang ya Ga.”
“Besok ke sini lagi ya Dhir?”
Aku mau, sungguh aku mau. Tapi pekerjaanku benar-benar menumpuk. Pengembangan produk untuk awal tahun depan sungguh menguras tenaga dan pikiranku. Aku harus lembur hingga hari penutup tahun ini.
“Aku harus lembur sampe tanggal 30 besok Ga,” kataku.
“Yaaaah, okelah. Good Luck!” katanya sambil mengacungkan kepalan tangannya untuk menyemangatiku.
Aku tersenyum lalu berbalik pulang. Kata ‘yah’ Gatra barusan memenuhi pikiranku. Apakah itu adalah kata ‘yah’ akan sebuah kekecewaan karena tak bisa bertemu? Ah! Aku tak mau berpikir dia menyukaiku. Tidak. Tidak. Tidak. Dia pulang ke Malang untuk bertemu orang tuanya, dan untuk menghabiskan cuti akhir tahunnya. Tidak, janji mentraktirku itu hanya selingannya. Sedikit sekali teman se-almamaterku yang masih tinggal di Malang. Kalaupun ada, pasti sudah berkeluarga. Teman-teman dekatnya yang kutahu juga sudah merantau ke luar kota. Jadi, aku hanya pilihan terakhir yang bisa diambil, dengan terpaksa. Aku memaksa alam bawah sadarku untuk menelan pemikiran itu. Aku tak mau berharap dia menyukaiku. Tidak. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya. Ah sudahlah..
----
Kamis, 26 Desember
Ga, aku sudah dapet film yang kamu beritau, keren bingit filmnya.
--
Hallah sampe bilang keren bingit, masih banyak film lain yang lebih bagus Dhir. Makanya jangan cuma nonton drama korea aja, kayak masih remaja aja, lirik film berbobot yang lain dong :p Eh, katanya sibuk?
--
Iya ini lagi makan siang. Nanti lembur sampe malem.
--
Wow, semangaut!
---
Oke, thankyou.
----
Sabtu, 28 Desember
Dhirrruuuus, still busy?
--
Yeah
--
Oke, semangat!
----
Selasa, 31 Desember
Dhir?
Pesan di YM ku.
Iya Ga?
---
Masih lembur Dhir?
Gila Malang sepi banget, nggak ada yang bisa diajak keluar
---
Hari ini udah nggak lembur Ga,
Masa anak-anak nggak ada yang pulang sama sekali sih?
---
Blas, nggak ada sama sekali
Tau gitu nggak pulang

Aku diam, tak membalasnya. Aku tak tau harus membalas apa, ada rasa kecewa dengan kalimat terakhirnya. Ah, perasaan macam apa ini. Aku mencoba mengabaikan YM ku, melanjutkan pekerjaanku.
Setengah jam kemudian dia mengirimkan pesan lagi.
Dhir?
Sibuk banget yah? Nanti pulang jam berapa?
---
Mungkin jam dua siang
Singkat aku menjawabnya. Entah mengapa aku kesal tanpa alasan yang jelas. Aku kesal dengan diriku sendiri, jadi labil begini.
Oke deh, selamat bekerja Bos
---
Thank you J

Lalu aku kembali konsentrasi dengan angka-angka di hadapanku. Yeah, lagi-lagi angka. Entah mengapa aku betah berlama-lama menghabiskan waktu dengan angka. Mengamati ketepatan berdasarkan besaran yang ditunjukkan oleh angka. Angka. Angka. Angka. Ah, aku kembali ingat Gatra. Ini kepalaku kenapa kok mudah sekali rasanya orang itu muncul di kepalaku. Lalu tiba-tiba handphoneku menyala, satu pesan masuk. Siapa? Pikirku.
Dhir, nanti malem ada acara keluar nggak?
Gatra.
Nothing Ga, why?
Semenit, lima menit, setengah jam. Dan dia tak membalas pesanku. Orang aneh dasar.
----
Hari ini tuntas ku selesaikan pekerjaanku. Pukul satu tepat aku sudah bersantai di punggung kursi empukku. Aku segera pulang setelah menyerahkan hasil kerjaku pada atasanku. Aku ingin segera pulang dan tidur.
----
“Dek, ada temanmu ini,” ibuku memanggilku yang sedang asyik menonton acara music di malam tahun baru ini. “Siapa Bu?” Ibuku menggeleng.
Aku intip siapa tamuku ini, tak biasanya ada temanku yang datang pada malam tahun baru. Sebenarnya baik teman kantor atau teman masa kuliah dulu sering mengajakku pergi keluar saat pergantian tahun, tapi aku selalu menolak. Aku ingin menghabiskan waktu pergantian tahun di rumah, dengan keluargaku. Lelaki berkemeja hitam, dengan celana yang juga hitam. Dan yeah, Gatra. Dia sedang berbicara dengan ayahku. Ada apa ini bocah ke sini?
“Dek, diajak keluar itu sama temennya.” Ayahku mengatakannya padaku. Berarti baru saja Gatra meminta ijin untuk keluar denganku. Lelaki pintar. Aku tak punya alasan untuk tak keluar. Sial. Dia tau aku tak suka keluar saat momen-momen seperti ini.
Gatra tersenyum menyapaku. Aku cemberut.
“Hey, beri salam selamat datang dong untuk teman lama yang sudah beberapa hari kesepian ini,” katanya, sumringah.
“Selamat datang, tamu agung,” sedikit dongkol dalam nada suaraku.
“Ayo Dhir, keluar Dhir, aku sudah bosan nih.”
“Mau kemana memangnya?”
“Ke tempat biasa.”
“Ke sana, lagi?” aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Ah lelaki ini lama-lama menyebalkan.
Gatra memarkir motornya sementara aku memilih kursi tempat biasa. Tempat duduk paling pojok dekat kolam ikan dan rak buku. Tempat nongkrong satu ini memang asik, di mataku. Ada lemari buku yang cukup besar di salah satu dindingnya, lengkap dengan kolam ikan berpancuran yang membuat pikiran tenang apabila berlama-lama di sini. Iya, lama-lama ngantuk memang, apalagi ditambah menyeduh coklat panas atau teh panas dan badan capek lagi, komplit. Ini kali keempat aku datang bersama Gatra. Sepertinya dia jatuh hati dengan tempat ini, atau bisa jadi dia mengajak ke sini karena di jalanan sudah ramai minta ampun. Sudah pukul Sembilan malam. Dan aku memiliki ijin sampai menjelang pagi. Hebat si Gatra temanku satu ini, berhasil meyakinkan ayahku.
“Hehe, gimana?” tanya Gatra.
Pertanyaan macam apa ini? “Apanya yang gimana?” tanyaku.
“Oh iya, apanya ya? Eh sudah pesan sesuatu?”
“Sudah, seperti biasa.”
Dia hanya mengangguk. Meraih handphone dalam sakunya, memencet sesuatu lalu tersenyum. Senyum aneh yang kulihat. Berbeda sekali senyum yang ditunjukkannya padaku dengan senyum saat dia membaca atau membalas pesannya.
Yaelaah, buat apa aku diajak keluar kalau kau asyik dengan handphonemu. Aku tak mau kalah, ku ambil handphoneku, memilih Games dan bermain sesukaku.
Beberapa saat aku asyik dengan permainan mencocokkan gambar ini. Ekor mataku menangkap bayangannya, dia sedang memandangku. Deg!
“Ha? Ada apa?” tanyaku bodoh. Suara tanda waktu habis terdengar dari speaker telepon genggam putihku.
Dia menggeleng, tersenyum.
“Kamu kok aneh sih Ga,” kataku sedikit mengejeknya. Sebenarnya aku bingung, lelaki ini kenapa hari ini.
“Aku aneh?”
Aku mengangguk.
“Mungkin gara-gara suasananya jadi mellow gini deh Dhir.”
Aku memandang sekitar dan dor! Yah, benar sekali, suasana di tempat ini berbeda. Aku sama sekali tak memperhatikan sebelumnya. Ada banyak lilin di dekat kolam ikan, beberapa di rak buku dan berjejeran di sekitarku. Aku heran. Ini malam tahun baru atau hari valentine?
Seorang pelayan mengantarkan pesanan kami berdua. Minuman panas, manakan berat dan snack untuk kami masing-masing. Sepertinya aku dan Gatra sedang kelaparan.
“Eh mas, ini kenapa suasanya jadi begini?” tanyaku sambil memandang sekitar pada Pelayan jangkung berwajah muda sekali ini.
“Oh jadi begini mbak, di sini setiap malam tahun baru ya begini dekorasinya. Berbeda dengan yang lain kan mbak, ya tho?  Jadi kami memaknai malam tahun baru itu sebenarnya bukan untuk berpesta, mabuk-mabukan atau hal-hal negatif lainnya mbak, tapi untuk merenung. Iya mbak, merenungkan tahun ini dan bagaimana rencana tahun depan supaya kehidupan kita lebih bermanfaat, lebih bermakna dari tahun sebelumnya,” mas-mas pelayan menjelaskan panjang.
Aku hanya manggut-manggut. Benar begitu? Wah mas pelayan ini kelihatan kece sekarang.
“Wah, amazing, oke matur nuwun mas.” Si mas pelayan mengangguk sambil tersenyum. Aku memandang pintu yang dilaluinya dengan tatapan kosong.
“Dan semoga pada tahun depan kutukan buah khuldi terlepas, ya mas.” Aku mendengar Gatra bergumam sendiri.
“Kenapa Ga?” Dia menggeleng, lalu mulai memakan mie ayam original Malang-nya.
Aku masih memikirkan perkataan mas mas pelayan, benar juga, kebanyakan orang saat ini senang memandang kembang api daripada membanyangkan api yang telah disulut pada tahun lalu.
“Dhir.”
“Iya?”
“Menurutmu buah khuldi itu ada tidak?”
Aku berpikir sejenak, “ada,” jawabku.
“Dipikiranmu, buah khuldi itu seperti apa?”
“Aku membayangkannya seperti apel tapi berwarna ungu.”
Dia terdiam, melanjutkan mengunyah mie-nya. Dia memesan porsi jumbo dan aku memesan porsi setengah jumbo.
“Kau tau kisah buah khuldi kan Dhir?”
Aku mengangguk, bukankah itu kisah cinta?
“Itu kisah cinta yang manis ya Dhir.”
Aku mengangguk lagi. Dia berkata seakan mampu menbaca pikiranku.
“Menurutmu mengapa Tuhan menciptakan buah khuldi?”
Aku menatapnya, mencoba berpikir mengapa. Lalu aku menggeleng. Dia tersenyum menatapku. Kali ini senyumnya aneh, bukan senyum biasanya.
Kemudian ada sesuatu yang hinggap di kepalaku. “Bukankah buah khuldi adalah buah yang terlarang Ga?”
Kali ini dia yang pasif, hanya mengangguk lalu meneguk air putihnya. Melanjutkan menghabiskan mie-nya yang tersisa sepertiga porsi awal.
“Buah terlarang memang. Tapi bukankah Tuhan Maha Mengetahui? Dia pasti tahu Adam dan Hawa akan melanggar satu perintah itu. Menurutmu buat apa diciptakan padahal Dia tahu larangannya akan dilanggar?”
“Itu sama saja seperti ‘bukankah setan itu merugikan, manusia diciptakan untuk patuh, sedangkan setan tetap dipertahankan padahal berani membantah,’ menurutku, Dia menciptakannya buah khuldi sebagai tolak ukur, apakah makhluk surge bisa menahan keinginan dan rasa penasarannya terhadap rasa, dengan terus mengingat perintah dan larangannya.”
Dia mengangguk-angguk. Entah sependapat atau tidak. “Tapi aku punya pendapat berbeda.” Tentu, dia jarang sependapat denganku, dia selalu memiliki alasan lainnya. Ini yang membuatku kagum padanya. Kekaguman yang menuju ke arah lainnya. “Menurutku Tuhan menciptakan buah khuldi sebagai alasan.”
Alasan?
“Ya, alasan untuk menurunkan Adam dan Hawa ke bumi. Mereka diturunkan dan dipisahkan pada tempat yang berbeda. Pada akhirnya, dengan alasan buah khuldi itu, sang rusuk bertemu tuannya, dipersatukan dan menemukan cintanya kembali.”
Aku tersenyum. Dia selalu memiliki pandangan yang berbeda. Kami kembali sibuk dalam pikiran masing-masing. Aku sibuk memikirkan percakapan kami barusan, tentang buah khuldi, tentang tulang rusuk, dan tentang satu kata yang jarang diucapkan Gatra selama setahun ini sejak aku bertemu dengannya tahun lalu, ya, Cinta.
Kulirik piring di hadapan Lelaki yang bertingkah aneh malam ini, mie-nya sudah habis. Dia sudah meneguk air putihnya sampai habis. Makananku masih tersisa, dan aku masih sibuk mengunyah.
“Dhir, tau tidak, mengenalmu itu rasanya seperti pernah mengecap buah khuldi di masa lalu.”
Aku menatapnya, sambil menghitung jumlah kunyahan mie di dalam mulutku. Satu.. Dua.. Tiga..
Aku tau alisku bertaut saat ini, tak mengerti dengan apa yang dikatakannya barusan.
“Sejak bertemu denganmu setahun lalu, rasanya aku terusir dari zona nyaman kesendirianku. Aku jadi betah berlama-lama bicara denganmu, aku betah bercerita ini itu denganmu, dan sungguh aku nyaman ada di dekatmu.”
Empat.. Lima.. Enam.. Tujuh..
“Dan, entah kenapa berat sekali rasanya esok lusa aku untuk kembali ke Bandung. Aku tersenyum-senyum sendiri saat teman kantorku memberi pesan semangat padaku untuk malam ini.”
Delapan.. Sembilan.. Sepuluh.. aku terus mengunyah, aku berkedip, dia melamun? Dia meracau? Dia masih waras?
“Dhir, aku menyukaimu. Seperti kataku sebelumnya, mengenalmu itu seperti pernah mengecap buah khuldi di masa lalu. Kali ini aku serasa bertemu lagi, dipertemukan dengan sebagian tulang rusukku.” Dia mengambil napas dalam, “Dhir, kau mau kembali berjalan pulang denganku di waktu yang tersisa ini?”
“Maksudmu?” belum kutelan mie yang ku kunyah..
“Maksudku, berjalan pulang, ke surga, tempat sebaik-baiknya pulang. Maukah kau menjadi pendampingku, menemaniku selama perjalanan kembali pulang?”
Sebelas.. Dua Belas.. Tiga Belas.. Gleg. Kutelan, habis. Lalu kembang api mulai dibakar, suaranya sudah meramaikan ruang dalam telingaku. Gatra menatapku, aku menatapnya. Dan aku tak tau apa yang harus ku katakan. Selamat Tahun baru, hatiku. 

word count : 3348

4 comments:

IRA said...
This comment has been removed by the author.
IRA said...

bagus lip ceritanya :)
hopefully hahahaaa

azzaitun said...

Hahhaha makasih rus
amin deh amiiinn

azzaitun said...

Hahhaha makasih rus
amin deh amiiinn

Post a Comment