Kinanthi, telahir
kembali.
Judul buku yang baru siang tadi khatam saya baca, mungkin kalau dikalkulasi tidak sampai dua puluh
empat jam saya melahap kata-kata di novel setebal 534 halaman tersebut.
Novel luar biasa, tiga kata itu yang bisa saya ungkapkan. Cantik,
brilliant, cerdas, keren, apa lagi
ya? Novel karangan Tasaro GK, pengarang
novel biografi Muhammad ini, untuk ketiga kalinya berhasil membius saya dalam
alur, penokohan dan diksi pada ceritanya, selalu begitu untuk setiap bukunya,
luar biasa, tak mampu membuat saya berhenti membaca sampai pukul dua pagi dan
lanjut lagi keesokan harinya sampai siang. Cerita dimulai dengan bab pertama
yang sudah membuat saya jatuh hati, sederhana, tapi entahlah mengapa saya suka,
kalau boleh saya sadur pada bab pertamanya, begini,
Begini cara
kerja sesuatu yang engkau sebut cinta,
Engkau bertemu
seseorang, lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika dia
dekat, engkau akan merasa utuh, dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah
ketika engkau merasa dia memperhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan
itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis ranpa mau
disebut gila.
Berhati-hatilah….
Ya,jika
disimak dari satu paragraf dari bab pertama yang hanya terdiri dari tiga paragraf
dengan judul Virgo itu akan terasa
benar ini novel bercerita tentang apa. Cinta. Tentu saja tentang cinta. Tapi seperti
yang saya tulisan sebagai judul di atas, novel ini berisi empat hal di mata
saya : agama dan budaya, cinta dan cita.
Bab selanjutnya
dibuka dengan latar gua, kisah kecil Kinanthi, tokoh utama dalam novel ini.
Kinanthi lahir di daerah lereng gunung, lahir dari keluarga kurang beruntung,
bapaknya seorang penjudi miskin, ibunya seorang baulaweang (sungguh sampai saat ini saya belum mengerti artinya)
daan adik kandungnya yang masih balita, selalu dibawanya kemana-mana sepulang
sekolah. Dari latar belakang keluarga itulah sampai kelas enam SD Kinanthi tak
punya teman, dijauhi teman-temannya karena omongan-omongan,
baik dari omongan teman sebayanya maupun
dari orang tua mereka. Hanya satu orang saja yang mau berteman dengan Kinanthi,
ya, satu orang yang secara tulus menemani dan melindungi Kinanthi kemana saja,
Ajuj namanya, lelaki kecil berusia dua tahun lebih tua dari Kinanthi. Lelaki
kecil yang tak bisa jauh dari Kinanthi dan begitu juga sebaliknya. Mereka adalah
kawan bermain, kawan bercerita dan berdiskusi.
Kinanthi.
Sebuah nama yang berarti pelipur lara. Juga merupakan salah satu dari sebelas tembang
jawa, macapat. Tembang jawa menceritakan kehidupan manusia dari lahir sejak
mati, sajak jawa halus yang bermakna dalam. Tembang pertama berjudul Maskumambang, menggambarkan tentang
jabang bayi yang masih berada melayang dalam kandungan ibunya. Jabang bayi di
sini masih belum diketahui apakah dia lelaki atau perempuan, digambarkan dari
kata Mas, sedangkan Kumambang yang berarti mengambang. Tembang
kedua adalah Mijil, menggambarkan
jabang bayi tadi sudah diketahui apakah ia laki-laki atau perempuan. Lalu
ketiga adalah Kinanthi yang berasal
dari kata kanthi atau tuntun, artinya dituntunnya setiap anak manusia untuk
hidup di dunia. Keempat adalah Sinom, menggambarkan kehidupan anak
untuk menuntut ilmu sebanyaknya. Kelima adalah
Asmarandana menggambarkan rasa cinta
kepada seseorang. Selanjutnya, keenam adalah Gambuh, menggambarkan apabila seorang lelaki dan perempuan sudah
berada pada cinta, sebaiknya melangsungkan pernikahan. Kemudian ketujuh adalah Dandanggula, menggambarkan kehidupan
yang sudah bahagia, sudah sejahtera akan keluarga, pekerjaan dan sebagainya. Kedelapan
yaitu Durma, menggambarkan sudah
selayaknya hidup yang bahagia sejahtera lalu ada keinginan untuk menderma. Lalu
Pungkur, menyingkir dari nafsu
angkara murka sehingga yang ada hanya keinginan untuk menolong orang lain tanpa
memikirkan dirinya sendiri. Barulah tembang kesepuluh, Megatruh, artinya putus nyawa, kematian, pada akhirnya setiap
kehidupan adalah perjalanan menuju kematian. Dan terakhir adalah Pocung atau pucung, keadaan sebelum
benar-benar hilang, dibungkus kain putih, pucung. Ingatan saya mundur ke
masa-masa saya masih berada di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama, pada pelajaran Bahasa Daerah, pernah saya diajarkan tentang
macapat-macapat tersebut, tapi sama sekali tak ada yang melekat di kepala saya,
hanya judulnya saja yang berkelebatan di memori saya. Sekarang saya baru sadar
dan menyesal mengapa dahulu tak memperlajari dan menyukai pelajaran budaya ini.
Bukankah tembang-tembang tersebut sudah mengajarkan tentang sari-sari
kehidupan?
Kehidupan
keluarga Kinanthi yang susah mengantarkan satu peristiwa dimana pada sesaat
setelah kelulusannya, Kinanthi dijual oleh orang tuanya demi lima puluh
kilogram beras. Ini salah satu fakta yang mungkin sampai saat ini masih
terjadi. Dari kejadian itulah dimulai penderitaan Kinanthi selanjutnya, dari
menjadi pembantu rumah tangga di Bandung, dikirim ke Arab, di bawa kabur ke
Kuwait sampai bekerja di Amerika. Arab dan Kuwait tidak pernah ramah pada
Kinanthi, atau mungkin pada sebagian besar tenaga kerja wanita di sana, majikan
perempuan suka main tangan dan majikan lelaki yang suka melampiaskan api
merahnya pada pembantu. Lengkap, komplit, rumit, itulah penderitaan yang
dirasakan tenaga kerja di sana. Mau pulang belum digaji dan visa ditahan, mau
bertahan mengiris hati dan menyakitkan jiwa raga. Mau apa kemudian? Ah.
Perjalanan
rumit dan sakit Kinanthi terhenti sampai bertemu dengan Muslim asal Mesir di
Masjid Miami, saat dia hampir gila setelah nyaris “dihabisi” majikan lelakinya.
Atas nama sesama muslim dan rasa iba, pasangan asal mesir tersebut membantu
Kinanthi hingga dia berhasil terbebas dari penjara tenaga kerja dan menjadi
anak negara di Amerika. Mulai saat itu Kinanthi belajar hingga menjadi professor
ahli di bidang kedokteran. Dari sana jugalah kisah rumit cinta, cita, kekalutan
agama dan pengaruh budaya berpengaruh banyak pada kehidupan Kinanthi.
Novel
sederhana, cerita kompleks, banyak ilmu. Di novel ini juga kita akan bertemu
dengan kebudaayan Tibet, sama dengan novel Muhammad, ada cerita budaya Tibetan
di dalamnya. Tentang budaya, tentu tidak hanya budaya Tibet yang ada dalam
novel ini, budaya jawa di Indonesia banyak diceritakan dan dijelaskan, tentang bagaimana
wanita jawa (yang benar-benar jawa) bertindak sangat halus kepada suaminya,
tentang bagaimana penduduk desa yang masih membuat acara untuk meminta hujan,
tentang satu suro, tentang hal-hal mistik yang masih banyak dipercayai lainnya.
Budaya dan agama yang melebur. Banyak pemikiran bertentangan dari tokoh-tokoh
dalam cerita ini, pro dan kontra tentang agama dan budaya yang melebur itu.
Cinta dan
cita, hal lain yang ada dalam cerita ini. cinta Kinanthi pada Ajuj dan begitu
juga sebaliknya, tak tergerus selama dua puluh tahun lamanya. Dan juga tentang
citanya untuk ‘balas dendam’ membalas perlakuan masa kecilnya dengan meraih
prestasi setinggi-tingginya di Amerika sampai menjadi the queen of new York.
Apalagi
ya? Sudahlah, baca sendiri ceritanya. Bung Tasaro akan menyeret kita pada alur
cerita yang matang, seperti kata pengarang hebat ini, pada akhirnya adalah alur
yang melekat di hati pembaca. Seperti alur novel Muhammad yang menyeret kita
hingga tenggelam dalam cerita tentang Rasullullah yang dibungkus dengan apik dan juga kisah Kashva yang sungguh
luar biasa, begitu juga alur cerita kisah ini, sederhana. Pada akhirnya, yang
saya tangkap dari novel ini adalah pesan Kinanthi bahwa cinta tak harus
memiliki. Dan saya masih keukeuh, tetap dengan pendirian saya tak terpengaruh
pada kisah Kinanthi, bahwa cinta HARUS
memiliki, HARUS. Tau maksudnya kan? :)
0 comments:
Post a Comment