Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Saturday, January 31, 2015

Berbahagialah! #2



Hari kedua.

Berbahagialah. 

Satu kata yang sering diucapkan tanpa hati mengikutinya. Terlalu sering hingga maknanya lupa teringat.

Satu kata yang terlalu sering kau ucapkan. Tapi lupa untuk kau usahakan.

“Berbahagialah. Kebahagiaan itu tak seperti engergi,” katamu waktu itu. “Energi tak bisa diciptakan dan dimusnahkan tapi hanya bisa diubah bentuknya. Tapi tak begitu dengan kebahagiaan.” Aku diam saja tak menanggapimu, kekesalanku masih tetap berdiri dengan angkuhnya. Lalu kau tersenyum, memamerkan gigi-gigimu padaku.

“Kenapa harus menyimpan kekesalan saat kita bisa tersenyum bahagia, kenapa harus menyeduh benci jika sanggup mencelupkan bahagia dalam hidup sesama,” katamu lagi. Ah gagal aku mempertahankan amarahku. Itu kata-kataku, kau sadur untukku sendiri. Aku terima kopi yang kau berikan padaku.
Lalu waktu selebihnya serasa milikku.

Kata-kata keluar setelahnya, membiarkanku mencurahkan apa saja dalam tempurung yang sudah kaku. Kau hanya mendengar tanpa menyela, sekalipun kau tak pernah menyela dan mencela pembicaraanku. Aku asyik bercerita ke sana kemari, membiarkan segalanya keluar tanpa peduli bagaimana pikirku. Dan tentu saja kau setia di situ, tersenyum melihat dan mendengarku kembali seperti biasa. 

Begitulah dirimu, membiarkanku menjadi diriku sendiri, berbahagia katamu.

Ya, begitulah dirimu, selalu menjadi dirimu, tertawa dan tersenyum selalu. Dan ceritaku selalu membuat kita menghabiskan waktu yang lama untuk sekedar mencicipi secangkir kopi yang berbeda. 

Hai, selamat sore. 
Aku tak berniat mengingatkanmu, aku hanya ingin mengingatkan diriku sendiri. Aku pernah sebahagia itu.
Dan tentu saja, untukmu, berbahagialah.

Friday, January 30, 2015

Di antara Jeda #1



Hari pertama. 

Bacalah, bacalah di antara sibukmu yang membabi buta, merayapi setiap bulir waktu yang menetes deras sepanjang harimu. Bacalah sekalimat-sekalimat, tak apa. Karna aku ingin menjumpaimu dalam tatap mata, yang bisa ku tembus dalam rangkai kata, ku.

Ini hari pertamaku menyapamu, setelah jeda panjang yang ku tautkan antar ini dan itu. Setelah banyak alasan yang ku karang untuk memisahkan kita, ya, kita. Ini juga hari pertamaku memaksa keangkuhanku untuk menyapamu terlebih dahulu. 

Di antara selipan huruf-huruf yang ku ketik dalam spasi detik, terbersit kata itu, kata sakral yang jarang ku ucapkan padamu. 

RINDU

Ya, egoku mencegah lidah dan jemariku untuk merangkai lima huruf itu terkirim padamu. Aku sadar, aku merasakan itu. Tapi dengan nya hebatku cela diriku sendiri untuk mengakui itu. aku hanya akan menuliskan kata itu sekali dalam jalinan rangkai koma ini. sekali saja, sama seperti senyummu yang sekali saja muncul dalam mimpiku. 

Selebihnya hanya raut wajahmu yang mengabaikanku.

Lagi lagi tak apa. Munculnya namamu dalam bunga tidurku sudah mampu membuatku merubah hari selama seminggu. Apalagi menjumpaimu dalam dunia nyata, gila mungkin aku.

Jadi, aku tak ingin menjumpaimu. Biarlah kata-kataku yang terbang menatap sosokmu. Hinggap di dahan pikiranmu. Ah, setidaknya begitu impianku. 

Jadi, beginilah akhirnya. 

Apa yang aku inginkan bukanlah menemuimu, atau bercakap denganmu. Aku hanya ingin menyapamu. Dan, mungkin… 

Jatuh cinta lagi padamu. 

Selamat pagi. Ini surat pertamaku. Balasannya, kirimlah senyummu dalam mimpiku nanti malam.