Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Friday, December 20, 2013

selingan (2)



Sepi sekelilingku sunyi, tiap mata sibuk dengan apa yang digenggam telapak tangan erat. Entah buku, entah gadget entah tuts di computer lipat. Aku sendiri sibuk mengulang-ulang satu kalimat dalam lembar kuning di hadapanku. Hingga ku dengar satu langkah kaki yang begitu ku kenal, irama dua tungkai yang tak pernah menyeret langkah di lantai. Karakter orang yang tak suka mengulur-ulur waktu. Sayangnya, suka sekali terlambat dari waktu yang disepakati.

Dia duduk tepat di hadapanku, keringat membasahi rambutnya yang baru dipangkas. Tak ada senyum. Ku pandang wajahnya sekilas, rontok bahagiaku yang sekejap barusan. Karna tak ku temukan apa yang sedari tadi aku cari, kehangatan wajah yang ku rindukan. Kembali ku baca kalimat-kalimat yang sedari tadi tak kutemukan apa intinya. Aku tak sedang ingin mengalah.

“Maaf ya terlambat.” Pelan dia mengeluarkan perangkat keras kesayangannya, dengan gambar apel yang digigit sedikit di permukaannya.

Buat apa minta maaf jika terus menerus kau ulangi lagi apa yang kau mintakan maaf. Aku hanya mengangguk, tak berselera untuk mengomel. Penatku sudah menumpuk di ujung ambang batas kesabaran. Ah, bukankah sabar tak ada batas dan ujungnya?
Hening di antara kami beberapa saat. Dilanjutkan beberapa saat setelahnya. Terus hening hingga saat selanjutnya. Aku tidak meminta bertemu, dia yang memaksa ingin berjumpa. Aku sedang kelu untuk membicarakan apa saja, tapi dia bilang ada yang ingin dia perbincangkan. Nyatanya dia sama saja, kembali berkutat dikesibukannya sendiri. Sementara aku tak berniat menunggunya bicara. Juga tak bermaksud untuk membicarakan sesuatu padanya.

Sekuat tenaga ku tahan mutiara kacaku tak pecah, menahan gelombang air mata menembus pertahanan terakhirku. Kacauku sudah di ubun-ubun. Dia datang sebagai katalis kekesalanku, datang mempercepat amarahku meledak. Aku tarik napas dalam, menahannya sambil menenangkan pikirku sendiri. Dan lepas, sedikit demi sedikit pelatuk granat terlepas tanpa ledakan. Di hadapanku dia masih bergeming, tak lepas memandang layar yang entah menggambarkan apa. Tadinya aku mengharapkan kau dapat menyiram kebakaran dalam hatiku. Ternyata benar, kebahagiaan adalah tanggung jawabku sendiri, tak ada sangkut pautnya denganmu.

Ku tutup buku setebal 628 halaman ini. Cepat-cepat ku masukkan dalam tas kesayanganku. Dengan keberanian yang sedang kuat bersatu, ku katakan pelan dan jelas, “jika tak ada yang ingin kau katakan padaku, aku akan segera pulang. Aku juga punya pekerjaan yang harus ku selesaikan. Selamat Siang.” Rahangnya mengeras tapi tetap tak bersua sedikitpun. Aku pergi tanpa ingin membaca pikirannya. Langkahku cepat meninggalkan meja paling ujung di perpustakaan ini.

Beberapa jam setelah itu, satu pesan mengunjungi layar telepon genggamku.

****

tulisan 26-11-2013
tersimpan saat kepala nggak tau lagi mikirin apa
heuheu

0 comments:

Post a Comment