Malam semakin mendekat, kelamnya
semakin hebat mengalahkan matahari
sebelum Pagi datang. Ada yang senang Siang tidur melepas penat, ada yang
kehilangan saat Siang menghilang bersama sahabat karibnya, Matahari. Ada gadis
muda yang bertanya pada Malam, “Malam, betapa indah kau saat ini, betapa
pesonamu selalu membuatku lupa akan sakit dan lelah yang terus menghantui
hariku.” Ada Pedagang tua yang berbisik pada Malam, “Malam, cepatlah berlalu,
anakku butuh uang untuk biaya sekolahnya, aku harus berdagang lagi esok,
cepatlah datangkan matahari.” Malam bimbang, apa yang harus ia lakukan,
sementara ia terus berselimut kelam dan bintang. Pagi berbisik pada Malam yang
melamun, “Tak perlu bimbang, jangan dengarkan kata manusia, bukankah selalu
begitu tindak dan tanduknya?”
Malam tersenyum,
bulan mengembang di ujung bibirnya. “Apakah ada juga yang berbisik padamu,
wahai Pagi?”
Pagi
yang riang bersemangat menceritakan semuanya, tanpa beban dalam suaranya. “Tentu
saja, tadi ada lelaki muda yang kesal karena aku datang, ia ingin berlama-lama
dengan mimpinya dan malas pergi ke sekolah karenaku. Ada juga perempuan muda
yang saat membuka matanya justru marah karena masih bisa bertemu denganku. Di saat
yang sama ada ibu-ibu yang sudah sampai di pasar untuk membanting tulangnya
sebelum aku benar-benar datang. Lalu apa yang harus ku lakukan? Berjalan pelan
untuk memuaskan lelaki muda atau mempercepat jalanku agar ibu itu cepat bertemu
dengan harapannya akan harinya?”
Malam mengernyitkan
dahinya. Ah, dasar manusia. ”Kau
benar, kita harus tetap berjalan sesuai irama kita berdasar perintah Langit. Aku
penasaran bagaimana dengan Siang dan Senja.” Malam yang pemikir, dia
membayangkan bagaimana jika dia menjadi Siang dan Senja. Tentu aku tak akan sekelam ini.
Pagi
kembali berbisik, ia sudah beranjak dari rasa kantuknya. “Sama saja, baik Siang
maupun Senja bernasib sama dengan kita. Tapi kurasa kita tak perlu mengeluh
akan keluhan mereka, jika kita melakukan hal yang sama, lalu apa bedanya kita
dengan mereka?” senyum pagi mengembang.
Ada dengkuran
yang terhenti, Desember bangun dari tidurnya yang tidak lama lagi akan terjaga.
“Ternyata begitu cerita kalian. Sama saja denganku, jika aku sudah mengetuk
dunia, ada sebagian orang yang senang karena hari besar mereka semakin dekat,
ada juga yang khawatir akan target-target awal mereka yang mendekati akhir,
yang lain ada lagi yang senang karena tahun akan segera berakhir.” Tak ada raut
senang atau sedih dalam wajah Desember, matanya masih sayu akibat terlalu lama
tidur. “Berbeda lagi dengan Januari, orang-orang lebih banyak yang senang saat
ia datang karena harapan baru mulai tumbuh, rencana-rencana baru mulai disemai
dan banyak tawa yang biasanya terbit saat dia datang.
Januari
masih menikmati tidurnya, masih beberapa kali siklus bulan lagi sampai dia
bangun dari tidur panjangnya. Dalam lelap tidurnya, wajahnya tersenyum mempikan
indah hidupnya. Malam, Pagi dan Desember termenung memandang wajah Januari,
membayangkan bagaimana jika mereka menjadi dirinya yang bahkan saat detik
pertama kedatangannya sudah disambut oleh kembang api di seluruh penjuru bumi.
“Sudah
kalian jangan berandai-andai!” teriakan Senin menghancurkan lamunan mereka. Wajah
Senin memerah, marah karena kesal yang bertumpuk-tumpuk di hatinya. “Kalian
sungguh masih beruntung ada yang bahagia saat kalian datang, sedangkan aku?
Lebih banyak, sungguh jauh lebih banyak manusia yang kesal dan malas setengah
mati saat aku hadir, kalian tau apa kata mereka? ‘Ah kenapa sudah Senin lagi?’”
Semakin merah wajahnya. Pagi mendekat menepuk-nepuk punggungnya.
“Sementara
itu, saat Jumat Sabtu dan Minggu datang, orang-orang berteriak, ‘Thanks God,
its Friday’ ‘Senangnya ini hari minggu’” Senin mendengus. “Padahal Langit
menciptakan tujuh hari, tapi manusia lebih mencintai Jumat, Sabtu dan Minggu. Padahal
Langit menciptakan Pagi, Siang, Senja dan Malam tapi sama sekali tak ada yang
benar-benar bahagia pada keempatnya. Haruskah kita meminta Langit untuk
membebas tugaskan kita semua?” serentak Pagi, Malam dan Desember terbelalak. Bukankah
itu artinya…..
2 comments:
ah aku kangen baca postinganmu mbak :)
aku juga kangen baca postingamu dek :p
*nyindir yang nggak posting lagi* :p
Post a Comment