Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Monday, October 14, 2013

penanda waktu



Malam semakin mendekat, kelamnya semakin hebat  mengalahkan matahari sebelum Pagi datang. Ada yang senang Siang tidur melepas penat, ada yang kehilangan saat Siang menghilang bersama sahabat karibnya, Matahari. Ada gadis muda yang bertanya pada Malam, “Malam, betapa indah kau saat ini, betapa pesonamu selalu membuatku lupa akan sakit dan lelah yang terus menghantui hariku.” Ada Pedagang tua yang berbisik pada Malam, “Malam, cepatlah berlalu, anakku butuh uang untuk biaya sekolahnya, aku harus berdagang lagi esok, cepatlah datangkan matahari.” Malam bimbang, apa yang harus ia lakukan, sementara ia terus berselimut kelam dan bintang. Pagi berbisik pada Malam yang melamun, “Tak perlu bimbang, jangan dengarkan kata manusia, bukankah selalu begitu tindak dan tanduknya?”
                Malam tersenyum, bulan mengembang di ujung bibirnya. “Apakah ada juga yang berbisik padamu, wahai Pagi?”
                Pagi yang riang bersemangat menceritakan semuanya, tanpa beban dalam suaranya. “Tentu saja, tadi ada lelaki muda yang kesal karena aku datang, ia ingin berlama-lama dengan mimpinya dan malas pergi ke sekolah karenaku. Ada juga perempuan muda yang saat membuka matanya justru marah karena masih bisa bertemu denganku. Di saat yang sama ada ibu-ibu yang sudah sampai di pasar untuk membanting tulangnya sebelum aku benar-benar datang. Lalu apa yang harus ku lakukan? Berjalan pelan untuk memuaskan lelaki muda atau mempercepat jalanku agar ibu itu cepat bertemu dengan harapannya akan harinya?”
                Malam mengernyitkan dahinya. Ah, dasar manusia. ”Kau benar, kita harus tetap berjalan sesuai irama kita berdasar perintah Langit. Aku penasaran bagaimana dengan Siang dan Senja.” Malam yang pemikir, dia membayangkan bagaimana jika dia menjadi Siang dan Senja. Tentu aku tak akan sekelam ini.
                Pagi kembali berbisik, ia sudah beranjak dari rasa kantuknya. “Sama saja, baik Siang maupun Senja bernasib sama dengan kita. Tapi kurasa kita tak perlu mengeluh akan keluhan mereka, jika kita melakukan hal yang sama, lalu apa bedanya kita dengan mereka?” senyum pagi mengembang.

                Ada dengkuran yang terhenti, Desember bangun dari tidurnya yang tidak lama lagi akan terjaga. “Ternyata begitu cerita kalian. Sama saja denganku, jika aku sudah mengetuk dunia, ada sebagian orang yang senang karena hari besar mereka semakin dekat, ada juga yang khawatir akan target-target awal mereka yang mendekati akhir, yang lain ada lagi yang senang karena tahun akan segera berakhir.” Tak ada raut senang atau sedih dalam wajah Desember, matanya masih sayu akibat terlalu lama tidur. “Berbeda lagi dengan Januari, orang-orang lebih banyak yang senang saat ia datang karena harapan baru mulai tumbuh, rencana-rencana baru mulai disemai dan banyak tawa yang biasanya terbit saat dia datang.
                Januari masih menikmati tidurnya, masih beberapa kali siklus bulan lagi sampai dia bangun dari tidur panjangnya. Dalam lelap tidurnya, wajahnya tersenyum mempikan indah hidupnya. Malam, Pagi dan Desember termenung memandang wajah Januari, membayangkan bagaimana jika mereka menjadi dirinya yang bahkan saat detik pertama kedatangannya sudah disambut oleh kembang api di seluruh penjuru bumi.
                “Sudah kalian jangan berandai-andai!” teriakan Senin menghancurkan lamunan mereka. Wajah Senin memerah, marah karena kesal yang bertumpuk-tumpuk di hatinya. “Kalian sungguh masih beruntung ada yang bahagia saat kalian datang, sedangkan aku? Lebih banyak, sungguh jauh lebih banyak manusia yang kesal dan malas setengah mati saat aku hadir, kalian tau apa kata mereka? ‘Ah kenapa sudah Senin lagi?’” Semakin merah wajahnya. Pagi mendekat menepuk-nepuk punggungnya.
                “Sementara itu, saat Jumat Sabtu dan Minggu datang, orang-orang berteriak, ‘Thanks God, its Friday’ ‘Senangnya ini hari minggu’” Senin mendengus. “Padahal Langit menciptakan tujuh hari, tapi manusia lebih mencintai Jumat, Sabtu dan Minggu. Padahal Langit menciptakan Pagi, Siang, Senja dan Malam tapi sama sekali tak ada yang benar-benar bahagia pada keempatnya. Haruskah kita meminta Langit untuk membebas tugaskan kita semua?” serentak Pagi, Malam dan Desember terbelalak. Bukankah itu artinya…..

2 comments:

Febrina Maharani said...

ah aku kangen baca postinganmu mbak :)

azzaitun said...

aku juga kangen baca postingamu dek :p
*nyindir yang nggak posting lagi* :p

Post a Comment