Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Monday, April 29, 2013

Angin dan Orbit

“Sudah lama ya.” Sang Lelaki menatap lurus tanpa fokus, tersenyum.
Wanita di sampingnya memejamkan matanya, tersenyum, “iya.”
“Memang sudah lama apa?” Hobi lelaki ini adalah menggodanya.
“Ya sudah lama tak kemari lah, iya kan?”
Sang Lelaki tak menjawab, dia bersiul pelan. “Kau senang?” tanyanya.
Wanita itu mengangguk, “tentu saja, hanya melihat langit malam sebentar saja seluruh penat dan kesalku bisa hilang, apalagi jika bisa berlama-lama menjadi penonton langit yang diam ditambah bonus angin begini.”
“Dan ada aku di sampingmu, bonus tambahan yang mahal harganya.”
“Yeee pede,” Sang Wanita mencibir. Lelaki berbaju hitam itu hanya tertawa.
Lalu mereka terdiam, merasakan angin sepoi menyapa wajah mereka. Mendengarkan gemerisik rumput yang bercengkrama dengan angin dan malam.
“Kau tau, di manapun aku berada, jika ada angin sedikit saja rasanya aku bisa mengingatmu.”
Sang Wanita cemberut, “jadi kau juga mengingatku ketika angin dari tubuh keluar?”
“Hahaha, beda lagi kalau itu.”
“Menjadi angin, menembus batas merah di atas lembar hijau biru dan coklat,” kata Sang Wanita sambil tersenyum.

“Berkeliling dunia, menembus setiap batas negara dan provinsi di atas peta dunia, darat dan laut.” Sang Lelaki tersenyum, mengenang ingatannya yang kuat akan perkataan Wanitanya.
“Kau ingat betul kata-kataku itu?”
“Bagaimana bisa lupa? Saat itu kau mengatakannya sambil tersenyum meski tak menatapku, seolah itu yang paling bisa membuatmu bahagia. Seolah ada asa dalam citamu itu, dan itulah pertama kali aku melihatmu benar-benar tersenyum, hahaha.”
“Memangnya itu kapan?” Ada rasa penasaran dalam raut wajahnya, ia sungguh tak ingat kapan itu terjadi. Menatap Lelakinya dengan tanda tanya.
Sang lelaki menggaruk-garuk kepalanya, “saat kita masih di semester awal saat kuliah, di perpustakaan.”
“Memangnya aku tak pernah tersenyum?”
“Iya, kau selalu cemberut saat ada di sampingku, selalu tak menghiraukanku.”
“Iyalah, kau menyebalkan, selalu menggangguku saat di perpustakaan. Dan aku heran benar kenapa selalu bertemu denganmu padahal kita berbeda jurusan, kau tau aku lega saat masuk kuliah dulu, akhirnya kita beda jurusan, beda kelas dan pasti tak akan bertemu lagi, eh tapi ternyata sering juga akhirnya.” Dia mengenang perasaannya sendiri sambil tertawa.
“Memangnya aku sebegitu menyebalkan ya? Lagipula itu juga tak sengaja kita bertemu, meski kau di kesehatan dan aku di keteknikan, kita kan bertemu di perpustakaan karena kita punya satu kesukaan yang sama.”
“Astronomi!” Mereka berdua mengucapkan satu kata itu bersama-sama. Lalu tertawa, lagi.
“Aku tau kau lebih banyak tau tentang langit daripada aku, tapi kau selalu bertanya ini itu, menggangguku yang sedang asyik membaca, itu selalu membuatku sebal bukan main.”
“Kau tau, aku suka saat kau marah, menjawab pertanyaanku hanya dengan iya dan tidak, pertanda kau marah, kau kesal. Itu rasanya misi besarku berhasil, haha.” Lelaki itu tertawa sambil memegang perutnya, terlalu banyak tertawa.
“Misi besar?”
“Iya, aku ingat saat pertama kali kau marah padaku, saat di SMP dulu, kau meletakkan kertas tugas kita secara kasar dihadapanku yang sedang sibuk bermain game di komputer sekolah, kau bilang ‘hey, kau ini seenaknya, ayo juga ikut kerja,’ dan aku hanya diam menganga menatapmu, kau tau kenapa?”
Sang wanita menggeleng sambil mengingat peristiwa itu, entah berapa tahun sebelum ini.
“Karena kau wanita pertama yang berani protes kepadaku saat aku tak ikut kerja kelompok, biasanya teman-teman kita oke-oke saja saat aku hanya bermain sedangkan mereka mengerjakan tugas kelompok dan dengan sukarela mencantumkan namaku di lembar tugas, hehehe. Dan kau tau tidak?”
“Apa?”
“Saat itulah, saat kau marah di depanku itu, aku mulai memperhatikanmu, hahaha, dasar bocah ingusan, aneh rasanya.”
Sang Wanita diam, tersenyum. Entah apa yang dipikirkannya.
“Padahal kau galak, jarang tersenyum, dan aku sungguh suka membuatmu marah. Sampai awal kuliah baru aku tau itu bukan kejahilan biasa.”
“Jadi, selama itu? Sejak SMP sampai kuliah? Mengapa kau baru mengatakannya setelah kita wisuda?”
“Apa harus kukatakan saat SMP?”
Sang Wanita diam.
“Jadi, kau tau, aku anggap aku ini matahari dan kau adalah bumi. Matahari sangat mencintai bumi, tapi dia tak akan mendekatinya, karena sang bumi akan mati jika mereka berdekatan. Aku mana mungkin mengatakannya kepadamu? Mungkin hatiku akan lega setelah mengatakannya, tapi bagaimana denganmu, aku berpikir kau tak akan baik-baik saja sekalipun kau tak merasakan apa-apa terhadapku.” Sang Wanita hanya menatapnya, pelan-pelan taman bunga di dalam kepalanya semakin bermekaran, bunga abadi dalam kebunnya. “Dan kau tau, meski matahari memiliki gaya gravitasi yang besar, dia tetap membiarkan bumi dalam orbitnya, dengan begitu banyak kehidupan akan tercipta dalam dirinya. Begitu juga denganmu, meskipun aku mempesona, tapi aku tak membiarkanmu tertarik olehku, karena sekali seseorang dalam perasaan menggebu, saat itulah orang itu akan kehilangan pengelihatan dan pendengarannya. Aku masih ingin kau hidup dengan pengelihatan dan pendengaranmu, hingga kau benar-benar hidup dan memberikan kehidupan.”
Sang wanita tersenyum, tanpa berkomentar apapun. Memandang langit di hadapannya sekilas lalu memejamkan matanya, membayangkan angin menerbangkan benang sari bunga-bunga yang sedang bermekaran dalam kebun indahnya. “Semoga suatu saat kita bisa terbang bersama, menembus batas pikir kita, menembus merah, menembus batas tapi tetap pada jalan kita, untuk pulang,” Sang wanita tetap terpejam. Sang Lelaki tersenyum. 

--------------
hehehe, lagi pengen bikin tulisan tema giniin, haha

0 comments:

Post a Comment