Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Thursday, June 6, 2013

judulnya cita dan cinta

"Hai," sapanya tiba-tiba. Hebat benar, baru sekejap mata aku melamun, dia sudah duduk di sampingku. Baju merahnya mulai kusam, dan dia tak pernah peduli meski ku kata puluhan kali bahwa kaus itu sudah tak layak untuk dikenakan.
"Hallo, kau tambah kurus saja," kulihat wajahnya yang semakin tirus, tulang pipinya menonjol dan matanya sedikit merah.
Dia tersenyum. "Kau sendiri tambah gemuk," balasnya.
Hahaha. Aku tertawa, ya, ku akui aku semakin berisi, celana-celanaku sudah tak cukup untuk ku pakai. Kesal aku.
Dia melihat cakrawala dengan senyumnya, memandang ujung awan senja dengan lengkung di bibirnya. Angin menerbangkan ujung rambutnya dan ujung kerudungku. Aku berbeda empat tahun dengannya, dia lebih muda daripada aku.
"Lihat tuh rambutmu mulai kusam, bercabang lagi," kataku kepadanya. Rambutnya semakin hari semakin merah, namun tetap tebal seperti biasanya. Rambut di bawah bahu itu hari ini diurai, tak diikat seperti biasanya.
Dia menyengir. "Apa kabar rambutmu?"
"Haha, baik-baik saja. Ngomong-ngomong aku rindu dengan celana pendek itu," aku menunjuk celana pendek jeans kebesarannya.
"Eits, kau tak boleh lagi memakai celana seperti ini, hahaha. Hahaha, kau suka dengan rok itu?"
Aku mengangguk. "Kau tau, memakai rok lebih nyaman daripada celana." Dia tersenyum, simpul sederhana. Lalu memandang langit lagi, kali ini tidak dengan senyumnya.
"Ada apa? Kenapa semakin hari kau semakin kurus saja? Apakah dia sering membuatmu menangis?" tanyaku, sedikit ragu untuk menyinggung hal itu.
Dia mengangguk. Benar dugaanku. Berbeda denganku yang jika frustasi akan banyak nyemil, gadis ini mudah menangis jika disakiti, bahkan menahan marahnya pun dia bisa menangis.
Aku menepuk pundaknya. 'Lepaskan sajalah dia, dia tak baik untukmu. Kau masih punya seribu cita-cita yang bisa kau raih. Ayolah.' Batinku. Aku tak berani mengatakan itu padanya. Percuma, dia terlalu menyayangi lelaki jangkung itu.
"Berapa kali dalam seminggu kau menangis?" tanyaku, iseng saja untuk menggodanya. Dia hanya tertawa.
"Kadang aku ingin lari dari dia, seringkali aku kesal saat aku menangis, aku kesal saat mendapati diriku marah dan tak bisa menahan gelombang marahku. Tapi saat aku bilang aku ingin pergi dari hidupnya, secepat kilat aku ingin menarik kata-kataku lagi."
Diam, ku tanggapi hanya dengan diam. Benar mungkin kata ayah, seseorang yang paling menyakiti adalah orang yang paling kita cintai. Dan lelaki jangkung itu, adalah orang yang paling gadis ini cintai saat ini. Aku menepuk-nepuk pundaknya. "Sudahlah, cara terbaik untuk melupakan sebab amarahmu adalah dengan tidak memikirkannya, sabar saja ya. Ingat, cita-citamu itu berharga, dan dia bisa saja meninggalkanmu kapan saja, tidak ada yang selamanya kan?"
Dia hanya tersenyum padaku. Senja menyemburkan sendu pada wajahnya. Tapi saat melihatnya bahagia ketika bertemu sosok lelakinya, apa lagi yang bisa ku kata..

---------------
Eeaaak hahaha. Ini asli geje. Hehehe

0 comments:

Post a Comment