Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Wednesday, December 20, 2017

Petang? Senja?

“Katamu aku petang.” Omelmu hari ini. Sudah lama aku tak mendengar omelanmu.
“Ya, kau memang petang. Kau mau aku sebut apa lagi?” Kataku, sok cuek padahal ingin tertawa.
“Kenapa tak kau sebut senja? Bukankah sama saja?”
“Nope. Tidak sama. Senja dan Petang jauh berbeda. Hanya beberapa detik, tapi jauh berbeda.”
“Apa maksudmu berbeda? Mereka sama saja.”

“Siapa bilang? Petang adalah saat siang hari hingga menjelang matahari tenggelam. Sementara senja adalah setelah matahari tenggelam.”
“Bukankah terbalik?” kau menggaruk-garuk kepalamu yang aku yakin tidak gatal. Kau terlalu bersih untuk menggatalkan kepalamu sendiri.
“Tidak, pengetahuan kita yang salah. Pengertian yang ku ambil adalah berasal dari kamus besar bahasa Indonesia. Hanya saja memang dalam penggunaannya, petang seringkali digunakan untuk menyapa pemirsa di televisi saat matahari telah tenggelam.”
“Nah iya kau benar!”
“Mengapa? Karena Senja terlalu puitis untuk digunakan. Coba saja bayangkan penyiar televisi mengucap, selamat senja. Bagaimana jadinya pemirsa yang super melow-sedang-patah-hati atau sedang merindukan kekasih jadinya?”
Kau tertawa terpingkal-pingkal. Ah, aku rindu tawa itu. Sungguh.
“Maka, sebut saja aku senja.” Katamu meminta. Dengan wajah serius yang kau paksakan.
“Tidak. Kau tetap petang bagiku. Senja terlalu puitis untukmu. Itu alasanku. Dan petang adalah suasana yang selalu membuatku ingin pulang ke rumah. Aku selalu ingin pulang, denganmu.”
“Ah, peres.” Katamu, seperti biasa.
Maka kali ini aku yang tertawa terpingkal.
tak peduli apapun kamu, aku aku tetap selalu menyukai saat-saat bersamamu, kapanpun itu.


0 comments:

Post a Comment