“Katamu aku petang.”
Omelmu hari ini. Sudah lama aku tak mendengar omelanmu.
“Ya, kau memang petang.
Kau mau aku sebut apa lagi?” Kataku, sok cuek padahal ingin tertawa.
“Kenapa tak kau sebut
senja? Bukankah sama saja?”
“Nope. Tidak sama. Senja
dan Petang jauh berbeda. Hanya beberapa detik, tapi jauh berbeda.”
“Apa maksudmu berbeda?
Mereka sama saja.”
“Siapa bilang? Petang
adalah saat siang hari hingga menjelang matahari tenggelam. Sementara senja
adalah setelah matahari tenggelam.”
“Bukankah terbalik?” kau
menggaruk-garuk kepalamu yang aku yakin tidak gatal. Kau terlalu bersih untuk
menggatalkan kepalamu sendiri.
“Tidak, pengetahuan kita
yang salah. Pengertian yang ku ambil adalah berasal dari kamus besar bahasa
Indonesia. Hanya saja memang dalam penggunaannya, petang seringkali digunakan
untuk menyapa pemirsa di televisi saat matahari telah tenggelam.”
“Nah iya kau benar!”
“Mengapa? Karena Senja
terlalu puitis untuk digunakan. Coba saja bayangkan penyiar televisi mengucap,
selamat senja. Bagaimana jadinya pemirsa yang super melow-sedang-patah-hati
atau sedang merindukan kekasih jadinya?”
Kau tertawa
terpingkal-pingkal. Ah, aku rindu tawa itu. Sungguh.
“Maka, sebut saja aku
senja.” Katamu meminta. Dengan wajah serius yang kau paksakan.
“Tidak. Kau tetap petang
bagiku. Senja terlalu puitis untukmu. Itu alasanku. Dan petang adalah suasana
yang selalu membuatku ingin pulang ke rumah. Aku selalu ingin pulang, denganmu.”
“Ah, peres.” Katamu,
seperti biasa.
Maka kali ini aku yang
tertawa terpingkal.
tak peduli apapun kamu, aku aku tetap selalu
menyukai saat-saat bersamamu, kapanpun itu.
0 comments:
Post a Comment