“Namaku angin,” kataku.
“Namaku asap,”katamu. Kita berjabat tangan.
“Darimana asalmu?” tanyamu kaku, batuk menyusul pertanyaanmu
itu.
“Aku berasal dari udara yang bergerak, sementara dirimu?”
“Aku? aku berasal dari pembakaran tak sempurna dari suatu
bahan bakar yang terbang bersama udara yang tak berwarna,” ada nada kesal dan
kecewa dari jawabanmu. Mudah sekali terbaca perasaanmu itu, atau mungkin kau
sengaja menunjukkannya?
Aku manggut-manggut, mengerti dengan penjelasanmu. Bukankah
sebenarnya kita sama saja? Sama-sama terbang ke angkasa, hanya saja kau mudah
ditandai oleh indra pengelihatan dengan wujudmu yang kelabu, sementara aku sulit
sekali untuk dilihat – meski aku ingin sekali – hanya bisa dirasa saja. Ah iya!
Aku bisa dilihat dari apa-apa yang kusentuh, mereka selalu mengatakan daun-daun
yang jatuh disebabkan olehku, layang-layang yang terbang juga karena ada aku,
kata mereka, manusia. Dan mereka selalu menantiku jika sedang kepanasan, ingin
menerbangkan perahu layar, mengeringkan baju dan tentu untuk menerbangkan
layang-layang.