“Aku ingin menemukan cinta seperti itu,” katamu, memecahkan sepi yang mendadak ada setelah ku bercerita sekian bab cerita pilu. Tentang pertemuan dan perpisahan, tentang senyum dan air mata, tentang paradoks dan kontradiksi yang selalu beriringan.
“Cinta sejati?” tanyaku,
memancingmu.
“Benar!” serumu, sambil
tersenyum dan bersemangat.
“Coba cari saja di dalam
lemari, di atas meja, atau di bawah kolong kasurmu. Siapa tahu ketemu.” Asal saja
ku jawab seperti itu.
“Ah kau pikir aku mencari
kecoak?”
Aku tertawa terbahak. Tak
menyangka jawabanmu seperti itu. Lalu kau diam, mencipta hening panjang lagi. Aku
datang ke tempatmu bukan untuk membuatmu berpikir, tapi sengaja untuk mencipta
senyum di raut mukamu yang telah lama mendung. Meski tak kelabu.
“Bukankah cinta itu
selalu ada di balik kelopak matamu?” tanyaku, mencoba memutus hening.
Kau mengernyitkan dahimu.
Membentuk tepat tiga lipatan pada dahi dan alismu yang seakan menyatu. Aku suka
raut wajah itu.
“Cinta itu selalu ada di
balik kelopak matamu. Kau tak pernah menemukannya? Atau tak sengaja bertemu
dengannya di balik kelopak matamu?”
Lalu kau buru-buru
mencari cermin terdekat, dan hanya kamera handphone
yang bisa kau raih. Bercermin dengan polosnya dan entah apa yang kau cari. Apa
itu cinta menurutmu? Sebuah titik yang kau kira kau kan temukan di balik
kelopak matamu, seperti apa yang ku bilang tadi? Atau sepanjang benang yang
bersarang antara iris dan pupilmu? Kini kau cemberut, kau pasti menyangka aku
bercanda. Aku tersenyum melihat bibirmu yang sengaja kau manyunkan. Ah, aku
juga suka raut wajah itu.
“Tidak, sayang, kau tidak
akan temukan dengan bercermin. Kau hanya akan temukan cinta yang sesungguhnya
saat kau memejamkan matamu. Saat lekukan kelopak mata itu sempurna menutup lensa
matamu. Hingga tidak ada gambar yang terlihat dalam retinamu. Sempurnalah cinta
bisa kau lihat. Tepat di titik buta itu, sengaja cinta bersemayam. Selalu. Terjaga
saat kau tutup matamu. Dan tentu, saat kau buka hatimu..”
Dan kau tak repot-repot
menutup matamu. Kau hanya memandangku, membeku, dengan ekspresi itu. Saat kau
kebingungan harus menjawab atau merespon apa atas kata-kataku.
Dan aku? Aku masih suka
ekspresi wajah itu...
Kau terlalu candu.
--------
terinspirasi dari percakapan tentang tjinta - lemari - dan kecoak
0 comments:
Post a Comment