Kelabu mendung menggulung
mengambang antara langit dan bumi. Angin sore menghembus pelan menemani kelabu
awan. Wanita bercelana olahraga di halaman rumahnya itu sedang memejamkan
matanya, merasakan angin membelai pipinya, menerbangkan ujung kerudungnya, menjatuhkan
daun pepohonan di sekitarnya. Hmm,
gumamnya pelan sambil tersenyum.
Beberapa
meter dibelekang wanita itu, seorang Lelaki berkacamata tanpa bingkai tersenyum
memandang Wanitanya yang merentangkan tangannya itu. “Wah, main angin nggak
ngajak-ngajak nih.” Katanya, mengagetkan wanitanya.
“Yah siapa suruh asyik sendiri baca buku, nggak bisa diajak
ngobrol.”
“Hehehe, iya iya maaf.” Kemudian lelaki itu berdiri di
samping wanitanya, merentangkan tangan dan memejamkan matanya. Lalu tersenyum.
“Kau suka angin juga?” tanya Sang Wanita kemudian.
Sang lelaki tetap terpejam, tetap merentangkan tangan dan
merasakan ujung hidungnya disapa oleh angin sore yang sepoi. “Tidak terlalu,
aku lebih menyukai wanita yang sangat ingin menjadi angin.”
Sang wanita diam saja. Dasar
Lelaki, batinnya. “Andai angin bisa diwarnai ya, kita bisa melihat
bagaimana geraknya. Sayang sekali angin itu tak punya warna, hanya bisa dirasa
saja keberadaannya, datang dan perginya.”
“Kurasa lebih baik angin tanpa warna, toh tanpa warnapun,
kita tetap percaya bahwa angin itu ada kan?”
“Ya, meski tanpa warna dan tanpa wujud yang terlihat, angin
tetap dipercaya ada. Bahkan ada yang angin terkadang disamakan dengan sesuatu.”
“Sepertinya aku tau, cinta bukan?” Kini sang Lelaki membuka
matanya, memandang Wanita di sampingnya yang memainkan ujung daun kering yang
berserakan di halaman.
“Memangnya ada lagi?”
“Ya ya ya, seringkali memang cinta dikatakan seperti angin,
datangnya tak kau kapan, eh tiba-tiba ada, dan seringkali juga pergi tak
diusir. Angin, kita percaya akan keberadaannya yang sanggup menghembuskan dan
menerbangkan. Tapi, mengapa kepada Yang Benar-benar Menghembuskan dan
Menerbangkan, kadangkala manusia tak sanggup menyadari dan percaya? Padahal
seluruh alam dihembuskan olehNya, diterbangkan olehNya, Dia di mana-mana, tapi
kita seakan buta, atau membutakan diri terhadapNya.”
“Tuhan maksudmu?”
“Apalagi?”
Kemudian mereka terdiam, merasakan angin sore membelai kulit
mereka di bawah kelabu. Mencoba merasakan hembusan yang dihembuskan oleh Yang
Maha Menghembuskan.
0 comments:
Post a Comment