Selamat malam pelangi, jikapun ada kau malam ini, pasti tak
terlihat rupamu dalam remang mataku. Tapi tetap saja, selamat malam.
Pelangi, indah kurasa namamu, Ibu
Pertiwi memberikan nama indah untuk parasmu yang cantik. Kau kenal Ibu Pertiwi
bukan? Ya, dia adalah salah satu putri Ibu Bumi. Di mana-mana kau diucap sama
di seluruh tubuh Ibu Pertiwi, Pelangi. Mungkin kau punya banyak nama, tapi
Pelangi adalah namamu yang paling indah. Yeah, tentu saja Rainbow masih kalah dengan
nama Pelangi, kau suka dengan nama Pelangi itu bukan?
Rainbow. Kurasa nama itu
menggambarkan adanya hubungan khusus antara kau dengan hujan. Ya aku tau, kau
begitu tergantung padanya, tanpa hujan bisakah kau muncul dalam nafas bumi? kurasa
mungkin bisa, hujan buatan. Apakah kau mencintai hujan? Aku pikir kau tak
mencintainya. Kemunculanmu selalu bersyarat untuknya, kau selalu menuntut sinar
cahaya untuk muncul dan menghias bumi. Kau mencintainya? Cinta bersyarat?
Pelangi, entah mengapa meski
berbeda rupa dalam tubuhmu, kau tampak selalu indah. Seringkali perbedaan menjadi
sebuah pertentangan, tapi dalam tubuhmu perbedaan itu mencipta keindahan.
Harmoni dalam perbedaan, kataku. Begitu juga dalam lekuk tubuhnya, banyak
perbedaan dalam tubuh Ibu Petiwi, tapi sayangnya jarang mencipta keindahan
seperti halnya denganmu. Perbedaan akan suku, agama, bahasa, rupa dan strata,
bukankah itu kekayaan yang tak terkira dari Ibu kita? Mungkin sama sepertimu,
keindahan perbedaan Ibu pertiwi bersyarat, sama seperti cintamu pada hujan.
Keindahan Ibu Pertiwi bersyarat, entah cahaya apa yang dibutuhkan ibu pertiwi
untuk mencipta harmoni, hujan seringkali datang, bahkan dengan membawa topan
dan gunturnya tapi keindahannya jarang dimuntahkan. Sinar cahaya putih yang
dibutuhkan ibu pertiwi, hingga semua warna muncul dalam nafasnya. Tapi dalam
bentuk apa sinar itu akan datang? Apakah butuh gencatan dari luar supaya hujan
itu menciptamu? Seringkali memang begitu, jika negara lain menghajar Ibu
Pertiwi, perbedaan di dalam tubuhnya akan bersatu dan mencipta keindahan akan
sebuah persatuan, tapi tidakkah bisa dengan cara lain? Harus ditindas dahulu? Harus
direbut dahulu kekayaannya?
Sudahlah, Ibu Pertiwi meski tak
selalu memancarkan indah sepertimu akan tetap indah, benar tidak Pelangi? ke
mana saja kau singgahi tubuh Sang Ibu? Mungkin kau sudah menjamah setiap sudut
dalam nadinya.
Sekarang di mana kau Pelangi?
bisakah ku titip seucap salam untuk kekasihku, tanyakan padanya apakah ia
menyukaimu, atau lebih menyukai hujan. Taukah kau siapa dia? Aku tak tau, Sang
Penguasa masih merahasiakan. Juga salam untuk kekasihmu, hujan, datanglah pada
bagian Ibu Pertiwi yang membutuhkan.
Sudahlah, selamat malam Pelangi.
Salam hangat, dari sepasang mata remang di tengah kalut.
0 comments:
Post a Comment