8 Agustus 2016.
Sudah setahun saya wisuda sarjana. Jadi ingat rentetan kejadian setelah wisuda. Saya menulis paragraf-paragraf di bawah ini setahun lalu, meski bukan di bulan Agustus. Membaca ini saya jadi ingat perjuangan sampai ke sini (ke Bogor), jadi menyesal lebih sering nonton drama dan baca novel ketimbang baca jurnal T-T
Ini, saya post sajalah tulisan saya itu. Judulnya di file saya adalah escaping Malang.
Hai halo!
Waaaaaaah saya rindu dengan tempat ini.
Tempat saya mengeluh dan mengadu :D
Bagaimana perkembangan hidup saya selama
jarak post terakhir dan post ini adalah cukup jauh perbandingannya.
Let
me tell this story ya,
Here
I am now, Bogor City! Yap! Saya sudah escape dari kota Malang sejak 9 Agustus
lalu, sehari setelah wisuda 8 Agustus langsung cuss ke Surabaya untuk cari
kerja, melakukan interview dan ini
itu. Kalau tidak salah, saya stay di Surabaya sejak hari minggu
sampai hari jumat. Sudah agak betah di Surabaya sebenarnya, karena saya
menemukan tempat yang tidak terlalu panas, kos adik saya! Haha. Dan saya sudah
sedikit hapal dengan jalanan Surabaya (entah mengapa hapal dengan jalanan itu
menjadi salah satu alasan saya bisa betah atau tidak dengan suatu kota).
Saya masih ingat, sehari sebelum saya
pulang, saya mengirimkan sebuah email kepada salah satu dosen di sini (di
Bogor) untuk melayangkan harapan saya, mencari kesempatan yang lainnya, meski
nyatanya rencana yang sudah saya jabarkan saya urungkan juga. Pulanglah saya ke
Jember, untuk beberes barang-barang pindahan dari Malang.
Saya menjalani hidup saya dengan santai
sampai hari Minggu, 16 Agustus 2015. Sendiri di rumah, tidak melakukan apa-apa
hingga mengecek email (yang sudah dua hari tidak saya cek, sejak dari Surabaya)
siang harinya. Terbelalak mata saya saat mendapat satu email dengan subject : Hasil Seleksi Calon Mahasiswa
Baru Program Pascasarjana IPB Angkatan 2015. Yeah, saya diterima, langsung
berlonjak hati saya riang gembira. Saya
tidak ditolak dua kali! haha
Beberapa menit saja kebahagiaan itu
bertahan. Hingga saya buka web ipb dimana salah satu beritanya adalah tentang
nama-nama calon mahasiswa yang lolos tahap pertama beasiswa. Ah langsung rontok
seketika harapan saya, ketika tidak ada nama saya di sana.
Ya sudah,
toh masih ada pilihan lain, hasil interview belum keluar, ya sudah, ya sudah
nggak perlu daftar ulang.
Stimulus itu tidak berefek apapun, saya
kecewa minta ampun, saya ingin daftar ulang, saya ingin kuliah lagi! Meski yang
saya impikan adalah kuliah di luar negeri, tetap saja, melanjutkan studi ilmu
pangan di tempat ini juga pernah jadi impian saya empat tahun lalu. Pintu
gerbang sudah terbuka, melangkahkan kaki rasanya susah luar biasa.
Bung,
ini bukan hanya soal impian, ini juga soal kemampuan.
Tentu berat, bagaimana saya bisa seegois
itu untuk membebankan orang tua saya membiayai lagi studi saya, dan nominal ini
bukan nominal yang kecil. Dengan gaji
seorang guru SMP, membiayai dua orang anak di luar kota itu bukan perkerjaan
mudah. Berbagai pikiran menghancurkan imunitas tubuh saya, seminggu yang penuh
beban, karena sudah harus ada keputusan sampai 21 Agustus, deadline pembayaran. Dan 25 Agustus sudah harus menginjakkan kaki
di Bogor untuk registrasi. Imunitas saya lemah, tidak ada angin tidak ada
hujan, saya flu dan batuk luar biasa. Virus melancarkan serangannya, saya
kalah.
Keputusan baru dibuat pada 20 Agustus, “ya
sudah, papa sekarang yang maksa. Ovi berangkat aja.” Begitu kata papa saya,
ketika setiap ditanya mau berangkat atau tidak saya selalu menangis. You know, susah sekali rasanya,
mengungkapkan apa yang saya ingin tapi di sisi lain apa yang saya ingin itu
menambah beban orang tua saya. Beraaaaaaaat! Apalagi beberapa minggu sebelum
itu juga saya pernah bialng, “saya nggak akan S2 kalau nggak ada beasiswa.”
*deep sigh*
Akhirnya, pada Jumat 21 Agustus 2015
itulah, setelah membayar biaya registrasi ulang, kami juga sekalian membeli
tiket untuk pergi ke tempat nan jauh ini.
Saya tau benar bagaimana Tuhan berencana,
hanya dalam tempo dua hari, papa dan mama mantap mengatakan saya harus
berangkat. Ya, kita sudah punya dana. Tuhan luar biasa. Sungguh luar biasa.
Dua
minggu setelah mengenakan toga, berangkat lagi saya ke kota orang. Untuk memenuhi keinginan
saya melanjutkan studi, Bogor.
Di sinilah saya saat ini, sejak 24 Agustus
2015, di desa Dramaga.
Rencana
Tuhan tidak berhenti hingga saat itu.
Pada hari yang sama datang di Bogor, ponsel
saya terus berdering, nomor asing. Saya tau itu nomor siapa, saya tau benar,
itu nomor asing yang saya tunggu-tunggu hingga Jumat sebelumnya, satu nomor
yang akan merubah keputusan saya jika menelpon tiga hari sebelumnya. Itu adalah
nomor HRD perusahaan yang meminta saya melakukan lanjutan interview keesokan
harinya, 25 Agustus.
“Maaf saya tidak bisa hadir karena sedang di luar
kota. Terima kasih atas kesempatan dan informasinya”
Perasaan saya masih kecewa, saya akan
berkata iya, sungguhpun. Tapi keputusan lain sudah saya buat, sudah sedikit
bulat tekat saya berangkat kesini. Ya sudah, saya jalani saja hidup di sini,
membuat banyak rencana untuk pengembangan diri, fokus diri, tujuan hidup saya
rombak ulang, jalan yang harus saya tempuh saya evaluasi lagi. Begitulah, dua
minggu setelah itu adalah cara saya beradaptasi, meng-enak-kan diri disini. Things get easier.
Kekecewaan
tidak datang sekali, kesempatan lain harus dilepas, demi satu keinginan bernama
studi.
6 September 2015. Telepon lagi. Nomor asing
lagi, dan saya tau ini nomor siapa. HRD yang lainnya. HRD perusahaan impian
saya sejak awal di Brawijaya dulu. Perusahaan multinasional, yang boleh
saya bilang, keren adanya. Meski saya
bukan apply di posisi yang paling
saya inginkan, tetap saja saya excited
jika bisa bekerja di sini. Tak bisa saya pungkiri, saya juga pernah terobsesi
bekerja di perusahaan multinasional seperti ini.
“Olivia, saya ***** dari *****, Olivia
sudah kerja? Posisi dimana? Malang atau Jember? Hari senin saya planningkan
untuk join visit satu hari dengan MD
Jember bisa? Thanks”
WHAT?
Join Visit? Lagi-lagi saya harus menelan kekecewaan
saya, hey Ibu, kenapa tidak menghubungi saya 15 hari sebelumnya???
“Maaf Ibu, saya
sedang tidak di Jember atau di Malang” jawaban saya ketika sang ibu menelpon.
“Oh dimana?”
“Saya di Bogor,
Ibu”
“Sampai kapan?
Nanti saya jadwalkan ulang”
“Saya sekolah
lagi disini Bu.”
“Oh ya sudah,
terima kasih ya.” Titut!
Ah saya kecewa luar biasa, Join visit, MD
Jember, Ya sudahlah~~ mau bagaimana lagi?
Mungkin
Dia punya kejutan lainnya.
Benar saja, seminggu setelahnya 13
September 2015. Satu nomor asing lagi mengirimkan pesan, “met pagi mb. Olivia.
Boleh saya call. Urgent”
Saya membacanya entah berapa jam setelah
pesan itu dikirim. Karena sejak pagi ponsel saya nonaktifkan. Saya balas
singkat, “Iya boleh, maaf baru balas.” Menit terus berjalan, tidak ada balasan.
Karena saya penasaran ini siapa, akhirnya saya simpan saja nomor itu dengan
nama siapa. Saya cek di aplikasi
whatsapp dan ternyata nomor tersebut memiliki akunnya, dan wow! Pada foto
profil kontak tersebut ada salah satu dosen yang saya kenal, dosen yang sudah
saya kontak beberapa minggu terakhir, dosen yang menjadi harapan saya. Karena
saya ragu, akhirnya saya cek nomor yang beliau berikan pada saat perkuliahan
berlangsung. BENAR! Itu nomor beliau.
Langsung saja saya gelagapan mengingat
pesan jawaban yang saya kirim beberapa menit lalu. Saya mengirim pesan lagi,
dengan isi yang intinya mohon maaf karena saya baru merespon dan apakah saya
bisa menelpon beliau. Yah, akhirnya setengah jam kemudian kami berbincang via
telepon. Kabar baik saya terima, kabar yang menggemparkan warga Pondok Gede
juga. Saya diberi satu kesempatan lagi untuk bersaing mendapatkan satu posisi
penerima beasiswa itu :’) sore itu juga saya diberi tugas oleh Sang Dosen untuk
dikumpulkan keesokan harinya, untuk bahan evaluasi dan pertimbangan. Memberikan
satu perbaikan jurnal yang telah direview. Dan jurnal yang diberikan berkisar
soal uji sensori yang notabene saya kurang ilmu tentangnya. Ewww. Ya sudah,
coba kerjakan dengan baik.
Dijatuhkan
ke jurang terdalam
Keesokan harinya, Senin, saya bertemu
beliau, bertatap muka untuk ‘prosesi wawancara’. Banyak yang kami bicarakan,
dari seputar motivasi, ketertarikan saya di bidang penelitian, bahkan hingga
keluarga. Seperti biasa, saat interview, selalu saya keluarkan apa saja yang
harus dikeluarkan. Dan akhirnya ada beberapa pernyataan beliau yang menjatuhkan
saya, ya sudah mau bagaimana lagi, kenyataannya seperti itu kok. Dua minggu
setelahnya baru saya diberi kabar, melalui telepon, saat beliau akan terbang ke
Singapura. Ya, saya terpilih, meski belum pasti, karena proses birokrasi untuk
pergantian nama masih belum beres, masih belum ada kabar dari pihak SPs
(Sekolah Pascasarjana).
And
now, here I am, standing in my pages. God always wonderful, His plan is such a
beautiful.
Ya, “Selamat” kata Ibu, sudah ada
persetujuan dari dikti, sudah ada surat resminya.
Selamat untuk saya, perjuangan harus lebih
keras, targetnya bukan main, tinggi! Selamat, ini sudah diberikan jalan,
selanjutnya adalah tentang saya, bagaimana saya berjuang, membanting otak
hingga melalui apa yang harusnya dicapai. Sungguh, ini rejeki yang luar biasa.
Subhanallah, Tuhan itu Maha Penyayang. Saya makin percaya dengan kata yang saya
tempelkan pada printer hitam itu dulu, man
saara ala darbi washala, siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di
tujuan. Bismillah, BISA!
Ditulis pada 12 November 2015 sore hari
waktu Bogor, ditemani suara hujan
-----
Ya, itu dia tuh tulisan saya. Saat ini saya sedang di perpustakaan IPB. Setalah menertawakan proposal penelitian saya yang ternyata memang acak-acakan. Pantas saja Ibu (Dosen Pembimbing/Promotor) saya kesal ketika saya ijin pulang kampung Juli kemarin. Gila ini proposal memang kacau. Haha. Tapi, alhamdulillah, puji Tuhan, target semester dua tercapai dan program PMDSU untuk semester tiga di rencana studi paripurna akan segera dikerjakan. Yehey, Jer Basuki Mawa Beya !!
0 comments:
Post a Comment