Matahari sudah datang dan menyapa bumi di perbatasan,
membentuk bayang panjang-panjang untuk yang menantangnya. Pagi yang sempurna
untuk merasa dan berpikir. Mereka sedang berada di meja makan, menyantap roti
dan secangkir teh dan kopi panas.
“Hmm, pahit,” kata Sang lelaki
saat merasakan kopinya.
“Hmm, manis,” kata Sang Wanita, setelah mencicipi teh yang
dibuatnya sendiri. Dia tersenyum sambil mencibir Lelakinya.
Sang Lelaki tertawa, melihat tingkah Wanita di hadapannya
yang terasa berbeda dari semalam. “Sudah hilang dukamu?”
Sang Wanita mengangguk, dan tersenyum. Kembali merasakan teh
manis di cangkir dalam genggamannya.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Lelaki, bertanya tentang suntuk
Sang Wanita semalam.
“Pahit, seperti kopimu itu.”
“Iya, tapi sepahit apapun itu tetap saja akan hilang kan
rasanya,” kata sang Wanita lagi, meghirup aroma teh manis favoritnya.
“Enak tidak?” tanya Sang Lelaki lagi, sepertinya dia ingin
membuat Wanitanya kesal atas pertanyaannya.
“Tentu enak, semua rasa kan harus dinikmati. Pedasnya sambal
itu enak, manisnya teh ini juga enak, pahitnya kopimu enak kan? Sama juga
dengan pahitnya dukaku, enak kok.” Jeda, Sang Wanita menyengir, menunjukkan
deretan gigi-giginya. Lalu melanjutkan, “dan lagi, aku pikir, semua rasa itu
tidak ada yang kekal, semuanya sementara. Manisnya bahagia itu sementara,
pahitnya duka juga sementara, bahkan pedasnya perkataan seseorang juga
sementara. Setelah sekian waktu, semuanya akan terasa hambar kan.”
“Kau benar juga, jadi untuk apa berkubang dalam perasaan
yang sama hanya untuk berduka, jika pahit itu bisa menjadi hambar. Dan untuk
apa terlalu terlena oleh sesuatu jika manisnya bisa menjadi masam.”
“Ya, kurasa, semua rasa oleh indra itu tak ada yang kekal.”
Mereka berdua sama-sama mengangguk, sama-sama kembali
menyeruput minuman di cangkir masing-masing.
“Apa karena itu juga ya, Tuhan tidak menampakkan dirinya? Karena
dengan tidak dirasakan oleh indra pengelihatan, penciuman, pengecap, dan peraba
lah, Dia kekal, karena Dia hanya bisa dirasakan oleh hati, hmm?” kata sang
wanita tiba-tiba, retoris, ia menggantungkan pertanyaannya, tak membutuhkan
jawaban. Lelakinya hanya menatapnya.
------------
0 comments:
Post a Comment