“Sudah lama ya.” Sang Lelaki menatap lurus tanpa fokus,
tersenyum.
Wanita di sampingnya memejamkan matanya, tersenyum, “iya.”
“Memang sudah lama apa?” Hobi lelaki ini adalah menggodanya.
“Ya sudah lama tak kemari lah, iya kan?”
Sang Lelaki tak menjawab, dia bersiul pelan. “Kau senang?”
tanyanya.
Wanita itu mengangguk, “tentu saja, hanya melihat langit malam
sebentar saja seluruh penat dan kesalku bisa hilang, apalagi jika bisa
berlama-lama menjadi penonton langit yang diam ditambah bonus angin begini.”
“Dan ada aku di sampingmu, bonus tambahan yang mahal
harganya.”
“Yeee pede,” Sang Wanita mencibir. Lelaki berbaju hitam itu
hanya tertawa.
Lalu mereka terdiam, merasakan angin sepoi menyapa wajah
mereka. Mendengarkan gemerisik rumput yang bercengkrama dengan angin dan malam.
“Kau tau, di manapun aku berada, jika ada angin sedikit saja
rasanya aku bisa mengingatmu.”
Sang Wanita cemberut, “jadi kau juga mengingatku ketika
angin dari tubuh keluar?”
“Hahaha, beda lagi kalau itu.”
“Menjadi angin, menembus batas merah di atas lembar hijau
biru dan coklat,” kata Sang Wanita sambil tersenyum.
“Berkeliling dunia, menembus setiap batas negara dan
provinsi di atas peta dunia, darat dan laut.” Sang Lelaki tersenyum, mengenang
ingatannya yang kuat akan perkataan Wanitanya.
“Kau ingat betul kata-kataku itu?”
“Bagaimana bisa lupa? Saat itu kau mengatakannya sambil
tersenyum meski tak menatapku, seolah itu yang paling bisa membuatmu bahagia. Seolah
ada asa dalam citamu itu, dan itulah pertama kali aku melihatmu benar-benar
tersenyum, hahaha.”
“Memangnya itu kapan?” Ada rasa penasaran dalam raut
wajahnya, ia sungguh tak ingat kapan itu terjadi. Menatap Lelakinya dengan
tanda tanya.
Sang lelaki menggaruk-garuk kepalanya, “saat kita masih di
semester awal saat kuliah, di perpustakaan.”
“Memangnya aku tak pernah tersenyum?”
“Iya, kau selalu cemberut saat ada di sampingku, selalu tak
menghiraukanku.”
“Iyalah, kau menyebalkan, selalu menggangguku saat di
perpustakaan. Dan aku heran benar kenapa selalu bertemu denganmu padahal kita
berbeda jurusan, kau tau aku lega saat masuk kuliah dulu, akhirnya kita beda
jurusan, beda kelas dan pasti tak akan bertemu lagi, eh tapi ternyata sering
juga akhirnya.” Dia mengenang perasaannya sendiri sambil tertawa.
“Memangnya aku sebegitu menyebalkan ya? Lagipula itu juga
tak sengaja kita bertemu, meski kau di kesehatan dan aku di keteknikan, kita
kan bertemu di perpustakaan karena kita punya satu kesukaan yang sama.”
“Astronomi!” Mereka berdua mengucapkan satu kata itu
bersama-sama. Lalu tertawa, lagi.
“Aku tau kau lebih banyak tau tentang langit daripada aku,
tapi kau selalu bertanya ini itu, menggangguku yang sedang asyik membaca, itu
selalu membuatku sebal bukan main.”
“Kau tau, aku suka saat kau marah, menjawab pertanyaanku
hanya dengan iya dan tidak, pertanda kau marah, kau kesal. Itu rasanya misi
besarku berhasil, haha.” Lelaki itu tertawa sambil memegang perutnya, terlalu
banyak tertawa.
“Misi besar?”
“Iya, aku ingat saat pertama kali kau marah padaku, saat di SMP
dulu, kau meletakkan kertas tugas kita secara kasar dihadapanku yang sedang
sibuk bermain game di komputer sekolah, kau bilang ‘hey, kau ini seenaknya, ayo
juga ikut kerja,’ dan aku hanya diam menganga menatapmu, kau tau kenapa?”
Sang wanita menggeleng sambil mengingat peristiwa itu, entah
berapa tahun sebelum ini.
“Karena kau wanita pertama yang berani protes kepadaku saat
aku tak ikut kerja kelompok, biasanya teman-teman kita oke-oke saja saat aku
hanya bermain sedangkan mereka mengerjakan tugas kelompok dan dengan sukarela
mencantumkan namaku di lembar tugas, hehehe. Dan kau tau tidak?”
“Apa?”
“Saat itulah, saat kau marah di depanku itu, aku mulai
memperhatikanmu, hahaha, dasar bocah ingusan, aneh rasanya.”
Sang Wanita diam, tersenyum. Entah apa yang dipikirkannya.
“Padahal kau galak, jarang tersenyum, dan aku sungguh suka
membuatmu marah. Sampai awal kuliah baru aku tau itu bukan kejahilan biasa.”
“Jadi, selama itu? Sejak SMP sampai kuliah? Mengapa kau baru
mengatakannya setelah kita wisuda?”
“Apa harus kukatakan saat SMP?”
Sang Wanita diam.
“Jadi, kau tau, aku anggap aku ini matahari dan kau adalah
bumi. Matahari sangat mencintai bumi, tapi dia tak akan mendekatinya, karena
sang bumi akan mati jika mereka berdekatan. Aku mana mungkin mengatakannya
kepadamu? Mungkin hatiku akan lega setelah mengatakannya, tapi bagaimana
denganmu, aku berpikir kau tak akan baik-baik saja sekalipun kau tak merasakan
apa-apa terhadapku.” Sang Wanita hanya menatapnya, pelan-pelan taman bunga di
dalam kepalanya semakin bermekaran, bunga abadi dalam kebunnya. “Dan kau tau,
meski matahari memiliki gaya gravitasi yang besar, dia tetap membiarkan bumi
dalam orbitnya, dengan begitu banyak kehidupan akan tercipta dalam dirinya. Begitu
juga denganmu, meskipun aku mempesona, tapi aku tak membiarkanmu tertarik
olehku, karena sekali seseorang dalam perasaan menggebu, saat itulah orang itu
akan kehilangan pengelihatan dan pendengarannya. Aku masih ingin kau hidup
dengan pengelihatan dan pendengaranmu, hingga kau benar-benar hidup dan
memberikan kehidupan.”
Sang wanita tersenyum, tanpa berkomentar apapun. Memandang langit
di hadapannya sekilas lalu memejamkan matanya, membayangkan angin menerbangkan
benang sari bunga-bunga yang sedang bermekaran dalam kebun indahnya. “Semoga
suatu saat kita bisa terbang bersama, menembus batas pikir kita, menembus
merah, menembus batas tapi tetap pada jalan kita, untuk pulang,” Sang wanita tetap
terpejam. Sang Lelaki tersenyum.
--------------
hehehe, lagi pengen bikin tulisan tema giniin, haha
0 comments:
Post a Comment