Senin, 23 Desember
Satu pesan menunggu
untuk dibuka, berkedip-kedip telepon genggam yang kuletakkan dipojok meja.
Hey, nanti sehabis
kerja ya, aku tunggu di tempat biasa
Aku tersenyum sendiri
membacanya. Pesan singkat lima menit yang lalu dan aku tak berniat membalasnya,
nanti saja. Lalu aku kembali menerjemahkan angka-angka dalam layar tipis di
hadapanku. Mengartikan deretan bilangan menjadi keputusan, apakah produk ini bisa
diloloskan untuk maju ke pasar atau tidak.
“Mbak ayo pulang,”
ajak juniorku di tim benteng kualitas di perusahaan ini. Aku hanya menjawabnya
dengan senyuman, sembari melirik ke layar komputer canggih keluaran terbaru
yang menemaniku sepanjang hari. Gadis berambut panjang ini mengerti apa yang ku
maksud tentu saja, pekerjaanku belum selesai, aku tak suka meninggalkan
pekerjaan.
Aku bekerja di sebuah perusahaan
besar di kota kelahiranku, Malang. Biar aku kuliah di luar kota, aku malas
untuk mencari kerja di luar kota juga, Bogor, tak menarik bagiku untuk pergi
lebih jauh lagi. Teman-temanku bilang aku aneh karena kesempatanku untuk kerja
di ibu kota besar namun aku malah memilih kota kelahiranku. Ya, aku kembali
lagi pada pelukan dingin Sang Malang.
Handphoneku bergetar
pelan.
Aku tunggu lho ya,
pulang jam 4 kan? Aku di tempat biasa jam setengah lima. See ya
Aku lupa membalas
pesannya tadi. Lalu ku ketik balasannya.
Oke. Tunggu kedatanganku
di sana
Kuhapus lagi kalimat
terakhir, hingga yang tersisa hanya kata, Oke. Kembali aku melanjutkan
pekerjaanku. Jam-jam berlalu tanpa terasa.
“Dek, belum pulang?”
tanya atasanku tiba-tiba, mengagetkan aku yang sedang meregangkan otot-otot
pinggang yang serasa sangat kaku.
“Iya Bu, ini sudah
selesai, segera meluncur pulang,” kataku berusaha sopan.
“Oke, saya pulang dulu
ya. Selamat Sore.”
“Sore Bu.”
Aku segera mengemasi
barang-barangku. Sebuah buku bersampul kulit, bolpoint, netbook dan charger
serta handphone yang ku masukkan dalam jaket jeans yang kukenakan. Aku
buru-buru, aku tak suka orang lain menungguku.
---
Dia melambaikan
tangannya dari kejauhan, aku menghampirinya sambil memandang tempat bersantai
ini dengan ekor mataku. Kaus yang dikenakannya berwarna putih, dengan celana
jeans biru tua. Rambutnya basah baru keramas, aku tau bau shampoo yang
dikenakannya, sama seperti shampoo yang digunakan ayahku di rumah.
“Sudah lama?” tanyaku.
“Baru aja kok. Aku
sudah pesan minum, kamu mau pesan apa?”
“Coklat hangat aja
lah,” aku sedang ingin antioksidan dan efek menenangkannya.
Lalu kami diam setelah
memesan minuman. Aku sibuk dengan handphoneku dan begitu juga dengannya. Dia
tersenyum-senyum sendiri. Ah ya, dia adalah teman lamaku yang sedang berlibur
di hometown, kawan masa sekolah
menengah atas yang tiba-tiba bertemu setahun lalu di Bogor. Dia tak kembali ke
Malang, tapi bekerja di kota yang sama dinginnya, Bandung. Dia sedang mengambil
cuti akhir tahun selama dua minggu sampai awal tahun depan. Sudah beberapa hari
ini dia mengajakku ngobrol ngalur-ngidul
di tempat ini.
“Dhir?” katanya
membuyarkan lamunanku.
Aku nyengir lebar.
“Dasar, kerjaannya
melamun aja, capek kah?”
Aku menggeleng. “Nope,
nggak kok Ga.” Gatra, begitu namanya. Lalu dia mengambil sebungkus batang
andalannya. Rokok. Dia mengapit sebatang di antara jari telunjuk dan jari
tengahnya, menyalakan api dan mendekatkannya dengan ujung batang rokok yang
beberapa menit lagi akan lenyap itu.
“Aku pakai ini ya,”
kataku sambil memasang sapu tangan biruku di depan hidungku.
“Memangnya kenapa? Hanya
sepuluh menit sampai lima belas menit saja kok,” katanya lalu menghembuskan
asap kelabu dari mulut dan hidungnya. Aku paham mengapa orang bisa ketagihan
merokok, tapi tak benar-benar paham mengapa terus melanjutkan kegiatan itu
padahal jelas-jelas merugikan.
“Aku sayang dengan
ragaku,” kataku datar.
“Memangnya saat ini
aku sedang bicara dengan siapa?”
“Jiwa.”
Lalu dia tertawa.
“Jadi kau dengan ragamu tak bersatu?” tanyanya, menahan tawa.
“Tidak, aku dan ragaku
bersama tapi tak jadi satu. Yang kau lihat adalah ragaku, itu pun hanya
sebagian kecil yang bisa terlihat. Sementara jiwaku, aku sendiri tak tau
bagaimana rupa jiwaku sebenarnya.”
“Lalu bagaimana kau
tau ternyata kau dan ragamu bersama tapi tak jadi satu, padahal kau tak sendiri
tak tau bagaimana rupamu?” tanyanya sambil sesekali menghisap nikotin dari
rokok di jemarinya.
“Kadang aku dan ragaku
tak seiya sekata. Pernah dia sakit saat aku sedang bahagia, pernah juga saat
aku sedang kacau dia tak menghiburku. Aku dan dia berbeda, hanya berjodoh saja
saat pertama kali ditugaskan untuk bernafas di bumi. Tapi bagaimanapun dengan
ragaku, aku tetap menyayanginya.” kataku datar.
Dia tertawa lagi,
mungkin mendengarku seakan aku mengkhayal. Tapi aku serius, aku benar-benar
menganggapnya seperti itu.
“Bagaimana denganmu? Apa
kau tak menyayangi ragamu?” tanyaku, penasaran dengan pendapatnya.
Dia membuang sisa
rokok yang terbakar ke dalam asbak bergambar kuda di hadapan kami. Lalu kembali
menghisap rokoknya yang saat ini kira-kira sepanjang enam sentimeter. Seperti
mengulur-ulur waktu, dia asyik menghembuskan asapnya. Aku menahan napasku. Aku
benci asap.
“Bagaimana denganku
ya,” katanya, keningnya berkerut. “Aku pernah bilang padamu kan, manusia itu
sederhana tapi kompleks. Manusia itu seperti avatar, diciptakan dari empat
unsur, air udara tanah dan api. Tanah adalah asal usul manusia yang meski hidup
lama atau sebentar pada akhirnya akan kembali ke asal lagi. Air untuk
ketenangan, kebaikan, dan kebermanfaatan dalam hidup. Udara untuk kebebasan,
kehidupan dan kebaharuan. Sedangkan api adalah untuk semangat, passion dan
tentu saja, nafsu. Nafsu pun dibagi lagi, ada nafsu untuk melakukan kebaikan
dan nafsu untuk melakukan hal yang negatif, amarah misalnya.”
Aku diam saja, tak
berniat berkomentar apapun.
“Merokok ini,
entahlah, nafsuku mungkin. Sisi apiku salah satunya ada di batang rokok ini.
Dan ya, bisa jadi ini nafsu yang merugikan ragaku. Tapi bagaimana lagi, aku
suka, ada hal-hal menyenangkan yang tak bisa aku jelaskan saat merokok. Kau mau
mencoba?”
Aku melemparkan
pandangan kesal, dasar, buat apa aku merokok. Dari dulu aku ingin mencoba, tapi
aku takut ketagihan. Rasa takutku lebih besar dari rasa penasaranku. Jangan menguji imanku ya.
“Santai sajalah Dhir,
nanti juga kau akan berpisah dengan ragamu.”
“Aku tau, setiap hari
juga kita berpisah dengan raga kita, saat tidur bukankah kita terpisah dengan
raga. Raga setia menunggu di tempat yang sama saat jiwa pergi entah ke mana. Tapi
sebelum aku benar-benar terpisah denganya, aku ingin membahagiakannya. Dia
sudah bekerja keras membawaku melewati berbagai peristiwa, memberikan
pengelihatan dunia kepadaku, menciptakan pengalaman baru bersama, tumbuh dan
bermain bersama, bahkan nanti kalau sempat juga akan tua bersama. Yah masa
nanti saat akan berpisah satu sama lain, dia kesakitan sementara aku bahagia
menyambut kebebasan? Masa aku tega membiarkan dia bersakit-sakit begitu.”
“Wah, susah deh,
angkat tangan aku Dhir.” Dia mengangkat tangannya seakan tertangkap basah
sedang melakukan kegiatan kriminal.
Aku tertawa sambil
memegangi sapu tangan yang masih betah menutupi hidungku. Dia mengangkat
tangannya seolah menyerah namun masih erat menyapit rokok di ujung jemarinya.
Aku menggeleng-geleng.
“Bagaimanapun
pendapatku, itu sama sekali tak bermaksud untuk menghakimimu Ga, it’s only my perception, you know it bro.”
“Santai sajalah, aku
paham kok. Eh aku ke belakang dulu ya,” katanya lalu menjawab telepon yang berdering
dari handphonenya.
Aku mengangguk tanpa
sempat ia ketahui. Masih kudengar suaranya dari tempatku duduk. Tapi aku tak
berusaha mendengar percakapan jarak jauh itu. Aku tak tau siapa yang
menelponnya, aku juga tak tau siapa yang
biasanya dia hubungi di layar handphonenya. Tapi yang pasti dia akan
tersenyum-senyum sendiri saat membaca pesan yang datang.
Coklat panasku sudah
dingin, tersisa hanya setengah bagian sekarang. Aku meneguknya hingga sepertiga
bagian. Menenangkan perasaanku sendiri, yang entah mengapa serasa kesal saat
aku melihat senyum itu ketika dia membaca pesan dan mengangkat teleponnya. Aku
tiba-tiba tersadar akan sesuatu yang menghantamku ini. Aku cemburu? TIDAK! Apa aku
menyukainya? Aku menggeleng, minum lagi, lalu menggeleng lagi. “Hey!” Gatra
mengagetkanku.
“Kenapa? Pusing?”
tanyanya. Jantungku berdentum-dentum keras. Sial,
ada apa ini?
“Ha? Enggak kok, ini
coklatku habis, mau pesan lagi.”
“Oh, monggo.”
Beberapa menit
kemudian coklatku datang. Aku langsung menyeduhnya, mensugestikan diriku
sendiri supaya tenang. Lebih baik aku tak menyadari bahwa aku menyukainya,
daripada aku sadar lalu begini. Ah rasanya aku ingin cepat-cepat pulang, ingin
bertemu air hangat lalu tidur. Tapi aku masih betah berada di dekat manusia di
hadapanku ini. Aku bisa membicarakan banyak hal dengannya, aku bebas mengkhayal
dan bermimpi. Setahun ini aku memang sangat sering berkomunikasi dengannya,
entah dengan media short message service
sms, atau Yahoo! Messenger. Agak
ketinggalan memang dengan kedua media itu, karena di jaman modern ini sudah
biasa dengan media pesan yang lain yang berbagai macam jenisnya. Aku tak peduli.
Aku tak pernah merasa
menyukainya sebelum ini, sebelum sesaat yang lalu. Aku hanya merasa nyaman jika
sedang berbicara dengannya. Ada saja yang kami bicarakan, dari politik, sepak
bola, isu luar negeri, pendidikan, dunia filsafat bahkan sampai isu yang berbau
agama. Aku menganggap kami hanyalah dua orang kawan yang beranjak dewasa,
dengan tak meninggalkan pikiran bebas kami.
“Dhir? Eh, maksudku
jiwa, eh, jiwa atau jiwa dan raga ya?”
Aku tersenyum
mengejek, seperti biasa. Aku tau, aku pandai menyimpan segala perasaanku.
“Kamu pernah tidak
berpikir, ‘bagaimana jika aku menjadi orang lain? Bagaimana jika aku berada di
dalam tubuh orang lain?’” tanyanya membuatku terkejut. Aku tertawa lebar, “loh
kamu pernah berpikir seperti itu juga?”
“Iya, kadang aku
berpikir seperti itu, ingin merasakan bagaimana jika jiwaku berada dalam tubuh
orang lain. Bagaimana rasanya jika aku menjadi orang lain.”
“Sama, sejak di
sekolah dasar aku berpikir seperti itu, tapi sampai saat ini, itu hanya jadi
pertanyaan kan.”
“Tapi aku tau
bagaimana caranya kita bisa merasakan ‘rasa’ itu, Dhir.”
“Memang gimana Ga?”
aku penasaran, dia selalu tau lebih banyak daripada aku.
“Tapi sungguh, jangan
beritau siapa-siapa ya, aku diberitau seorang guruku dulu.”
“Enggak deh kalau
rahasia, aku takut,” aku takut memegang rahasia, bukan karena tak bisa
menyimpan rahasia, tapi memang aku tak terlalu suka mengetahui apa yang
harusnya tak aku ketahui.
“Serius, ini beneran
caranya bisa membuat kamu tau rasanya menjadi orang lain loh, seperti berada
dalam tubuh orang lain.”
“Apa?” ah! Aku penasaran!
Dia berbisik padaku,
“caranya, berdiskusilah dengan orang lain, bacalah apa yang orang lain tulis.”
Aku mendengus. Ah kau.
“Benar kan?” katanya
merasa menang. “Ya, jika kita memandang dengan cara orang lain memandang,
berpikir dengan cara orang lain berpikir, bukankah sama seperti menjadi orang
itu sendiri.”
“Yayaya, selamat jiwa
Bapak Gatra, anda menang!” kataku sambil tertawa. “Sudah hampir gelap, aku
pulang ya Ga.”
“Besok ke sini lagi ya
Dhir?”
Aku mau, sungguh aku
mau. Tapi pekerjaanku benar-benar menumpuk. Pengembangan produk untuk awal tahun
depan sungguh menguras tenaga dan pikiranku. Aku harus lembur hingga hari
penutup tahun ini.
“Aku harus lembur
sampe tanggal 30 besok Ga,” kataku.
“Yaaaah, okelah. Good Luck!” katanya sambil mengacungkan
kepalan tangannya untuk menyemangatiku.
Aku tersenyum lalu berbalik
pulang. Kata ‘yah’ Gatra barusan memenuhi pikiranku. Apakah itu adalah kata
‘yah’ akan sebuah kekecewaan karena tak bisa bertemu? Ah! Aku tak mau berpikir
dia menyukaiku. Tidak. Tidak. Tidak. Dia pulang ke Malang untuk bertemu orang
tuanya, dan untuk menghabiskan cuti akhir tahunnya. Tidak, janji mentraktirku
itu hanya selingannya. Sedikit sekali teman se-almamaterku yang masih tinggal
di Malang. Kalaupun ada, pasti sudah berkeluarga. Teman-teman dekatnya yang
kutahu juga sudah merantau ke luar kota. Jadi, aku hanya pilihan terakhir yang
bisa diambil, dengan terpaksa. Aku memaksa alam bawah sadarku untuk menelan
pemikiran itu. Aku tak mau berharap dia menyukaiku. Tidak. Aku tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengannya. Ah sudahlah..
----
Kamis, 26 Desember
Ga, aku sudah dapet
film yang kamu beritau, keren bingit filmnya.
--
Hallah sampe bilang
keren bingit, masih banyak film lain yang lebih bagus Dhir. Makanya jangan cuma
nonton drama korea aja, kayak masih remaja aja, lirik film berbobot yang lain
dong :p Eh, katanya sibuk?
--
Iya ini lagi makan
siang. Nanti lembur sampe malem.
--
Wow, semangaut!
---
Oke, thankyou.
----
Sabtu, 28 Desember
Dhirrruuuus, still
busy?
--
Yeah
--
Oke,
semangat!
----
Selasa, 31 Desember
Dhir?
Pesan di YM ku.
Iya Ga?
---
Masih lembur Dhir?
Gila Malang sepi banget, nggak ada
yang bisa diajak keluar
---
Hari ini udah nggak lembur Ga,
Masa anak-anak nggak ada yang
pulang sama sekali sih?
---
Blas, nggak ada sama sekali
Tau gitu nggak pulang
Aku
diam, tak membalasnya. Aku tak tau harus membalas apa, ada rasa kecewa dengan
kalimat terakhirnya. Ah, perasaan macam apa ini. Aku mencoba mengabaikan YM ku,
melanjutkan pekerjaanku.
Setengah jam kemudian
dia mengirimkan pesan lagi.
Dhir?
Sibuk banget yah? Nanti pulang jam
berapa?
---
Mungkin jam dua siang
Singkat aku
menjawabnya. Entah mengapa aku kesal tanpa alasan yang jelas. Aku kesal dengan
diriku sendiri, jadi labil begini.
Oke deh, selamat bekerja Bos
---
Thank you J
Lalu aku kembali konsentrasi
dengan angka-angka di hadapanku. Yeah, lagi-lagi angka. Entah mengapa aku betah
berlama-lama menghabiskan waktu dengan angka. Mengamati ketepatan berdasarkan
besaran yang ditunjukkan oleh angka. Angka. Angka. Angka. Ah, aku kembali ingat
Gatra. Ini kepalaku kenapa kok mudah sekali rasanya orang itu muncul di
kepalaku. Lalu tiba-tiba handphoneku menyala, satu pesan masuk. Siapa? Pikirku.
Dhir, nanti malem ada
acara keluar nggak?
Gatra.
Nothing Ga, why?
Semenit, lima menit,
setengah jam. Dan dia tak membalas pesanku. Orang aneh dasar.
----
Hari ini tuntas ku
selesaikan pekerjaanku. Pukul satu tepat aku sudah bersantai di punggung kursi
empukku. Aku segera pulang setelah menyerahkan hasil kerjaku pada atasanku. Aku
ingin segera pulang dan tidur.
----
“Dek, ada temanmu ini,”
ibuku memanggilku yang sedang asyik menonton acara music di malam tahun baru
ini. “Siapa Bu?” Ibuku menggeleng.
Aku intip siapa tamuku
ini, tak biasanya ada temanku yang datang pada malam tahun baru. Sebenarnya baik
teman kantor atau teman masa kuliah dulu sering mengajakku pergi keluar saat
pergantian tahun, tapi aku selalu menolak. Aku ingin menghabiskan waktu
pergantian tahun di rumah, dengan keluargaku. Lelaki berkemeja hitam, dengan
celana yang juga hitam. Dan yeah, Gatra. Dia sedang berbicara dengan ayahku. Ada apa ini bocah ke sini?
“Dek, diajak keluar
itu sama temennya.” Ayahku mengatakannya padaku. Berarti baru saja Gatra
meminta ijin untuk keluar denganku. Lelaki
pintar. Aku tak punya alasan untuk tak keluar. Sial. Dia tau aku tak suka
keluar saat momen-momen seperti ini.
Gatra tersenyum
menyapaku. Aku cemberut.
“Hey, beri salam
selamat datang dong untuk teman lama yang sudah beberapa hari kesepian ini,”
katanya, sumringah.
“Selamat datang, tamu
agung,” sedikit dongkol dalam nada suaraku.
“Ayo Dhir, keluar
Dhir, aku sudah bosan nih.”
“Mau kemana memangnya?”
“Ke tempat biasa.”
“Ke sana, lagi?” aku
hanya bisa geleng-geleng kepala. Ah lelaki
ini lama-lama menyebalkan.
Gatra memarkir
motornya sementara aku memilih kursi tempat biasa. Tempat duduk paling pojok
dekat kolam ikan dan rak buku. Tempat nongkrong satu ini memang asik, di
mataku. Ada lemari buku yang cukup besar di salah satu dindingnya, lengkap
dengan kolam ikan berpancuran yang membuat pikiran tenang apabila berlama-lama
di sini. Iya, lama-lama ngantuk memang, apalagi ditambah menyeduh coklat panas
atau teh panas dan badan capek lagi, komplit. Ini kali keempat aku datang
bersama Gatra. Sepertinya dia jatuh hati dengan tempat ini, atau bisa jadi dia
mengajak ke sini karena di jalanan sudah ramai minta ampun. Sudah pukul Sembilan
malam. Dan aku memiliki ijin sampai menjelang pagi. Hebat si Gatra temanku satu
ini, berhasil meyakinkan ayahku.
“Hehe, gimana?” tanya
Gatra.
Pertanyaan macam apa ini? “Apanya yang
gimana?” tanyaku.
“Oh iya, apanya ya? Eh
sudah pesan sesuatu?”
“Sudah, seperti biasa.”
Dia hanya mengangguk. Meraih
handphone dalam sakunya, memencet sesuatu lalu tersenyum. Senyum aneh yang
kulihat. Berbeda sekali senyum yang ditunjukkannya padaku dengan senyum saat
dia membaca atau membalas pesannya.
Yaelaah, buat apa aku diajak keluar kalau kau asyik dengan
handphonemu. Aku tak mau kalah, ku ambil
handphoneku, memilih Games dan bermain sesukaku.
Beberapa saat aku
asyik dengan permainan mencocokkan gambar ini. Ekor mataku menangkap
bayangannya, dia sedang memandangku. Deg!
“Ha? Ada apa?” tanyaku
bodoh. Suara tanda waktu habis terdengar dari speaker telepon genggam putihku.
Dia menggeleng,
tersenyum.
“Kamu kok aneh sih Ga,”
kataku sedikit mengejeknya. Sebenarnya aku bingung, lelaki ini kenapa hari ini.
“Aku aneh?”
Aku mengangguk.
“Mungkin gara-gara
suasananya jadi mellow gini deh Dhir.”
Aku memandang sekitar
dan dor! Yah, benar sekali, suasana di tempat ini berbeda. Aku sama sekali tak
memperhatikan sebelumnya. Ada banyak lilin di dekat kolam ikan, beberapa di rak
buku dan berjejeran di sekitarku. Aku heran. Ini malam tahun baru atau hari
valentine?
Seorang pelayan
mengantarkan pesanan kami berdua. Minuman panas, manakan berat dan snack untuk
kami masing-masing. Sepertinya aku dan Gatra sedang kelaparan.
“Eh mas, ini kenapa
suasanya jadi begini?” tanyaku sambil memandang sekitar pada Pelayan jangkung
berwajah muda sekali ini.
“Oh jadi begini mbak,
di sini setiap malam tahun baru ya begini dekorasinya. Berbeda dengan yang lain
kan mbak, ya tho? Jadi kami memaknai malam tahun baru itu
sebenarnya bukan untuk berpesta, mabuk-mabukan atau hal-hal negatif lainnya
mbak, tapi untuk merenung. Iya mbak, merenungkan tahun ini dan bagaimana
rencana tahun depan supaya kehidupan kita lebih bermanfaat, lebih bermakna dari
tahun sebelumnya,” mas-mas pelayan menjelaskan panjang.
Aku hanya
manggut-manggut. Benar begitu? Wah mas pelayan ini kelihatan kece sekarang.
“Wah, amazing, oke matur nuwun mas.” Si mas pelayan mengangguk
sambil tersenyum. Aku memandang pintu yang dilaluinya dengan tatapan kosong.
“Dan semoga pada tahun
depan kutukan buah khuldi terlepas, ya mas.” Aku mendengar Gatra bergumam
sendiri.
“Kenapa Ga?” Dia
menggeleng, lalu mulai memakan mie ayam original Malang-nya.
Aku masih memikirkan
perkataan mas mas pelayan, benar juga, kebanyakan orang saat ini senang
memandang kembang api daripada membanyangkan api yang telah disulut pada tahun
lalu.
“Dhir.”
“Iya?”
“Menurutmu buah khuldi
itu ada tidak?”
Aku berpikir sejenak, “ada,”
jawabku.
“Dipikiranmu, buah
khuldi itu seperti apa?”
“Aku membayangkannya
seperti apel tapi berwarna ungu.”
Dia terdiam,
melanjutkan mengunyah mie-nya. Dia memesan porsi jumbo dan aku memesan porsi
setengah jumbo.
“Kau tau kisah buah
khuldi kan Dhir?”
Aku mengangguk, bukankah itu kisah cinta?
“Itu kisah cinta yang
manis ya Dhir.”
Aku mengangguk lagi. Dia
berkata seakan mampu menbaca pikiranku.
“Menurutmu mengapa
Tuhan menciptakan buah khuldi?”
Aku menatapnya,
mencoba berpikir mengapa. Lalu aku menggeleng. Dia tersenyum menatapku. Kali ini
senyumnya aneh, bukan senyum biasanya.
Kemudian ada sesuatu
yang hinggap di kepalaku. “Bukankah buah khuldi adalah buah yang terlarang Ga?”
Kali ini dia yang
pasif, hanya mengangguk lalu meneguk air putihnya. Melanjutkan menghabiskan
mie-nya yang tersisa sepertiga porsi awal.
“Buah terlarang
memang. Tapi bukankah Tuhan Maha Mengetahui? Dia pasti tahu Adam dan Hawa akan
melanggar satu perintah itu. Menurutmu buat apa diciptakan padahal Dia tahu
larangannya akan dilanggar?”
“Itu sama saja seperti
‘bukankah setan itu merugikan, manusia diciptakan untuk patuh, sedangkan setan
tetap dipertahankan padahal berani membantah,’ menurutku, Dia menciptakannya
buah khuldi sebagai tolak ukur, apakah makhluk surge bisa menahan keinginan dan
rasa penasarannya terhadap rasa, dengan terus mengingat perintah dan
larangannya.”
Dia mengangguk-angguk.
Entah sependapat atau tidak. “Tapi aku punya pendapat berbeda.” Tentu, dia
jarang sependapat denganku, dia selalu memiliki alasan lainnya. Ini yang
membuatku kagum padanya. Kekaguman yang menuju ke arah lainnya. “Menurutku
Tuhan menciptakan buah khuldi sebagai alasan.”
Alasan?
“Ya, alasan untuk
menurunkan Adam dan Hawa ke bumi. Mereka diturunkan dan dipisahkan pada tempat
yang berbeda. Pada akhirnya, dengan alasan buah khuldi itu, sang rusuk bertemu
tuannya, dipersatukan dan menemukan cintanya kembali.”
Aku tersenyum. Dia selalu
memiliki pandangan yang berbeda. Kami kembali sibuk dalam pikiran
masing-masing. Aku sibuk memikirkan percakapan kami barusan, tentang buah
khuldi, tentang tulang rusuk, dan tentang satu kata yang jarang diucapkan Gatra
selama setahun ini sejak aku bertemu dengannya tahun lalu, ya, Cinta.
Kulirik piring di
hadapan Lelaki yang bertingkah aneh malam ini, mie-nya sudah habis. Dia sudah
meneguk air putihnya sampai habis. Makananku masih tersisa, dan aku masih sibuk
mengunyah.
“Dhir, tau tidak,
mengenalmu itu rasanya seperti pernah mengecap buah khuldi di masa lalu.”
Aku menatapnya, sambil
menghitung jumlah kunyahan mie di dalam mulutku. Satu.. Dua.. Tiga..
Aku tau alisku bertaut
saat ini, tak mengerti dengan apa yang dikatakannya barusan.
“Sejak bertemu
denganmu setahun lalu, rasanya aku terusir dari zona nyaman kesendirianku. Aku jadi
betah berlama-lama bicara denganmu, aku betah bercerita ini itu denganmu, dan
sungguh aku nyaman ada di dekatmu.”
Empat.. Lima.. Enam..
Tujuh..
“Dan, entah kenapa
berat sekali rasanya esok lusa aku untuk kembali ke Bandung. Aku
tersenyum-senyum sendiri saat teman kantorku memberi pesan semangat padaku
untuk malam ini.”
Delapan.. Sembilan..
Sepuluh.. aku terus mengunyah, aku berkedip, dia melamun? Dia meracau? Dia masih waras?
“Dhir, aku menyukaimu.
Seperti kataku sebelumnya, mengenalmu itu seperti pernah mengecap buah khuldi
di masa lalu. Kali ini aku serasa bertemu lagi, dipertemukan dengan sebagian
tulang rusukku.” Dia mengambil napas dalam, “Dhir, kau mau kembali berjalan
pulang denganku di waktu yang tersisa ini?”
“Maksudmu?” belum
kutelan mie yang ku kunyah..
“Maksudku, berjalan
pulang, ke surga, tempat sebaik-baiknya pulang. Maukah kau menjadi
pendampingku, menemaniku selama perjalanan kembali pulang?”
Sebelas.. Dua Belas..
Tiga Belas.. Gleg. Kutelan, habis. Lalu kembang api mulai dibakar, suaranya
sudah meramaikan ruang dalam telingaku. Gatra menatapku, aku menatapnya. Dan aku
tak tau apa yang harus ku katakan. Selamat Tahun baru, hatiku.
word count : 3348
4 comments:
bagus lip ceritanya :)
hopefully hahahaaa
Hahhaha makasih rus
amin deh amiiinn
Hahhaha makasih rus
amin deh amiiinn
Post a Comment