Sepi sekelilingku sunyi, tiap mata sibuk dengan apa yang
digenggam telapak tangan erat. Entah buku, entah gadget entah tuts di computer
lipat. Aku sendiri sibuk mengulang-ulang satu kalimat dalam lembar kuning di
hadapanku. Hingga ku dengar satu langkah kaki yang begitu ku kenal, irama dua
tungkai yang tak pernah menyeret langkah di lantai. Karakter orang yang tak
suka mengulur-ulur waktu. Sayangnya, suka sekali terlambat dari waktu yang
disepakati.
Dia duduk tepat di hadapanku, keringat membasahi rambutnya
yang baru dipangkas. Tak ada senyum. Ku pandang wajahnya sekilas, rontok
bahagiaku yang sekejap barusan. Karna tak ku temukan apa yang sedari tadi aku
cari, kehangatan wajah yang ku rindukan. Kembali ku baca kalimat-kalimat yang
sedari tadi tak kutemukan apa intinya. Aku tak sedang ingin mengalah.
“Maaf ya terlambat.” Pelan dia mengeluarkan perangkat keras
kesayangannya, dengan gambar apel yang digigit sedikit di permukaannya.
Buat apa minta maaf
jika terus menerus kau ulangi lagi apa yang kau mintakan maaf. Aku hanya
mengangguk, tak berselera untuk mengomel. Penatku sudah menumpuk di ujung
ambang batas kesabaran. Ah, bukankah
sabar tak ada batas dan ujungnya?
Sekuat tenaga ku tahan mutiara kacaku tak pecah, menahan
gelombang air mata menembus pertahanan terakhirku. Kacauku sudah di ubun-ubun.
Dia datang sebagai katalis kekesalanku, datang mempercepat amarahku meledak.
Aku tarik napas dalam, menahannya sambil menenangkan pikirku sendiri. Dan
lepas, sedikit demi sedikit pelatuk granat terlepas tanpa ledakan. Di hadapanku
dia masih bergeming, tak lepas memandang layar yang entah menggambarkan apa. Tadinya aku mengharapkan kau dapat menyiram
kebakaran dalam hatiku. Ternyata benar, kebahagiaan adalah tanggung jawabku
sendiri, tak ada sangkut pautnya denganmu.
Ku tutup buku setebal 628 halaman ini. Cepat-cepat ku
masukkan dalam tas kesayanganku. Dengan keberanian yang sedang kuat bersatu, ku
katakan pelan dan jelas, “jika tak ada yang ingin kau katakan padaku, aku akan
segera pulang. Aku juga punya pekerjaan yang harus ku selesaikan. Selamat
Siang.” Rahangnya mengeras tapi tetap tak bersua sedikitpun. Aku pergi tanpa
ingin membaca pikirannya. Langkahku cepat meninggalkan meja paling ujung di
perpustakaan ini.
Beberapa jam setelah itu, satu pesan mengunjungi layar
telepon genggamku.
****
tulisan 26-11-2013
tersimpan saat kepala nggak tau lagi mikirin apa
heuheu
0 comments:
Post a Comment