Apakah setiap menyerah berarti kalah?
Pertanyaan negatif pertamaku hari ini padamu. Kau diam saja,
berpikir. Kau biasanya banyak bicara. Beberapa menit lalu kau banyak mengurai
kata, sementara jawabku hanya senyum dan tawa. Kau tak perlu ku jelaskan aku
sedang bagaimana kan. Aku yakin, kau sudah tau.
Apakah setiap jalan
harus dituntaskan sampai tujuan?
Tanyaku lagi, menuju pernyataan negasi lainnya. Kau tau ini
mau ke arah mana. Beberapa hari yang lalu aku menghubungimu tengah malam. Hanya
untuk mengeluh. Tak apa katamu. Curahkan saja semuanya padaku, katamu. Lalu aku
menjadi sapi. Mengeluh ke sana kemari.
Semakin hari aku semakin susah menangis, maka malam itu aku
menangis. Melepaskan segala beban di kepalaku. Mencair kaca itu di mataku,
mengalir melewati pipi. Aku tak berharap ada yang menghapus air mataku. Aku tak
pernah menangis di depan orang lain selain kedua orang tuaku. Aku lebih sering
menangis sendiri. Maka malam itu, aku membicarakan bebanku kepadamu. Membicarakan,
tidak menangis di depanmu. Aku tak akan melakukan itu. Biarkan kau hanya tau
aku suka tertawa, dan marah. Bukan menangis.
Apakah setiap janji
harus kita tepati? Apakah setiap komitmen harus kita lunasi?
Tanyaku lagi. Aku menjadi setengah pengecut. Aku benci. Aku benci
terlihat lemah, tapi aku juga benci terlihat kuat tapi keropos di dalam.
Kau tak menjawab satupun pertanyaanku. Seakan kau tau, aku
tak perlu jawaban dari itu. Lalu angin menerbangkan daun-daun kering di depan
kita. Sudah hampir tengah hari, dan kita masih betah berlama-lama memandang
anak kecil yang berlarian. Ini wisata keluarga, katamu tadi pagi. Tentu, mana
ada wisata yang bukan wisata keluarga? jawabku, seperti biasa, sekenaku, ketus,
seperti biasa. Kau tak akan terganggu, kau sudah tau aku.