"Sungguh? Kau bisa setangguh itu?" pekiknya mengganggu telingaku.
Tidak. Aku tak setangguh itu. Aku hanya segila itu.
Lalu dia mendekatiku, mengusap punggungku pelan-pelan. Tanpa berkata apapun. Dia selalu tau apa yang aku butuhkan.
Terisak. Jatuh semua bendungan yang kutahan sejak pagi tadi. Aku sedih. Aku kecewa. Aku merasa tidak berharga.
Dia tak berucap sedikitpun. Masih mengusap punggungku, dengan tekanan di pangkal usapannya. "Kau luar biasa. Jika orang lain ada di posisimu, belum tentu mereka bisa sepertimu. Ya, mungkin mereka akan lebih pintar mengambil langkah-langkah lainnya, hehehe" katanya, menyebalkan, sambil tetap mengusap punggungku.
"Kau sudah melakukan yang terbaik, seperti yang engkau inginkan kan? Tapi..." jeda dalam kalimatnya.
"... apakah begitu yang kau butuhkan?" sambungnya lagi.
Dia tak butuh jawabanku. Dia hanya ingin memantik kesadaranku. Meski dia juga tau apa yang paling berharga dalam hidupku, pun apa yang paling terdalam dalam hatiku.
Dia masih mengusap-usap punggungku, dan aku masih terisak dalam tangisku. Aku lelah. Izinkan aku marah, izinkan aku menangis.