Hari kedua.
Berbahagialah.
Satu kata yang sering diucapkan tanpa hati mengikutinya. Terlalu
sering hingga maknanya lupa teringat.
Satu kata yang terlalu sering kau ucapkan. Tapi lupa untuk
kau usahakan.
“Berbahagialah. Kebahagiaan itu tak seperti engergi,” katamu
waktu itu. “Energi tak bisa diciptakan dan dimusnahkan tapi hanya bisa diubah
bentuknya. Tapi tak begitu dengan kebahagiaan.” Aku diam saja tak menanggapimu,
kekesalanku masih tetap berdiri dengan angkuhnya. Lalu kau tersenyum,
memamerkan gigi-gigimu padaku.
“Kenapa harus menyimpan kekesalan saat kita bisa tersenyum
bahagia, kenapa harus menyeduh benci jika sanggup mencelupkan bahagia dalam
hidup sesama,” katamu lagi. Ah gagal aku mempertahankan amarahku. Itu kata-kataku,
kau sadur untukku sendiri. Aku terima kopi yang kau berikan padaku.
Lalu waktu selebihnya serasa milikku.
Kata-kata keluar setelahnya, membiarkanku mencurahkan apa
saja dalam tempurung yang sudah kaku. Kau hanya mendengar tanpa menyela,
sekalipun kau tak pernah menyela dan mencela pembicaraanku. Aku asyik bercerita
ke sana kemari, membiarkan segalanya keluar tanpa peduli bagaimana pikirku. Dan
tentu saja kau setia di situ, tersenyum melihat dan mendengarku kembali seperti
biasa.
Begitulah dirimu, membiarkanku menjadi diriku sendiri,
berbahagia katamu.
Ya, begitulah dirimu, selalu menjadi dirimu, tertawa dan
tersenyum selalu. Dan ceritaku selalu membuat kita menghabiskan waktu yang lama
untuk sekedar mencicipi secangkir kopi yang berbeda.
Hai, selamat sore.
Aku tak berniat mengingatkanmu, aku hanya
ingin mengingatkan diriku sendiri. Aku pernah sebahagia itu.
Dan tentu saja, untukmu, berbahagialah.