Angin sore berjalan riang menerbangkan debu jalan yang kesepian. Harmoni cicit burung dan bising kendaraan bermotor mengimbangi hembus angin.
Wanita bermata sendu itu masih tekun merapal kata dalam beratus lembar kertas di genggamannya.
"Baca buku ini lagi?" sapa Lelaki bergelung handuk di lehernya.
Wanita itu tersenyum, "iya, agar tak sekedar makna buram yang kutelan, ku rasa aku harus membacanya lagi."
"Ya baguslah, daripada hanya menatap sinar matahari senja dengan tatapan kosong, lebih baik memang membaca saja."
"Memangnya aku sepemalas itu ya?" Ada percikan emosi dalam nada suaranya. Sang lelaki hanya mengangkat bahunya.
Lelaki berkaus merah tua itu memandang lekat langit di hadapannya.
"Lah coba lihat, siapa yang suka melamun," sang Wanita mencibir.
"Indah ya ternyata, sinar matahari yang melewati awan lalu membentuk garis seperti itu."
"Lah, makanya jangan salahkan aku jika aku suka melamun memandangi langit, salahkan langitnya mengapa begitu indah."
"Yeee mana bisa begitu. Biasanya apa yang kau pikirkan selama senja di atap ini?"
Sang Wanita tak menjawab, kembali menekuni bukunya. Tapi mata lelaki itu terus menatap wanitanya. "Mau tau?" Wanita itu tertawa, lalu melanjutkan, "seringkali aku hanya menatap kosong langit lalu berandai-andai melihatnya dari penjuru yang berbeda bersamamu," wanita itu melihat lelakinya sekilas yang tersenyum, "selanjutnya seringkali aku menilai diriku sendiri, sudah baikkah hariku saat itu, sudah bermanfaatkah diriku untuk diri sendiri, sudah bermanfaatkah aku bagi orang lain, atau kadang aku juga berpikir, sudah dekatkah aku pada impianku."
"Apa yang kau dapat dari perenunganmu?"
"Seringkali kekecewaan atas diriku sendiri." Wanita itu menghembuskan napasnya, menyandarkan punggungnya ke tembok di belakangnya.
"Kenapa? Apa yang kau kecewakan? Bukannya kau sudah mendapatkan prestasi atas pekerjaan yang kau lakukan?"
"Because of comparison."
Saturday, October 26, 2013
Monday, October 14, 2013
penanda waktu
Malam semakin mendekat, kelamnya
semakin hebat mengalahkan matahari
sebelum Pagi datang. Ada yang senang Siang tidur melepas penat, ada yang
kehilangan saat Siang menghilang bersama sahabat karibnya, Matahari. Ada gadis
muda yang bertanya pada Malam, “Malam, betapa indah kau saat ini, betapa
pesonamu selalu membuatku lupa akan sakit dan lelah yang terus menghantui
hariku.” Ada Pedagang tua yang berbisik pada Malam, “Malam, cepatlah berlalu,
anakku butuh uang untuk biaya sekolahnya, aku harus berdagang lagi esok,
cepatlah datangkan matahari.” Malam bimbang, apa yang harus ia lakukan,
sementara ia terus berselimut kelam dan bintang. Pagi berbisik pada Malam yang
melamun, “Tak perlu bimbang, jangan dengarkan kata manusia, bukankah selalu
begitu tindak dan tanduknya?”
Malam tersenyum,
bulan mengembang di ujung bibirnya. “Apakah ada juga yang berbisik padamu,
wahai Pagi?”
Pagi
yang riang bersemangat menceritakan semuanya, tanpa beban dalam suaranya. “Tentu
saja, tadi ada lelaki muda yang kesal karena aku datang, ia ingin berlama-lama
dengan mimpinya dan malas pergi ke sekolah karenaku. Ada juga perempuan muda
yang saat membuka matanya justru marah karena masih bisa bertemu denganku. Di saat
yang sama ada ibu-ibu yang sudah sampai di pasar untuk membanting tulangnya
sebelum aku benar-benar datang. Lalu apa yang harus ku lakukan? Berjalan pelan
untuk memuaskan lelaki muda atau mempercepat jalanku agar ibu itu cepat bertemu
dengan harapannya akan harinya?”
Malam mengernyitkan
dahinya. Ah, dasar manusia. ”Kau
benar, kita harus tetap berjalan sesuai irama kita berdasar perintah Langit. Aku
penasaran bagaimana dengan Siang dan Senja.” Malam yang pemikir, dia
membayangkan bagaimana jika dia menjadi Siang dan Senja. Tentu aku tak akan sekelam ini.
Pagi
kembali berbisik, ia sudah beranjak dari rasa kantuknya. “Sama saja, baik Siang
maupun Senja bernasib sama dengan kita. Tapi kurasa kita tak perlu mengeluh
akan keluhan mereka, jika kita melakukan hal yang sama, lalu apa bedanya kita
dengan mereka?” senyum pagi mengembang.
Labels:
cerita,
Flash fiction
Subscribe to:
Posts (Atom)