Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Wednesday, September 17, 2014

Kebencian



“Aku tak mau jadi seperti huruf c dalam ejaan Inggris. Dia menjadi k dalam hadapan a, o dan u, lantas menjadi s di hadapan e dan i. Tak pernah jadi diri sendiri.”
“Aku mau jadi c.”
“He?”
“Menurutku justru c serba bisa, bukankah dia bisa dibeberapa kondisi dan mudah beradaptasi?”
 Percakapan yang ku buat sendiri. Satu kalimat pertama yang tiba-tiba tercetus dalam pikiranku, lalu kalimat lainnya berhamburan menentangnya. Begitulah, bukankah satu kondisi tak bisa dipandang hanya dengan satu sudut pandang? Begitukah?
Terngiang satu suara menahan tangis sesaat lalu, yang ku balas dengan diam, dengan luka yang tergores tanpa sengaja di hatiku. Bagaimana tangis yang terlalu sering itu tak mencipta luka di hatiku, jika dia adalah salah satu orang yang ku cintai? Sementara yang membuatnya menangis adalah orang yang juga seharusnya kucintai, ya, seharusnya.
Tenang saja, aku belum membencinya, orang yang terlalu sering membuatnya menangis. Aku belum membencinya, tapi hormatku padanya sudah sejak lama padam, sungguh, tanpa sengaja. Bagaimana tak? Bagaimana tak? Sementara dia selalu menahan isaknya di ujung telepon sana sementara aku juga menyeka mataku, dan dengan enteng aku bilang, “ya sudahlah tak perlu dipikir,” ya, yasudahlah, masih ada aku.

Kadang aku berpikir, aku hanya mendengarkan cerita di satu pihak, tak mendengar cerita di pihak lainnya. Hingga beginilah persepsiku tercipta, dengan rasa tak suka yang terus berkembang dan rasa hormat yang terus layu hingga ke akarnya. Aku ingin mendengar cerita lainnya, ingin membentuk persepsi berbeda. Tapi aku sudah tak bisa menjadi huruf c, aku selalu menjadi huruf R. Menjadi sekaku diriku sendiri.

Aku tak ingin mendengar apapun untuk menghindari tumbuhnya rasa benci, aku tak ingin mempersepsikan apapun, untuk membunuh rasa kesalku sendiri. Tapi bagaimana aku bisa lari, jika hanya aku satu-satunya tempatnya bercerita untuknya, menumpahkan segala kekesalan dan tangisnya padaku, meski hanya antar ujung telepon. Bagaimana aku bisa tega membuatnya sakit sendiri sementara aku sungguh tak diperbolehkan bicara dan bertindak apapun pada dia yang sering membuatnya menangis. Ah, sungguh, aku ingin sekali menyakiti hati siapapun yang membuatnya menangis, mengatakan semuanya, mengatakan betapa sakitnya dia, mengatakan jahat dan teganya mereka, mengatakan apapun. Tapi apakah aku tak akan menyesal setelahnya? 

Membenci. Tuhan, bolehkah aku membenci? Aku tak peduli, apakah benci itu akan menyakiti diriku sendiri. Untuk ‘sekedar’ membenci, tak melakukan apapun dan ‘hanya’ membenci, bolehkan aku? Ya, katakan saja tidak.

0 comments:

Post a Comment