Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Sunday, February 7, 2016

Cita rasa dasar



Pukul dua belas tepat, ditandai dengan jingle radio yang menggaung saat pergantian jam. Siang yang panas, ditemani oleh kipas angin yang sudah berpuluh menit berputar menghembus udara yang diam, pengap. Musim penghujan sudah datang, tapi entah mengapa malah udara panas yang betah singgah. 
Sang Lelaki menyodorkan segelas jus jambu dingin pada Wanitanya. Wanita yang sesaat lalu mematikan televisi di depannya itu lantas tersenyum. 
“Jalan-jalan, yuk?” tanya sang lelaki sambil meletakkan kaca matanya di atas meja kayu di depannya.
“Hmm, enggak yuk?” jawab sang wanita, santai. Sang Lelaki tertawa
“Kenapa?”

“Entah, rasanya tidak ingin berbuat apa-apa.”
Mereka pun diam. Menghela napas. Sebenarnya sang lelaki juga tidak ingin pergi ke mana-mana, mengingat cuaca yang sedang panas-panasnya, dan akibat yang mungkin terjadi adalah sore yang basah, hujan deras.
“Kau tau, rasanya aku butuh cita rasa dasar,” kata sang wanita, setelah meneguk jus jambunya hingga tersisa setengah dari volume semula.
Sang Lelaki menjawab sambil memejamkan matanya, membiarkan angin bertiup di kelopak matanya yang lelah, “rasa apa yang kau inginkan?”
“Apa saja, entah manis, asin, asam, pahit, atau mungkin umami?”
Kontan Sang Lelaki tertawa, entah untuk alasan apa, “asal tidak hambar, begitu saja?”
Sang wanita mengangguk takzim, merasa Lelakinya kali ini begitu mengerti apa yang ia maksudkan. “Aku ingin apa saja, rasa apa saja, terlalu hambar begini jadi aneh. Tak ada yang sedang ku nanti, tak ada yang ku harapkan, tak ada yang ku sesalkan, tak ada yang menyebalkan, tak ada apapun yang membuatku berasa.”
Lelaki penyabar itu kembali tersenyum, kata-kata yang ingin ia utarakan kembali ia simpan. Membiarkan wanitanya merenung sendiri, tanpa merasa diabaikan.
“Mungkin, karena ini kita tak boleh berhenti makan.”
“Ya, mungkin karena itu kita tak boleh berhenti makan, salah satunya supaya kita terus merasakan. Tapi bukankah kita memang tak berhenti makan? Barangkali memang apa yang kita makan belakangan ini tak memiliki prekursor yang sanggup menciptakan rasa.”
“Ya, barangkali,” tanggap Sang Wanita.
“Mungkin, kita perlu ‘makanan’ yang baru, untuk mengecap rasa yang lain. Atau sekedar mereformasi pola pikir kita, bahwa makanan kita saat ini tidak sehambar yang kita kira.”
Sang wanita tersenyum, “yuk, kita cari kegiatan baru?”
“Boleh, yang membuat kita merasakan sesuatu? Yang bermanfaat, karena setiap yang kita makan tidak hanya memberikan rasa, tapi juga akibat pada tubuh kita, begitu?”

 ----------
Sudah lama sekali saya tak menulis tentang mereka
rasanya.....
Saya sedang butuh lima cita rasa dasar.

0 comments:

Post a Comment