Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Thursday, April 27, 2017

Aku takut, Bu...



Bu, boleh aku tak jatuh cinta lagi? Ibu, bolehkah aku terus menyangkal bahwa aku jatuh cinta lagi? Ibu, bolehkah aku terus menolak perasaan-perasaan itu? Bolehkah, Bu? Mengapa ketika aku bebaskan perasaanku, aku jadi semakin takut Bu? Aku ketakutan oleh perasaanku sendiri. Rasa senang itu berdampingan rasa takut. Bahagia itu juga bergandengan dengan rasa takut. Bu, bolehkah aku menyangkalnya lagi, Bu?

Aku sudah tak bisa membendung air mataku lagi. Rasanya dadaku sesak. Setiap bahagiaku mengapa selalu ada ketakutan di sampingnya. Ibu hanya mengusap kepalaku. Tak berkata apapun. Beliau selalu tau bagaimana menghadapiku. Aku tak akan bisa diajak bicara jika sudah begini. Beliau terus mengusap kepalaku. Dan aku terus membasahi bajunya dengan air mataku.
“Kenapa, nak?” ucapnya. Aku tau ada sakit juga pada nada bicaranya. Ketika aku sakit, dia lebih sakit daripada hatiku yang tertusuk. Ketika aku jatuh, dia yang lebih berdarah.
Aku menggeleng. Tanpa bisa menahan air mataku.
“A..ku takut, Bu,” kataku tersendat. Ya, aku takut Bu. Mengapa rasa takut itu lebih besar dibandingkan dengan rasa senangku?
Bu, jika bukan ibu yang khawatir padaku tentang itu, mungkin aku tak akan pernah mencoba lagi. Tidak akan. Bagaimana bisa aku tega melihat Ibu khawatir tentang itu, ketika bahkan aku menyinggung tentang aku yang bisa berdiri sendiri. Ibu langsung ketakutan. Aku tak suka Ibu ketakutan seperti itu. Bagaimana bisa aku tega bicara tentang apa yang aku inginkan, ketika sebenarnya ketakutan Ibu adalah ketika Ibu pergi dan meninggalkanku. Aku tak boleh sendiri, kata Ibu.
Bu, tapi ini jauh lebih sakit daripada aku sendiri. Bu, aku bahagia, tapi aku ketakutan di saat yang sama. Bu, aku tak mau merasakan rasa sakit yang sama seperti itu. Seperti kehilangan hidupku. Aku tau, Ibu lega ketika aku bisa merasakan ini lagi. Ibu bahagia ketika aku mau mencoba lagi. Tapi sekarang aku takut, Bu. Aku takut. Dan ketakutan ini ternyata lebih kuat dibandingkan rasa bahagia itu sendiri.
Ternyata tidak ada luka yang benar-benar sembuh bagiku, Bu. Meski tak ada dendam dan sakit. Tapi ketakutan itu nyata masih menyala dalam ujung ruang gelapku. Bukannya menerangi dan memberi harapan. Justru semakin memadamkan dan membuatku mundur. Aku takut, Bu.
Bu, bagaimana jika aku jatuh lagi nanti? Apakah kakiku akan sanggup berdiri lagi? Akan butuh berapa lama lagi untuk aku berdiri?
Bu, bagaimana jika aku sakit lagi nanti? Apakah aku akan sanggup sehat lagi? Akan butuh berapa lama lagi untuk ku bisa hidup dan tertawa lagi?
“Ya gitu nduk, Ibu takut kamu sakit lagi,” seperti bisa membaca pikiranku, Ibu berkata pelan. “Ibu ndak mau lihat kamu nangis seperti dulu lagi. Rasanya sakit lihat kamu kayak dulu itu. Makanya, Ibu ndak mau ada yang mempermainkan kamu.” Aku terus terisak.
Bu, aku harus bagaimana? Bolehkan aku menyerah dengan ketakutanku sendiri? Bolehkah aku mengibarkan bendera putih bahkan sebelum aku berperang? Aku takut, Bu. Ibu tau aku lemah. Aku tak pernah kuat. Sayangnya jika pada urusan mencintai, aku mencintai dengan kuat. Dan ternyata, itu melemahkan. Dusta jika orang bilang mencintai justru menguatkan. Siapa bilang? Dan benar kata ayah suatu kali Bu, orang yang paling menyakiti, adalah orang yang paling kita cintai.
Ibu, aku harus bagaimana?

0 comments:

Post a Comment