Bu, boleh aku tak jatuh cinta lagi? Ibu, bolehkah
aku terus menyangkal bahwa aku jatuh cinta lagi? Ibu, bolehkah aku terus
menolak perasaan-perasaan itu? Bolehkah, Bu? Mengapa ketika aku bebaskan
perasaanku, aku jadi semakin takut Bu? Aku ketakutan oleh perasaanku sendiri. Rasa
senang itu berdampingan rasa takut. Bahagia itu juga bergandengan dengan rasa
takut. Bu, bolehkah aku menyangkalnya lagi, Bu?
Aku sudah tak bisa
membendung air mataku lagi. Rasanya dadaku sesak. Setiap bahagiaku mengapa
selalu ada ketakutan di sampingnya. Ibu hanya mengusap kepalaku. Tak berkata
apapun. Beliau selalu tau bagaimana menghadapiku. Aku tak akan bisa diajak bicara
jika sudah begini. Beliau terus mengusap kepalaku. Dan aku terus membasahi
bajunya dengan air mataku.
“Kenapa, nak?” ucapnya. Aku
tau ada sakit juga pada nada bicaranya. Ketika aku sakit, dia lebih sakit
daripada hatiku yang tertusuk. Ketika aku jatuh, dia yang lebih berdarah.
Aku menggeleng. Tanpa bisa
menahan air mataku.
“A..ku takut, Bu,” kataku
tersendat. Ya, aku takut Bu. Mengapa rasa takut itu lebih besar dibandingkan
dengan rasa senangku?
Bu, jika bukan ibu yang khawatir padaku tentang
itu, mungkin aku tak akan pernah mencoba lagi. Tidak akan. Bagaimana bisa aku
tega melihat Ibu khawatir tentang itu, ketika bahkan aku menyinggung tentang
aku yang bisa berdiri sendiri. Ibu langsung ketakutan. Aku tak suka Ibu
ketakutan seperti itu. Bagaimana bisa aku tega bicara tentang apa yang aku
inginkan, ketika sebenarnya ketakutan Ibu adalah ketika Ibu pergi dan
meninggalkanku. Aku tak boleh sendiri, kata Ibu.
Bu, tapi ini jauh lebih sakit daripada aku
sendiri. Bu, aku bahagia, tapi aku ketakutan di saat yang sama. Bu, aku tak mau
merasakan rasa sakit yang sama seperti itu. Seperti kehilangan hidupku. Aku tau,
Ibu lega ketika aku bisa merasakan ini lagi. Ibu bahagia ketika aku mau mencoba
lagi. Tapi sekarang aku takut, Bu. Aku takut. Dan ketakutan ini ternyata lebih
kuat dibandingkan rasa bahagia itu sendiri.
Ternyata tidak ada luka yang benar-benar sembuh
bagiku, Bu. Meski tak ada dendam dan sakit. Tapi ketakutan itu nyata masih
menyala dalam ujung ruang gelapku. Bukannya menerangi dan memberi harapan. Justru
semakin memadamkan dan membuatku mundur. Aku takut, Bu.
Bu, bagaimana jika aku jatuh lagi nanti? Apakah kakiku
akan sanggup berdiri lagi? Akan butuh berapa lama lagi untuk aku berdiri?
Bu, bagaimana jika aku sakit lagi nanti? Apakah aku
akan sanggup sehat lagi? Akan butuh berapa lama lagi untuk ku bisa hidup dan
tertawa lagi?
“Ya gitu nduk, Ibu takut
kamu sakit lagi,” seperti bisa membaca pikiranku, Ibu berkata pelan. “Ibu ndak
mau lihat kamu nangis seperti dulu lagi. Rasanya sakit lihat kamu kayak dulu
itu. Makanya, Ibu ndak mau ada yang mempermainkan kamu.” Aku terus terisak.
Bu, aku harus bagaimana? Bolehkan aku menyerah
dengan ketakutanku sendiri? Bolehkah aku mengibarkan bendera putih bahkan
sebelum aku berperang? Aku takut, Bu. Ibu tau aku lemah. Aku tak pernah kuat. Sayangnya
jika pada urusan mencintai, aku mencintai dengan kuat. Dan ternyata, itu
melemahkan. Dusta jika orang bilang mencintai justru menguatkan. Siapa bilang? Dan
benar kata ayah suatu kali Bu, orang yang paling menyakiti, adalah orang yang
paling kita cintai.
Ibu, aku harus bagaimana?
0 comments:
Post a Comment