Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Wednesday, August 10, 2016

Embun dan Matahari

Aku tau kau begitu menyukai embun
Sejak itulah aku sadar kita tak bisa bersatu
Karena ku mencintai matahari
Bukankah akhirnya aku membunuhmu?
Meski aku juga tau, apa yang kita sukai tak seharusnya saling membunuh.

Kita pernah duduk bersama di suatu malam tanpa bulan. Berbicara soal embun dan matahari, siapakah yang lebih mencintai. Waktu itu malam, tapi kita bicara soal pagi, karena tak ada matahari di malam hari. Kau selalu membantah, embun yang lebih mencintai. Aku tau kau begitu menyukai embun, meski itu juga yang membuat paru-parumu basah. Terlalu basah untuk wanita periang sepertimu. 


Kau begitu menyukai embun, hingga mengaku bernama Embun padaku pertama kali. Ku kira itu nama aslimu, tapi kini aku ragu itu hanya wujud kekagumanmu pada embun-mu. Embun yang selalu menggenapi pagi katamu. Tidak lengkap pagi tanpa embun katamu. Lalu ceritamu mengalir, ibumu juga bernama embun, nenekmu juga, kakakmu juga. Kalian keluarga embun. Kini aku semakin ragu, apakah kau nyata. 

Ku sentuh pipimu dengan telunjukku saat kau lincah bercerita saat itu. Dingin. Ah, kau nyata rupanya. Aku ingat senyum itu, ada jejak yang tersisa pada sentuhan telunjukku tadi. Lesung pipi itu. Apakah embun akan tinggal di sana apabila kau tersenyum selamanya?

“Kau tau bagaimana puitisnya embun saat bersandar pada daun-daun, atau kelopak bunga yang sedang merekah?” Tanyamu kala itu, matamu berbinar. Aku tak menjawab tanda tanyamu itu, aku tau kau tak perlu jawaban dariku. Angin malam menerbangkan rambut-rambut di keningmu. Itu lebih puitis daripada embun, menurutku.

“Dan ketika sayap kupu-kupu yang berwarna-warni menambah keriangan bunga-bunga berembun, tak ada yang bisa menolak untuk tersenyum karena itu.” Katamu lagi, tak butuh tambahan dariku. Kau sunguh menyukai embun, dan terus menggeleng tak setuju dengan pendapatku tentang cinta matahari. 

Hingga tengah malam dan menyambut dini hari, kita masih tak sepakat siapa yang lebih mencintai. Aku tetap bersikukuh matahari yang lebih mencintai, sementara kau tetap pada pendirianmu, embun yang lebih mencintai. Aku tau perdebatan ini akan menemui kesimpulannya nanti. Tapi aku tak ingin menyudari kebersamaan ini, aku ingin malam lebih lama lagi. 

Dalamnya celah di pipimu semakin menjadi ketika terdengar suara kokok dari si jago. Ah keriangan itu tak mampu mencegah khawatirku yang kian melayu. Aku semakin takut malam akan terlewat begitu saja. Sementara kau kian bersemangat, penantianmu seharian tadi akan segera berakhir, embun akan bermunculan sebentar lagi. 

“Jadi siapa yang lebih mencintai?” tanyamu lagi. Seraya berdiri dan bersiap untuk pergi. Senyummu di sana, masih sama seperti tadi. Tak ada ku temukan rasa lain selain bahagia di sudut-sudut matamu. Aku semakin khawatir dan juga takut. Tak ku jawab pertanyaanmu, namun tak ada kecewa di dalam rautmu yang lembut. Aku semakin takut dan ingin menangis, agar kau tak jadi pergi. Tapi sudah terlambat, cahaya matahari terlanjur jatuh di semak-semak antara aku dan engkau.

Namaku surya, kataku melepaskan kepergianmu. Kau melambaikan tanganmu dan berlari riang menuju kelopak bunga dan daun-daun.

Kau benar, embun yang lebih mencintai
Mencintai dengan berani
Tanpa ragu
Tanpa takut
Sedikitpun
Meski ia tau akan mati.

Esok hari, siapa yang kan ku temui. Ibumu? Kakakmu? Nenekmu? Embun lainnya yang rela mati demi keindahan bunga-bunga dan dedaunan. Hidup dan mati karena matahari. Tapi aku berani bersumpah, nama ayahmu, iparmu, dan kakekmu sama seperti namaku, Surya



Ditulis pada tengah malam 9 Agustus 2016 

3 comments:

Unknown said...

mantapkali bahasa nya kakak satu ini

azzaitun said...

wahaha matur nuwun Wan Ulwan ☺

Unknown said...

Tulisannya selalu menarik buat dibaca, sepanjang apapun selalu bikin penasaran. Pada akhirnya selalu terinspirasi. First impression baca tulisan mbak emang keren banget, kau, buah kuldi itu berkesan, hehe. Keep up the good writing :)

Post a Comment