“Apalah arti dari kata-kata yang kau rangkai itu?” protes
pertamamu hari ini. “Hanya untuk sedetik saja kau resapi lalu kau uapkan hilang
dengan suhumu yang sudah keterlaluan itu?” sarkasmemu yang keterlaluan.
“Apalah arti dari semua yang kau karang itu?” protesmu yang
kedua.
Aku mendengus kesal. Bukan padamu, lebih pada diriku
sendiri.
Tapi rupanya kau menyangka aku kesal padamu. Merah padam
mukamu itu. “Aku begini karna aku peduli padamu, sudah bermingu-minggu dan
perkembanganmu nihil. Kau tau kau membuang begitu banyak waktu yang berharga!”
“Aku tau!” bentakku. Aku ingin kau diam. Aku sedang lelah
beradu kata.
“Kau tau, tapi terus begitu. Kau hanya menghabiskan detik-detikmu
demi kesenanganmu. Kau abaikan semua tugas dan hal yang harus kau kerjakan
tuntas.”
Baiklah, aku tau kau
kecewa padaku. Sama, aku juga kecewa pada diriku sendiri.
“Kenapa kau diam saja? Biasanya kau jago membantahku, biasanya kau punya seribu alasan membenarkan kelakuanmu. Mana semua alibimu?” Bukannya mereda, kau semakin marah dengan diamku
“Kenapa kau diam saja? Biasanya kau jago membantahku, biasanya kau punya seribu alasan membenarkan kelakuanmu. Mana semua alibimu?” Bukannya mereda, kau semakin marah dengan diamku
“Kau makan gaji buta!” Akhirnya kata-kata itu keluar.
“Cukup!” Dadaku terasa sakit, jantung memompa darah lebih
cepat, ini bukan hipertensi, ini hanya efek emosi yang meluap tapi kutahan.
Bola kaca di mataku hampir pecah.
“Cukup?” Bukan tanya, tapi sindiran yang kudapat.
“Cukup. Aku tau, aku tau aku salah selama ini hanya mengulur
waktu. Aku juga kecewa pada diriku sendiri. Kau tau? Aku merasa tak mampu, aku
ingin menyerah. Aku ingin kalah. Kau tau? Aku kehilangan semangatku, serasa aku
tak punya lagi mimpi. Ketika segala komparasi membuatku menjadi kosong. Kau tau?
Aku ingin menyerah tapi aku takut. Beban di pundakku semakin berat, sementara
kakiku enggan melangkah. Aku merasa tak pantas. Tapi aku tak bisa berbuat
apa-apa.” Baiklah, akhirnya bola kaca itu pecah, air mataku merembes di pipiku,
dan aku tak berharap kau mengusapnya. Tidak!
Kali ini kau yang diam.
“Aku punya segala hal yang ingin ku kerjakan, dan segala hal
tersebut terbentur oleh kata ‘tapi’. Aku punya beberapa pertanyaan tentang hal
di depan, aku tau jawabannya ada di hatiku. Tapi anehnya, aku butuh orang lain
untuk meyakinkanku.”
Kau semakin menunduk. Kau tau, aku tak menyalahkanmu. Kau selalu
benar.
“Dari segala hal yang bisa ku kerjakan sendiri, ada satu dua
hal yang sangat kubutuhkan dari orang lain. Dukungan yang tulus dan kepercayaan
yang menguatkan. Aku butuh itu saat ini, seperti kau bilang tadi, aku
kehilangan diriku sendiri. Aku akui, aku kehilangan kepercayaan diriku.
Tantangan di depanku terlalu besar, dan aku merasa kecil.”
“Ya, aku butuh kedua hal itu saat ini.”
Kau tetap diam, entah apa yang ada dipikiranmu
------------------------
aku butuh, agar aku utuh
monolog, percakapan satu arah
0 comments:
Post a Comment