Sejak itulah aku sadar
kita tak bisa bersatu
Karena ku mencintai
matahari
Bukankah akhirnya aku
membunuhmu?
Meski aku juga tau,
apa yang kita sukai tak seharusnya saling membunuh.
Kita pernah duduk bersama di suatu malam tanpa bulan.
Berbicara soal embun dan matahari, siapakah yang lebih mencintai. Waktu itu
malam, tapi kita bicara soal pagi, karena tak ada matahari di malam hari. Kau
selalu membantah, embun yang lebih mencintai. Aku tau kau begitu menyukai
embun, meski itu juga yang membuat paru-parumu basah. Terlalu basah untuk
wanita periang sepertimu.
Kau begitu menyukai embun, hingga mengaku bernama Embun
padaku pertama kali. Ku kira itu nama aslimu, tapi kini aku ragu itu hanya
wujud kekagumanmu pada embun-mu. Embun yang selalu menggenapi pagi katamu.
Tidak lengkap pagi tanpa embun katamu. Lalu ceritamu mengalir, ibumu juga
bernama embun, nenekmu juga, kakakmu juga. Kalian keluarga embun. Kini aku
semakin ragu, apakah kau nyata.
Ku sentuh pipimu dengan telunjukku saat kau lincah bercerita
saat itu. Dingin. Ah, kau nyata rupanya. Aku ingat senyum itu, ada jejak yang
tersisa pada sentuhan telunjukku tadi. Lesung pipi itu. Apakah embun akan
tinggal di sana apabila kau tersenyum selamanya?
“Kau tau bagaimana puitisnya embun saat bersandar pada
daun-daun, atau kelopak bunga yang sedang merekah?” Tanyamu kala itu, matamu
berbinar. Aku tak menjawab tanda tanyamu itu, aku tau kau tak perlu jawaban
dariku. Angin malam menerbangkan rambut-rambut di keningmu. Itu lebih puitis
daripada embun, menurutku.
“Dan ketika sayap kupu-kupu yang berwarna-warni menambah
keriangan bunga-bunga berembun, tak ada yang bisa menolak untuk tersenyum
karena itu.” Katamu lagi, tak butuh tambahan dariku. Kau sunguh menyukai embun,
dan terus menggeleng tak setuju dengan pendapatku tentang cinta matahari.
Hingga tengah malam dan menyambut dini hari, kita masih tak
sepakat siapa yang lebih mencintai. Aku tetap bersikukuh matahari yang lebih
mencintai, sementara kau tetap pada pendirianmu, embun yang lebih mencintai. Aku
tau perdebatan ini akan menemui kesimpulannya nanti. Tapi aku tak ingin
menyudari kebersamaan ini, aku ingin malam lebih lama lagi.
Dalamnya celah di pipimu semakin menjadi ketika terdengar
suara kokok dari si jago. Ah keriangan itu tak mampu mencegah khawatirku yang
kian melayu. Aku semakin takut malam akan terlewat begitu saja. Sementara kau
kian bersemangat, penantianmu seharian tadi akan segera berakhir, embun akan
bermunculan sebentar lagi.
“Jadi siapa yang lebih mencintai?” tanyamu lagi. Seraya
berdiri dan bersiap untuk pergi. Senyummu di sana, masih sama seperti tadi. Tak
ada ku temukan rasa lain selain bahagia di sudut-sudut matamu. Aku semakin
khawatir dan juga takut. Tak ku jawab pertanyaanmu, namun tak ada kecewa di
dalam rautmu yang lembut. Aku semakin takut dan ingin menangis, agar kau tak
jadi pergi. Tapi sudah terlambat, cahaya matahari terlanjur jatuh di
semak-semak antara aku dan engkau.
Namaku surya, kataku
melepaskan kepergianmu. Kau melambaikan tanganmu dan berlari riang menuju
kelopak bunga dan daun-daun.
Kau benar, embun yang
lebih mencintai
Mencintai dengan
berani
Tanpa ragu
Tanpa takut
Sedikitpun
Meski ia tau akan
mati.
Esok hari, siapa yang kan ku temui. Ibumu? Kakakmu? Nenekmu?
Embun lainnya yang rela mati demi keindahan bunga-bunga dan dedaunan. Hidup dan
mati karena matahari. Tapi aku berani bersumpah, nama ayahmu, iparmu, dan
kakekmu sama seperti namaku, Surya.
Ditulis pada tengah malam 9 Agustus 2016
Ditulis pada tengah malam 9 Agustus 2016
3 comments:
mantapkali bahasa nya kakak satu ini
wahaha matur nuwun Wan Ulwan ☺
Tulisannya selalu menarik buat dibaca, sepanjang apapun selalu bikin penasaran. Pada akhirnya selalu terinspirasi. First impression baca tulisan mbak emang keren banget, kau, buah kuldi itu berkesan, hehe. Keep up the good writing :)
Post a Comment