Kelabu mendung menggulung
mengambang antara langit dan bumi. Angin sore menghembus pelan menemani kelabu
awan. Wanita bercelana olahraga di halaman rumahnya itu sedang memejamkan
matanya, merasakan angin membelai pipinya, menerbangkan ujung kerudungnya, menjatuhkan
daun pepohonan di sekitarnya. Hmm,
gumamnya pelan sambil tersenyum.
Beberapa
meter dibelekang wanita itu, seorang Lelaki berkacamata tanpa bingkai tersenyum
memandang Wanitanya yang merentangkan tangannya itu. “Wah, main angin nggak
ngajak-ngajak nih.” Katanya, mengagetkan wanitanya.
“Yah siapa suruh asyik sendiri baca buku, nggak bisa diajak
ngobrol.”
“Hehehe, iya iya maaf.” Kemudian lelaki itu berdiri di
samping wanitanya, merentangkan tangan dan memejamkan matanya. Lalu tersenyum.
“Kau suka angin juga?” tanya Sang Wanita kemudian.
Sang lelaki tetap terpejam, tetap merentangkan tangan dan
merasakan ujung hidungnya disapa oleh angin sore yang sepoi. “Tidak terlalu,
aku lebih menyukai wanita yang sangat ingin menjadi angin.”
Sang wanita diam saja. Dasar
Lelaki, batinnya. “Andai angin bisa diwarnai ya, kita bisa melihat
bagaimana geraknya. Sayang sekali angin itu tak punya warna, hanya bisa dirasa
saja keberadaannya, datang dan perginya.”
“Kurasa lebih baik angin tanpa warna, toh tanpa warnapun,
kita tetap percaya bahwa angin itu ada kan?”