“Kau ingin cepat liburan ya?” tanyanya padaku.
Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya.
“Memangnya apa yang ingin kau lakukan saat liburan?”
tanyanya lagi, pertanyaan kedua.
“Mungkin hanya akan menghabiskan malam bersama empat buku
yang menumpuk itu, dan akan meminjam buku lagi pada temanku”
“Hanya itu?” pertanyaan ketiganya malam ini.
“Tidak, mungkin aku akan belajar berenang, atau mungkin
belajar untuk persiapanku nanti, kau tau apa kan”
“Aha, aku tau. Yang lain?” pertanyaan keempatnya.
“Entahlah, mungkin aku akan belajar lagi, sesuatu yang aku
ingin pelajari lagi”
“Kau, gila. Tidakkah kau ingin ikut rencana teman-temanmu
untuk pergi ke Ranu Kumbolo?” tanyanya lagi, aku mulai bosan menghitung.
“Pertanyaan bodoh, kau tau kan jawabanku. Tentu aku sangat
ingin ikut, tapi mana bisa aku berangkat tanpa ijin ibuku. Mana bisa aku
berangkat tanpa kata ‘iya’ dari ibuku. Dan mana mungkin ibuku mengijinkanku”
kataku lalu mendesah panjang.
“Yayaya, kenapa kau tak terus berusaha membujuknya? Bukankah
alam bisa memeberimu inspirasi? Bukankah kau suka bersentuhan dengan alam?”
Aku memandangnya, kosong. Dia menatapku, ada tanda Tanya
dalam wajahnya yang selalu penasaran.
“Ya, kau benar, tapi kau juga tau kan aku malas untuk terus
membujuk ibuku. Lagipula, aku ingin mengistirahatkan pundak dan punggungku,
satu semester dengan terus membawa tas berat tidak baik untuk kesehatan
punggungku, aku tak ingin membebaninya dengan tas karier dengan segala macam
isi lagi, aku tak tahan dengan sakit pundak. Dan tentang inspirasi, sebenarnya
alam memberiku sekian space memori yang bisa kuingat untuk menulis dan menulis.
Kau tau kan dua kata menulis yang ku maksud” jawabku panjang tanpa menatapnya.
Kutangkap anggukannya dari ekor mataku, “tapi, tetap saja,
kau benar-benar tak ingin ke sana?” tanyanya lagi, entah ini pertanyaan atau
usahanya untuk mempengaruhiku.
“Kau tau tidak tempat apa yang paling ku sukai? Tau kan?”
Kau mengangguk lagi, “oke aku menyerah. Kau lebih menyukai
pantai dan saat ini tak punya alasan dan motivasi untuk pergi ke pantai, oke I
see. Lalu apa yang akan kau lakukan
sebentar lagi?” dan bertanya lagi, ah dia mulai menyebalkan.
“Belajar,” jawabku singkat.
“Tidakkah kau bosan untuk belajar?”
“Bosan sebenarnya, tapi sebentar lagi ujian dan aku merasa
belum cukup siap untuk menjawab pertanyaan dalam lembar soal nanti” jawabku,
jujur.
“Ah nilai, kau peduli dengan nilai?” katanya, sedikit
meremehkanku, seakan berpikir bahwa aku hanya berorientasi pada nilai.
“Aku sebenarnya tak peduli” jawabku, malas. “Tapi, sekedar
belajar dan memperoleh ilmu, itu tak cukup untuk membuktikan apapun pada kedua
orang tuaku bahwa aku sudah belajar” lanjutku.
“Jadi nilai hanya sebagai pembuktian?”
“Tidak, nilai yang terangkum dalam angka ataupun satu huruf
capital itu merupakan parameter atau tolak ukur atau apapun itu, sejauh mana
aku memahami ilmu yang diberikan dan ilmu yang kucari sendiri. Hanya lewat
begitu saja atau mengendap. Lagipula, untuk saat ini, hanya itu yang bisa
membuat kedua orang tuaku bangga padaku.”
Dia mengangguk, kurasa dia mulai mengerti, kurasa dia akan
berhenti bertanya. “Bagaimana hari ini?” tanyanya, lagi dan lagi. Ah ingin ku
usir saja.
“Kau tau apa yang ku alami hari ini, satu hal yang tak ingin
terjadi hari ini. Sudahlah jangan bertanya, aku bosan” kataku, mulai ketus.
“Kau tau kan, aku diciptakan untuk terus bertanya, jangan
salahkan aku jika aku terus bertanya. Salahmu sendiri terlalu banyak berpikir
hal-hal yang aneh, terlalu banyak berargumen dan membaca hal yang berbeda. Aku
akan terus bertanya, tentang apa saja yang kau pikirkan, dan tentang apa saja
yang terasa aneh dalam pengelihatanmu. Kau paham?” jelasnya panjang, dan masih
saja ada tanda Tanya dalam akhir kalimatnya.
“Ya, aku paham. Tentu saja aku paham, kau adalah benakku.
Benakku yang aneh! Yang selalu bertanya macam-macam dan terdiam saat ada
diskusi di kelas. Heran! Saat sendiri kau sering bertanya, dan saat aku ingin
bertanya kau malah diam” kataku, sedikit kesal.
Dia nyegir dan menunjukkan barisan gigi-giginya, “hehe,
maaf. Itu karena aku tak begitu tertarik dengan diskusi-diskusi di kelasmu, aku
tertarik dengan pemikiranmu, yang biasanya tak ada hubungannya dengan pelajaran
di kelas. Kau marah?” jelasnya, dan lagi lagi ada tanda tanya dalam akhir
kalimatnya. Aku mulai gila.
“Tidak, aku tak marah. Sudahlah sana pergi, aku mau
belajar!” kataku akhirnya mengusirnya.
Kau tertawa dan cling! Kau menghilang.
Sudah, dia tak akan bertanya lagi untuk sementara. Ku tekan
tanda ‘publish’ dan ku tutup jendela satu halaman ini. Akan ku selami lagi
ratusan slide yang akan ditanyakan nanti. Aku bosan, dan inilah caraku
mengatasi bosanku.
--
Dia di sini adalah
benak saya sendiri
0 comments:
Post a Comment